Kakek, Kenangan, dan Kentongan
Bila ditanya, siapakah yang paling Anda merasa kehilangan dalam hidup Anda saat ini? Aku akan menjawab, Kakek. Orang tua Ayah. Apa yang melatarbelakangi Anda begitu merasa kehilangan? Aku akan menjawab, banyak! Kok begitu? Ya, memang begitu! Baiklah, saya ceritakan saja tentang beliau. Tapi, jangan terlalu mengambil mentah isi tulisan ini. Patut diingat, unsur subjektifitas sangat mungkin terjadi di sini. Kalian nilailah sendiri.
Aku paling susah kalau disuruh mengingat hari dan tanggal kelahiran atau wafat seseorang. Dalam kehidupanku, kata-kata “Tulisan adalah tali pengikat ingatan” sangat benar adanya. Mengingat hari dan tanggal kelahiran bila tak terbantu tulisan membuatku selalu lupa. Bahkan buat orang-orang terdekatku juga. Aku lupa kapan kelahiran Kakak-Kakakku, Adik-Adikku, Ayah-Ibuku. Nenek-Kakek apalagi, bahkan hari dan tanggal wafat mereka aku juga lupa. Termasuk Kakek yang kusayangi itu. Untungnya aku tidak lupa sama kelahiranku sendiri.
Yang aku ingat hanyalah bahwa aku sedikit ingatan tentang kepergiannya. Namun yang pasti waktu itu aku masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Aku masih belum tahu kalau mengingat hari dan tanggal kematian bagitu diperlukan bila aku dewasa nanti. Aku nyaris tidak menyimpan apa-apa dari kejadian beberapa tahun silam itu, selain hanya kenangan bagaimana Kakek melewati naza' sebelum ajal menjemputnya. Tatap mataku yang hingga kini rapi menyimpannya adalah ketika Kakek menahan tangis saat terakhir hidupnya. Aku begitu ingat beliau terbaring di ruang tamu yang tegelnya sudah bolong sana-sini. Orang-orang terdekat Kakek banyak berdatangan, mengerubunginya, menuntun membacakan kalimat-kalimat suci. Para tetangga juga berkumpul. Raut muka mereka semua terlihat cemas, sebagian ada yang mengalirkan air mata. Aku terbawa suasana. Mungkin bukan karena prihatin terhadap apa yang diderita Kakek, tapi lebih karena suasana yang sangat rawan saat itu. Aku merasa Kakek hanyalah sakit biasa seperti sakit beliau pada hari-hari sebelumnya.
Seharian Kakek menahan derita, baru memasuki malam harinya beliau mulai berhenti menangis. Meski sudah tidak parah, sebagian besar sanak-keluarga tetap berada di rumah Kakek, tak beranjak karena takut ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Aku, Adik dan Kakak, pulang pada sore hari. Di rumah, aku masih menahan keharuan yang kubawa dari rumah Kakek. Aku tidak bisa tidur nyenyak karena menyaksikan apa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aku tidak pernah menyaksikan Kakek menangis kecuali waktu itu. Aku merasa aneh sendiri tapi aku tidak berani menanyakannya kepada Kakakku. Aku melihat dia juga beraut masam, mungkin terbawa suasana sepertiku atau ada hal lain yang ia sembunyikan dariku.
Malam itu akhirnya aku bisa tertidur walau tidak nyenyak. Pagi harinya setelah bangun kudengar kabar bahwa Kakek telah pergi untuk selamanya. Aku tersadar bahwa Kakek tak ada lagi di tengah-tengah kami. Aku bersedih, aku merasa kehilangan. Namun, karena aku masih kecil saat itu kepergian Kakek tidak cukup kuat menyedot emosiku. Aku tidak sampai menangis karenanya. Mungkin karena aku masih sangat kecil waktu itu. Belum tahu makna kehilangan seseorang yang kita cintai.
Kakek disemayamkan bersanding dengan kuburan Nenek, isterinya, yang telah pergi sebelum aku lahir. Diantara saudara-saudara yang melihat hidup Nenek hanya saudariku yang paling tua. Dikemudian hari Kakek menikah lagi dengan seorang perempuan dari desa sebelah, tapi tidak memperoleh keturunan. Anak-anak Kakek bersama Nenek yang pertama berjumlah empat orang, termasuk ayahku.
Kakek dan Kenangan Tentangnya
Mengapa harus Kakek? Tentu ada banyak hal yang membuatnya lain dari orang-orang terdekatku, yang berarti pula ia menjadi spesial. Aku sangat mengaguminya karena Kakek begitu menyayangi aku dan saudara-saudaraku. Demikian pula terhadap sepupu-sepupuku dari Paman maupun Bibi. Bila mereka datang ke rumah Kakek sudah pasti Kakek banyak ngobrol tentang apa saja. Aku sudah lupa apa saja yang sering ditanyakannya padaku. Tapi intinya, beliau selalu membuat kami senang dengan cerita-ceritanya. Kakek juga jarang memarahi kami yang berkunjung bila salah satu di antara kami merusak perabot atau apa saja yang ada di rumah itu.
Ada satu lagi yang selalu membekas dalam hidupku, yaitu bila aku beranjak pulang dari rumahnya, pastilah Kakek selalu memberikan uang kepadaku. Kebiasaan itu berlanjut sampai akhir hayatnya. Siapa anak kecil seumuranku waktu itu yang tidak gembira mendapatkan uang. Aku bisa menggunakan uang itu untuk jajan di sekolah. Uang itu tak kupegang sendiri. Semua kendali ada di tangan ibu. Jadi, umur uang itu menjadi panjang.
Di antara keluarga Kakek, keluargakulah yang paling sering membesuknya. Hal itu karena rumahku yang paling dekat dengan rumahnya, hanya sekitar empat puluh meter. Pada hari-hari tertentu aku selalu datang ke rumah beliau untuk mengantarkan sesuatu. Misalnya, pada bulan Ramadhan, tahun baru islam, dan hari-hari sunnah berpuasa lainnya. Aku biasanya datang pada sore hari dan pulang bila senja sudah menguasai ufuk barat.
Satu hal yang hingga kini tak bisa kulupa dari kehidupan Kakek adalah kentongan. Entah mengapa, aku merasa aneh sendiri. Sebab, bukan kebiasaan orang-orang sekitar rumahku membuat kentongan yang digantung di teras rumah. Seumur-umur hanya kentongan itulah yang kusaksikan menggantung di pojok sebelah selatan dapur Kakek. Di rumahku tidak ada kentongan seperti itu. Paling-paling hanya kentongan mainanku yang tergeletak di sembarang tempat. Tapi, kentongan Kakek lain bentuknya dari kentonganku. Bila kentonganku terbuat dari bambu yang berkulit tipis, kentongan Kakek malah dari bagian bawah bambu yang tebal sekali kulitnya. Itu artinya, si pembuat masih harus berjuang membuat tipis kulit bambu itu, tidak dengan kentonganku yang memang berkulit tipis alami.
Kentongan itu masuk dalam otakku sebagai benda yang aneh. Dari segi bentuk yang melengkung juga dari kebiasaannya yang tidak lumrah dalam kehidupan kami. Suatu kali aku pernah memukul kentongan itu dengan keras, tapi ayahku buru-buru melarangnya. Aku tidak bertanya apa alasan Ayah melarang, begitupun aku tidak mendapat penjelasan dari ayah prihal larangannya. Itu pula yang membuatku makin merasa aneh dengannya. Sampai kini aku tidak tahu ada apakah dengan kentongan itu.
Kelak, ketika besar, aku coba untuk menafsir sendiri. Aku berusaha mengait-ngaitkan dengan posisi Kakek dalam kehidupan masyarakat. Aku tahu Kakek adalah tokoh masyarakat. Beliau hidup dalam masyarakat yang sangat primitif dan kasar pada zamannya. Sering terjadi carok dan perkelahian. Belum lagi maling yang mencari mangsa tiap malam. Mungkin kentongan itu untuk jaga-jaga agar keadaan masyarakat tetap damai dan tentram.
Begitulah tentang kakkeku.
Guluk-Guluk, 25 Desember 2009
Aku paling susah kalau disuruh mengingat hari dan tanggal kelahiran atau wafat seseorang. Dalam kehidupanku, kata-kata “Tulisan adalah tali pengikat ingatan” sangat benar adanya. Mengingat hari dan tanggal kelahiran bila tak terbantu tulisan membuatku selalu lupa. Bahkan buat orang-orang terdekatku juga. Aku lupa kapan kelahiran Kakak-Kakakku, Adik-Adikku, Ayah-Ibuku. Nenek-Kakek apalagi, bahkan hari dan tanggal wafat mereka aku juga lupa. Termasuk Kakek yang kusayangi itu. Untungnya aku tidak lupa sama kelahiranku sendiri.
Yang aku ingat hanyalah bahwa aku sedikit ingatan tentang kepergiannya. Namun yang pasti waktu itu aku masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Aku masih belum tahu kalau mengingat hari dan tanggal kematian bagitu diperlukan bila aku dewasa nanti. Aku nyaris tidak menyimpan apa-apa dari kejadian beberapa tahun silam itu, selain hanya kenangan bagaimana Kakek melewati naza' sebelum ajal menjemputnya. Tatap mataku yang hingga kini rapi menyimpannya adalah ketika Kakek menahan tangis saat terakhir hidupnya. Aku begitu ingat beliau terbaring di ruang tamu yang tegelnya sudah bolong sana-sini. Orang-orang terdekat Kakek banyak berdatangan, mengerubunginya, menuntun membacakan kalimat-kalimat suci. Para tetangga juga berkumpul. Raut muka mereka semua terlihat cemas, sebagian ada yang mengalirkan air mata. Aku terbawa suasana. Mungkin bukan karena prihatin terhadap apa yang diderita Kakek, tapi lebih karena suasana yang sangat rawan saat itu. Aku merasa Kakek hanyalah sakit biasa seperti sakit beliau pada hari-hari sebelumnya.
Seharian Kakek menahan derita, baru memasuki malam harinya beliau mulai berhenti menangis. Meski sudah tidak parah, sebagian besar sanak-keluarga tetap berada di rumah Kakek, tak beranjak karena takut ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Aku, Adik dan Kakak, pulang pada sore hari. Di rumah, aku masih menahan keharuan yang kubawa dari rumah Kakek. Aku tidak bisa tidur nyenyak karena menyaksikan apa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Aku tidak pernah menyaksikan Kakek menangis kecuali waktu itu. Aku merasa aneh sendiri tapi aku tidak berani menanyakannya kepada Kakakku. Aku melihat dia juga beraut masam, mungkin terbawa suasana sepertiku atau ada hal lain yang ia sembunyikan dariku.
Malam itu akhirnya aku bisa tertidur walau tidak nyenyak. Pagi harinya setelah bangun kudengar kabar bahwa Kakek telah pergi untuk selamanya. Aku tersadar bahwa Kakek tak ada lagi di tengah-tengah kami. Aku bersedih, aku merasa kehilangan. Namun, karena aku masih kecil saat itu kepergian Kakek tidak cukup kuat menyedot emosiku. Aku tidak sampai menangis karenanya. Mungkin karena aku masih sangat kecil waktu itu. Belum tahu makna kehilangan seseorang yang kita cintai.
Kakek disemayamkan bersanding dengan kuburan Nenek, isterinya, yang telah pergi sebelum aku lahir. Diantara saudara-saudara yang melihat hidup Nenek hanya saudariku yang paling tua. Dikemudian hari Kakek menikah lagi dengan seorang perempuan dari desa sebelah, tapi tidak memperoleh keturunan. Anak-anak Kakek bersama Nenek yang pertama berjumlah empat orang, termasuk ayahku.
Kakek dan Kenangan Tentangnya
Mengapa harus Kakek? Tentu ada banyak hal yang membuatnya lain dari orang-orang terdekatku, yang berarti pula ia menjadi spesial. Aku sangat mengaguminya karena Kakek begitu menyayangi aku dan saudara-saudaraku. Demikian pula terhadap sepupu-sepupuku dari Paman maupun Bibi. Bila mereka datang ke rumah Kakek sudah pasti Kakek banyak ngobrol tentang apa saja. Aku sudah lupa apa saja yang sering ditanyakannya padaku. Tapi intinya, beliau selalu membuat kami senang dengan cerita-ceritanya. Kakek juga jarang memarahi kami yang berkunjung bila salah satu di antara kami merusak perabot atau apa saja yang ada di rumah itu.
Ada satu lagi yang selalu membekas dalam hidupku, yaitu bila aku beranjak pulang dari rumahnya, pastilah Kakek selalu memberikan uang kepadaku. Kebiasaan itu berlanjut sampai akhir hayatnya. Siapa anak kecil seumuranku waktu itu yang tidak gembira mendapatkan uang. Aku bisa menggunakan uang itu untuk jajan di sekolah. Uang itu tak kupegang sendiri. Semua kendali ada di tangan ibu. Jadi, umur uang itu menjadi panjang.
Di antara keluarga Kakek, keluargakulah yang paling sering membesuknya. Hal itu karena rumahku yang paling dekat dengan rumahnya, hanya sekitar empat puluh meter. Pada hari-hari tertentu aku selalu datang ke rumah beliau untuk mengantarkan sesuatu. Misalnya, pada bulan Ramadhan, tahun baru islam, dan hari-hari sunnah berpuasa lainnya. Aku biasanya datang pada sore hari dan pulang bila senja sudah menguasai ufuk barat.
Satu hal yang hingga kini tak bisa kulupa dari kehidupan Kakek adalah kentongan. Entah mengapa, aku merasa aneh sendiri. Sebab, bukan kebiasaan orang-orang sekitar rumahku membuat kentongan yang digantung di teras rumah. Seumur-umur hanya kentongan itulah yang kusaksikan menggantung di pojok sebelah selatan dapur Kakek. Di rumahku tidak ada kentongan seperti itu. Paling-paling hanya kentongan mainanku yang tergeletak di sembarang tempat. Tapi, kentongan Kakek lain bentuknya dari kentonganku. Bila kentonganku terbuat dari bambu yang berkulit tipis, kentongan Kakek malah dari bagian bawah bambu yang tebal sekali kulitnya. Itu artinya, si pembuat masih harus berjuang membuat tipis kulit bambu itu, tidak dengan kentonganku yang memang berkulit tipis alami.
Kentongan itu masuk dalam otakku sebagai benda yang aneh. Dari segi bentuk yang melengkung juga dari kebiasaannya yang tidak lumrah dalam kehidupan kami. Suatu kali aku pernah memukul kentongan itu dengan keras, tapi ayahku buru-buru melarangnya. Aku tidak bertanya apa alasan Ayah melarang, begitupun aku tidak mendapat penjelasan dari ayah prihal larangannya. Itu pula yang membuatku makin merasa aneh dengannya. Sampai kini aku tidak tahu ada apakah dengan kentongan itu.
Kelak, ketika besar, aku coba untuk menafsir sendiri. Aku berusaha mengait-ngaitkan dengan posisi Kakek dalam kehidupan masyarakat. Aku tahu Kakek adalah tokoh masyarakat. Beliau hidup dalam masyarakat yang sangat primitif dan kasar pada zamannya. Sering terjadi carok dan perkelahian. Belum lagi maling yang mencari mangsa tiap malam. Mungkin kentongan itu untuk jaga-jaga agar keadaan masyarakat tetap damai dan tentram.
Begitulah tentang kakkeku.
Guluk-Guluk, 25 Desember 2009
0 Response to "Kakek, Kenangan, dan Kentongan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.