-->

Ibu Melarangku Menonton Karapan Sapi



“Mereka yang meniup tetet akan terbakar mulutnya kelak di akhirat,” kata Ibu suatu kali. Ia ucapkan kalimat tersebut sebagai peneguh agar aku tak menonton saronen yang biasa mengiringi karapan sapi. tetet (istilah menurut orang di kampungku) adalah alat tiup yang digunakan untuk kombinasi bunyi dalam saronen. Alat itu bentuknya panjang, agak mirip dengan terompet tetapi moncongnya tidak terlalu lebar. Antara kedunya memiliki perbedaan mencolok dalam hal suara.

Larangan menonton saronen adalah rangakaian dari larangan menonton karapan sapi. Akibatnya, hingga kini saya termasuk orang yang jarang menonton tradisi kebanggaan Madura tersebut. Seingat saya, hanya tiga kali. Itu pun dua kali karena kepergok saat jalan-jalan.

Bagi orang-orang di bagian timur rumah saya, karapan sapi adalah kompetisi yang populer. Mereka selalu ambil bagian bilamana ada lomba-lomba yang dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta, di Kebupaten Sumenep atau di tiga kabupaten lainnya di Madura.

Karapan sapi, bagi mereka, adalah perpaduan antara ilmu pasti dan klenik. Selain merawat dan memberikan jamu buat jagoannya, mereka juga datang kepada orang pintar untuk meminta jimat. Pun, mereka punya ritual-ritual khusus sebelum berangkat ke arena pertandingan, misalnya harus keluar dari rumahnya lewat pintu barat, selatan, atau timur, bergantung hari saat mereka berangkat menuju tempat berlangsungnya acara.

Di sekolah, guru-guru juga kerap menasihati saya dan teman-teman agar tidak menonton karapan sapi. Menurut mereka, karapan itu menyiksa binatang. “Nanti di akhirat mereka akan gantian, sapinya yang menjadi joki dan mereka yang akan dipacu,” kata salah satu guru kami. Gemetaranlah saat kami mendengarnya. Terbayang paku-paku yang menancap di pantat kami. Sang guru menambahkan kengerian, “Paku-paku itu tidak seperti paku biasanya. Mereka terbuat dari api neraka.” Kalimat pemungkas itu membuat kami kehilangan nyali.

Sang guru berhasil, tapi hanya sementara. Pada minggu berikutnya, sejumlah teman telah asyik kembali dengan kisah-kisah menarik tentang karapan yang baru mereka tonton. Aku sendiri hanya mendengarkan karena tak berani melanggar larangan Ibu dan sang guru tersebut. Namun, tak bisa dipungkiri, cerita teman-teman mengundang rasa penasaran.

Biasanya, untuk mengobati rasa penasaran itu, aku akan berlari ke jalan selatan rumah ketika lamat-lamat terdengar suara saronen. Suara-suara itu akan muncul ketika serombongan orang usai mengikuti kompetisi di desa atau kabupaten sebelah. Jalan di tenggara rumah adalah lintasan mereka untuk pulang dan pergi dari arena kompetisi.

Dulu, mereka biasanya jalan kaki, namun belakangan sudah menggunakan mobil karena jalan telah beraspal. Dengan seragam berwarna mencolok, sepanjang perjalanan mereka akan memainkan saronen. Lengkingan tetet terdengar hingga jauh, memecah keheningan sore yang kian memerah dan gelap. Sesekali tetabuhan itu berhenti untuk istirahat.

Yang aneh, tiap berada di dekat masjid, mereka menghentikan bunyi-bunyian tersebut. Menurut Ibu, hal itu untuk menghormati tempat ibadah. Saya tak paham dan memilih diam saja meski pikiran terus dirasuki pertanyaan.

Terhadap kebiasaan menonton saronen di pinggir jalan, Ibu tak melarang. Saya pun tak sendirian melakukan itu. Adik dan teman sepermainan juga berhamburan ketika mendengar suara saronen. Ia menjadi hiburan kami di sore hari sehabis bermain pal tandhu’ atau kelereng. Hiburan yang kadang membuat kami gemetaran membayangkan api neraka yang menjilat-jilat .…

Sumber foto: http://www.pulaumadura.com

6 Responses to "Ibu Melarangku Menonton Karapan Sapi"

  1. Kaya apa ya karapan sapi itu, gwe lum pernah tuh lihatnya

    ReplyDelete
  2. pengen nonton asli karapan sapi

    ReplyDelete
  3. Gmn budaya kita mau lestari kalau generasi mudanya dilarang melihatnya?

    ReplyDelete
  4. menarik sekali membaca tulisannya,
    jadi ingat masa kecil ku, diajarin begini juga di rumah :D

    eh mas, kalo nonton karapan sapi dilarang coba deh nonton pacu jawi di sumatera barat, siapa tau dikasih ijin. heheh

    salam kenal.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel