Cerita dari Gubuk Lancaran #1
Bukit Lancaran. Sungguh kawan, elok nian pada musim penghujan. Bertumbuhanlah rerumputan di seantero tubuh bukit yang menghampar landai di bagian utara dan baratnya. Ia membentuk setengah lingkaran dengan konstruk tanah yang bergelombang. Bila kau hendak melenggang lepas dari Annuqayah, tempatku mondok saat ini, menuju arah Parenduan, kau akan menemukan eksotisme yang tiada tara. Kau akan melewati jalan pinggir bukit yang terentang dari utara hingga ke selatan. Bidadari mungkin pernah terlelap di sana sehingga bekas keelokannya tak rapuh-rapuh.
Sebuah gubuk di bagian atas bukit. Lihatlah kawan, betapa ia berdiri dengan seribu satu rahasia. Bila matahari sudah setarik dengan bayangan, gubuk itu nampak merana ditinggal sendiri. Pada siang hari, siapa yang mau berada di sana. Tak ada. Panas sungguh tak tertanggungkan. Namun, bila kecipak burung yang baru pulang setelah melepas kasmaran dengan isteri-isterinya yang lain, gubuk itu menjelma rumah penuh imajinasi. Senja kemilau menuntun para santri untuk melepas penat, tak kerasan, mencari hiburan, dan untuk belajar di sana. Pada sore hari, gubuk itu bagai kakek tua yang menyimpan kisah hidup penuh heroisme. Ah, kakek tua yang mengagumkan!
Kakek yang menjelma gubuk itu sepertinya ingin berbicara banyak hal. Tapi suaranya tertegun. Ia mafhum, orang-orang yang diteduhinya tiap mereka berkunjunga tidak mungkin diajak bicara. Mereka tak mengerti bahasa kakek itu. Yang dilakukannya adalah setia meneduhi. Satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan. Selebihnya adalah mendengarkan percakapan mereka. Menguping dengan penuh perhatian dan tentu saja kadang kurang ajar. Karena ada saja pembiacaraan yang menyangkut masalah yang sangat pribadi. Bukankah itu sangat kurang ajar, kawan?
Tentu, gubuk itu memiliki banyak cerita. Tak hanya cerita dirinya yang sering merasa kesepian pada siang hari atau kala larut malam. Cerita lainnya, yang tentu labih banyak, ia dapatkan dari orang-orang yang berteduh di dalamnya. Ia bisa saja terpingkal-pingkal saat mendengar celotehan orang-orang di bawahnya karena berkisah tentang pengurus yang selalu menghukum santri. Si santri karena tak tahan lalu menghukum balik pengurus itu. Tiap siang hari, ketika pengurus itu istirahat siang atau tidur qailulah, santri itu mengendap-ngendap ke depan pondok si pengurus. Begitu setiap hari. Ketika bangun, sang pengurus menemukan kejadian yang sama tiap hari pada waktu yang sama pula, sandalnya berlepotan tahi ayam encer yang baunya seperti iler setan kena panggang.
Lain waktu, gubuk itu mendengar kisah asmara. Ahai! Tapi, dia agak bimbang, apakah ini sebuah melangkolia yang patut dirayakan? tanyanya. Batinnya bergejolak, namun dua sosok lelaki itu tak peduli. Mereka tetap asyik berpagut tangan, kisah-kisah asmara berdentum-dentum. Gubuk itu gelisah, namun perbuatan kedua orang itu malah makin patut disensor. Untuk adegan selanjutnya, gubuk memalingkan muka ke arah utara. Pegunungan Payudan mengusir percintaan aneh ala pesantren dari pandangannya.
Pada sore yang lain, gubuk itu bertingkah riang gembira. Lihatlah kawan, matanya merona bagai Ketua Karmun, dalam Maryamah Karpov, mengatakan “Kejora!” Tak lain tak bukan, karena pada sore yang ranum itu telah bertandang segerombolan kanak-kanak dengan buku-buku yang menumpuk di tangan. Gubuk merasa gembira melihat kedatangan mereka yang kesekian kalinya. Tentulah ia sudah mafhum, kanak-kanak itu tak ada niatan untuk bermain-main. Itu yang sering dilihatnya pada waktu-waktu sebelumnya. Memang benar, mereka langsung menghampar buku-buku itu. Seseorang angkat bicara, bertanya prihal apakah yang menjadi persoalan dalam topik pelajaran kali ini.
Di tengah keriangan itu, gubuk lalu tertegun. Pikirannya melanglang buana entah sampai di daerah apa. Mula-mula, yang muncul dipikirannya adalah bagaimana seandainya setiap santri yang sering berkumpul di situ selalu menghabiskan waktu untuk belajar seperti kanak-kanak yang tengah di lihatnya saat ini. Ia akan merasa sangat bahagia, karena bisa menemani walau tak bisa membantu untuk mengurai solusi suatu permasalahan.
Lalu pikiran kedua muncul dengan perasaan iba. Ia bukan tak ingin memperlebar tubuhnya yang kurus dan ringkih demi memberi ruang yang luas buat mereka yang tengah belajar itu. Gubuk tak menginginkan mereka berdesak-desakan oleh karena areal yang sempit. Tapi,apalah daya, ia tak mampu berbuat itu.
Imajinasinya mengembang jauh. Selalu itu pekerjaan yang dilakukannya pada saat kanak-kanak yang suka belajar itu berkunjung. Gubuk itu sebenranya ingin juga ngobrol, berbagi kisah, dan bercengkrama. Tapi apalah daya, ia menyadari bahwa dirinya adalah benda mati. Hanya isyarat alam yang bisa ia lakukan. Misalnya, ia mengundang pelangi untuk mementaskan kecantikannya di ufuk timur. Berdandanlah pelangi itu menggunakan tujuh warna yang menyihir. Dilengkungkan badannya yang sungguh mirip lengkung tubuh Merylin Monroe.
Kanak-kanak itu tersihir. Mereka kagum, tapi tak sadar siapa yang berinisiatif untuk pementasan angkasa raya itu. Tentulah mereka tak bisa berterima kasih kepada gubuk yang mereka tempati. Mereka tak tahu apa yang dilakukannya. Dan gubuk merasa tak perlu memberitahukan itu semua. Ketentraman jiwa kanak-kanak sudah membuat ia bangga. Mulia sekali kawan, sungguh!
Lain kali, bila pelangi sedang tidak enak badan, gubuk akan meminta bantuan pohon-pohon perdu yang tersebar di sekeliling gubuk itu. Ia meminta pohon-pohon tersebut untuk menyembulkan bebunga yang indah. Bermunculanlah bebunga itu mengepung kanak-kanak yang sedang asyik mendiskusikan ihwal masalah mereka. Maka, kanak-kanak itu tentram pula hatinya menyakiskan betapa indah pemandangan di hadapannya.
Demikianlah sore itu. Qiroah berkumandang. Kanak-kanak pulang dengan ilmu baru yang mereka dapatkan setelah belajar bersama. Meski diliputi rasa bahagia, gubuk itu merasa sedih. Mengapa mereka harus pergi cepat itu? Begitu ratapnya.
Banyak nian yang bisa diceritakan oleh Gubuk Lancaran prihal apa yang didapatinya dari santri-santri yang berkunjung. Namun, ada satu perbuatan yang tak akan membuatnya memberi ampun kepada siapapun. Sungguh sangat menyakitkan perbuatan itu; membakar rumput dan pepohonan. Pada musim kemarau kejadian itu sering ditemui. Rumput-rumput yang mengering, karena deraan haus yang sangat, mudah terbakar. Hanya berbekal setumpuk rumput dan sebuah korek api kebakaran bisa melanda kemana-mana. Kebakaran berulang tiap musim kemarau. Dan musim inilah yang sangat dibenci oleh gubuk itu. Ia pasti merana karena tak ada kawan bicara setelah tangan-tangan setan itu membakarnya. Menyakitkan!
guluk-guluk, 02 maret 2010
Sebuah gubuk di bagian atas bukit. Lihatlah kawan, betapa ia berdiri dengan seribu satu rahasia. Bila matahari sudah setarik dengan bayangan, gubuk itu nampak merana ditinggal sendiri. Pada siang hari, siapa yang mau berada di sana. Tak ada. Panas sungguh tak tertanggungkan. Namun, bila kecipak burung yang baru pulang setelah melepas kasmaran dengan isteri-isterinya yang lain, gubuk itu menjelma rumah penuh imajinasi. Senja kemilau menuntun para santri untuk melepas penat, tak kerasan, mencari hiburan, dan untuk belajar di sana. Pada sore hari, gubuk itu bagai kakek tua yang menyimpan kisah hidup penuh heroisme. Ah, kakek tua yang mengagumkan!
Kakek yang menjelma gubuk itu sepertinya ingin berbicara banyak hal. Tapi suaranya tertegun. Ia mafhum, orang-orang yang diteduhinya tiap mereka berkunjunga tidak mungkin diajak bicara. Mereka tak mengerti bahasa kakek itu. Yang dilakukannya adalah setia meneduhi. Satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan. Selebihnya adalah mendengarkan percakapan mereka. Menguping dengan penuh perhatian dan tentu saja kadang kurang ajar. Karena ada saja pembiacaraan yang menyangkut masalah yang sangat pribadi. Bukankah itu sangat kurang ajar, kawan?
Tentu, gubuk itu memiliki banyak cerita. Tak hanya cerita dirinya yang sering merasa kesepian pada siang hari atau kala larut malam. Cerita lainnya, yang tentu labih banyak, ia dapatkan dari orang-orang yang berteduh di dalamnya. Ia bisa saja terpingkal-pingkal saat mendengar celotehan orang-orang di bawahnya karena berkisah tentang pengurus yang selalu menghukum santri. Si santri karena tak tahan lalu menghukum balik pengurus itu. Tiap siang hari, ketika pengurus itu istirahat siang atau tidur qailulah, santri itu mengendap-ngendap ke depan pondok si pengurus. Begitu setiap hari. Ketika bangun, sang pengurus menemukan kejadian yang sama tiap hari pada waktu yang sama pula, sandalnya berlepotan tahi ayam encer yang baunya seperti iler setan kena panggang.
Lain waktu, gubuk itu mendengar kisah asmara. Ahai! Tapi, dia agak bimbang, apakah ini sebuah melangkolia yang patut dirayakan? tanyanya. Batinnya bergejolak, namun dua sosok lelaki itu tak peduli. Mereka tetap asyik berpagut tangan, kisah-kisah asmara berdentum-dentum. Gubuk itu gelisah, namun perbuatan kedua orang itu malah makin patut disensor. Untuk adegan selanjutnya, gubuk memalingkan muka ke arah utara. Pegunungan Payudan mengusir percintaan aneh ala pesantren dari pandangannya.
Pada sore yang lain, gubuk itu bertingkah riang gembira. Lihatlah kawan, matanya merona bagai Ketua Karmun, dalam Maryamah Karpov, mengatakan “Kejora!” Tak lain tak bukan, karena pada sore yang ranum itu telah bertandang segerombolan kanak-kanak dengan buku-buku yang menumpuk di tangan. Gubuk merasa gembira melihat kedatangan mereka yang kesekian kalinya. Tentulah ia sudah mafhum, kanak-kanak itu tak ada niatan untuk bermain-main. Itu yang sering dilihatnya pada waktu-waktu sebelumnya. Memang benar, mereka langsung menghampar buku-buku itu. Seseorang angkat bicara, bertanya prihal apakah yang menjadi persoalan dalam topik pelajaran kali ini.
Di tengah keriangan itu, gubuk lalu tertegun. Pikirannya melanglang buana entah sampai di daerah apa. Mula-mula, yang muncul dipikirannya adalah bagaimana seandainya setiap santri yang sering berkumpul di situ selalu menghabiskan waktu untuk belajar seperti kanak-kanak yang tengah di lihatnya saat ini. Ia akan merasa sangat bahagia, karena bisa menemani walau tak bisa membantu untuk mengurai solusi suatu permasalahan.
Lalu pikiran kedua muncul dengan perasaan iba. Ia bukan tak ingin memperlebar tubuhnya yang kurus dan ringkih demi memberi ruang yang luas buat mereka yang tengah belajar itu. Gubuk tak menginginkan mereka berdesak-desakan oleh karena areal yang sempit. Tapi,apalah daya, ia tak mampu berbuat itu.
Imajinasinya mengembang jauh. Selalu itu pekerjaan yang dilakukannya pada saat kanak-kanak yang suka belajar itu berkunjung. Gubuk itu sebenranya ingin juga ngobrol, berbagi kisah, dan bercengkrama. Tapi apalah daya, ia menyadari bahwa dirinya adalah benda mati. Hanya isyarat alam yang bisa ia lakukan. Misalnya, ia mengundang pelangi untuk mementaskan kecantikannya di ufuk timur. Berdandanlah pelangi itu menggunakan tujuh warna yang menyihir. Dilengkungkan badannya yang sungguh mirip lengkung tubuh Merylin Monroe.
Kanak-kanak itu tersihir. Mereka kagum, tapi tak sadar siapa yang berinisiatif untuk pementasan angkasa raya itu. Tentulah mereka tak bisa berterima kasih kepada gubuk yang mereka tempati. Mereka tak tahu apa yang dilakukannya. Dan gubuk merasa tak perlu memberitahukan itu semua. Ketentraman jiwa kanak-kanak sudah membuat ia bangga. Mulia sekali kawan, sungguh!
Lain kali, bila pelangi sedang tidak enak badan, gubuk akan meminta bantuan pohon-pohon perdu yang tersebar di sekeliling gubuk itu. Ia meminta pohon-pohon tersebut untuk menyembulkan bebunga yang indah. Bermunculanlah bebunga itu mengepung kanak-kanak yang sedang asyik mendiskusikan ihwal masalah mereka. Maka, kanak-kanak itu tentram pula hatinya menyakiskan betapa indah pemandangan di hadapannya.
Demikianlah sore itu. Qiroah berkumandang. Kanak-kanak pulang dengan ilmu baru yang mereka dapatkan setelah belajar bersama. Meski diliputi rasa bahagia, gubuk itu merasa sedih. Mengapa mereka harus pergi cepat itu? Begitu ratapnya.
Banyak nian yang bisa diceritakan oleh Gubuk Lancaran prihal apa yang didapatinya dari santri-santri yang berkunjung. Namun, ada satu perbuatan yang tak akan membuatnya memberi ampun kepada siapapun. Sungguh sangat menyakitkan perbuatan itu; membakar rumput dan pepohonan. Pada musim kemarau kejadian itu sering ditemui. Rumput-rumput yang mengering, karena deraan haus yang sangat, mudah terbakar. Hanya berbekal setumpuk rumput dan sebuah korek api kebakaran bisa melanda kemana-mana. Kebakaran berulang tiap musim kemarau. Dan musim inilah yang sangat dibenci oleh gubuk itu. Ia pasti merana karena tak ada kawan bicara setelah tangan-tangan setan itu membakarnya. Menyakitkan!
guluk-guluk, 02 maret 2010
0 Response to "Cerita dari Gubuk Lancaran #1"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.