Setelah Saya Tak Punya Cita-Cita
Akhirnya saya memang memilih tak punya cita-cita, setelah sekian tahun memendam keinginan yang beragam, mulai jadi guru, presiden (ketika saya SD), penulis, sastrawan, wartawan, back peacker, internet marketer, web designer, dan banyak lagi yang sudah saya lupa. Semua itu betahun-tahun secara bergantian menguasai otak saya. Di belakang hari saya mulai berfikir untuk tidak berfikir tentang apa yang saya ingini dulu. Artinya semua itu akan saya buang!
Akhir-akhir ini saya mungkin termasuk seorang utopis. Bolehlah menyebutnya demikian, tapi sebenarnya tak terlalu mewakili. Saya tidak punya target dalam hidup ini. Saya tidak tahu alasan mengapa saya memilih tidak memendam cita-cita, apakah dilatari oleh kegagalan yang berulangkali saya alami ataukah karena memang cita-cita itu sudah saya anggap tak perlu. Dan perlu saya beritahu, dalam keadaan begini hidup saya lebih enak dan tak terbebani apapun.
Suatu sore menjelang adzan maghrib saya pernah mengutarakan hal ini kepada seorang kawan. Awal dia mendengar penjelasan saya, responnya jadi menyayangkan. Katanya, hidup dalam kondisi demikian sangat menyengsarakan di hari tua. Tak ada yang bisa diharapkan kecuali penyesalan yang bertubi-tubi. Hidup tak punya target adalah hidup para gelandangan. Iya, hidupnya saat ini mungkin enak-enak saja, tak ada riak-riak konflik, tapi kelak ketika sudah dewasa dan berkeluarga kita akan menyesal karena dulu tak pernah belajar dengan baik.
Dari pernyataan kawan itu, saya mulai menemukan titik terang bahwa saya memang tak pandai berkomunikasi. Dia salah menangkap maksud dari kalimat yang saya utarakan. Padahal maksud saya begini, hidup saya saat ini tidak punya target. Saya tidak punya harapan kelak saya akan menjadi apa, menjadi ini dan itu. Hidup ini mengalir saja seperti air. Bila terbentang aral, air akan mencari jalan keluarnya sendiri. Bila memang tak ada, air akan menghimpun kekuatan untuk menerjangnya. Itulah filosofinya, sangat sederhana namun sulit dilakukan.
Aral dalam kehidupan tentulah beragam bentuknya. Bisa berasal dari dalam atau juga dari luar diri kita. Dari dalam bisa dilihat dari kondisi batin kita, apakah ia dalam keadaan stress, tertekan, sakit hati, atau yang lainnya. Sementara dari luar kita bisa melihat bagaimana kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang mesti berinteraksi secara intens dengan diri kita. Dua macam aral tersebut niscaya dalam kehidupan manusia, walau ia tak mesti sama pada masing-masing orang.
Untuk keluar dari rintangan-rintangan tersebut saya diharuskan banyak belajar dan berbuat. Semacam air, saya harus mencari celah bagaimana lolos dari cengkeraman kehidupan yang sulit. Dan itu bergantung seberapa jauh saya menghargai kehidupan ini. Bila saya anggap kehidupan ini tak lebih hanya persinggahan sebentar yang tak begitu penting, apalah arti mencintai hidup ini. Apa guna belajar dengan susah payah hanya untuk kehidupan yang sebentar?
Setelah saya jelaskan panjang lebar hal yang saya maksud, ia kemudian berbalik arah mengatakan pilihan saya sangat tepat. “Itulah sebenarnya yang harus menjadi acuan kita saat ini. Tidak punya cita-cita tapi terus belajar dan terus belajar dari kehidupan ini,” katanya. Dia lalu mengatakan bahwa target yang sering menjadi tujuan akhir dalam kehidupan manusia, justru terasa menjadi semacam momok yang menakutkan. Bila target itu tidak tercapai, kita akan menjadi stress berat. Berdampaklah pada setiap inci dari kehidupan kita. Hidup menjadi tidak kebal dan mudah patah arang.
Entahlah, dengan kondisi seperti itu saya merasa menikmati hidup ini. Saya tidak ingin lagi menjadi penulis, walau dalam keseharian saya selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dalam menulis pun saya lebih santai, artinya tak terbebani apakah tulisan saya akan dimuat oleh media atau tidak. Saya menulis hanya untuk melatih bagaimana menentang aral, hanya untuk memecahkan problem kehidupan diri saya. Jadi, perkara tak dimuat di media massa tak begitu memberi efek. Pun saya mulai malas mempublikasikan tulisan saya di media. Selain karena memang masih jelek, saya juga beranggapan tulisan-tulisan yang dikirim membuat hidup saya dibebani target. Target saya dengan mengirim tulisan tersebut adalah harus terbit. Jika tidak terbit saya akan kecewa.
Tulisan-tulisan itu akhirnya saya publikasikan sendiri di Blog saya: http://belengbettung.blogspot.com. Kebanyakan tulisan-tulisan dalam Blog tersebut bertema tentang kehidupan saya. Tidak ada yang istimewa karena tulisan tersebut berangkat dari kehidupan yang memang sederhana. Jika pembaca menginginkan sebuah tulisan tentang petualangan, jangan harap mereka menemukannya dalam blog tersebut. Saya hanya menulis apa yang saya lihat dan saya rasakan. Pun ditambah dengan wawasan saya yang sangat minim prihal tema keseharian yang saya garap.
Saya sebenarnya ingin berpetualang. Saya ingin menulis tetang lokalitas yang akhir-akhir ini menjadi konsumsi menarik setelah ditulis dengan sempurna dalam novel-novel Andrea Hirata. Saya lumayan menggemari dunia yang satu ini, tapi saya selalu tidak punya akses keluar dari dunia saya yang sempit saat ini, dunia pondok pesantren. Saya akui saya memang tak pandai berkomunikasi. Kekurangan ini menjadi lengkap karena saya juga seorang penakut. Tidak berani pada tantangan. Padahal, dalam mencari akses komunikasi itu sangat penting.
Setelah saya membaca buku-buku Andrea Hirata yang menonjol dengan petualangan-petualangan dirinya, saya merasa kian tertantang untuk merealisasikan keinginan itu. Sebenarnya saya hanya perlu sedikit keberanian. Jalan itu terbentang dalam kehidupan ini. Hanya saja seakan-akan ia terlihat jauh dan samar karena memang tak pernah saya sentuh. Pandangan memang kadang berbeda dari apa yang kita sentuh.
Begitulah saya menjalani hidup saat ini. Mengalir seperti air…
guluk-guluk, 16 februari 2010
Akhir-akhir ini saya mungkin termasuk seorang utopis. Bolehlah menyebutnya demikian, tapi sebenarnya tak terlalu mewakili. Saya tidak punya target dalam hidup ini. Saya tidak tahu alasan mengapa saya memilih tidak memendam cita-cita, apakah dilatari oleh kegagalan yang berulangkali saya alami ataukah karena memang cita-cita itu sudah saya anggap tak perlu. Dan perlu saya beritahu, dalam keadaan begini hidup saya lebih enak dan tak terbebani apapun.
Suatu sore menjelang adzan maghrib saya pernah mengutarakan hal ini kepada seorang kawan. Awal dia mendengar penjelasan saya, responnya jadi menyayangkan. Katanya, hidup dalam kondisi demikian sangat menyengsarakan di hari tua. Tak ada yang bisa diharapkan kecuali penyesalan yang bertubi-tubi. Hidup tak punya target adalah hidup para gelandangan. Iya, hidupnya saat ini mungkin enak-enak saja, tak ada riak-riak konflik, tapi kelak ketika sudah dewasa dan berkeluarga kita akan menyesal karena dulu tak pernah belajar dengan baik.
Dari pernyataan kawan itu, saya mulai menemukan titik terang bahwa saya memang tak pandai berkomunikasi. Dia salah menangkap maksud dari kalimat yang saya utarakan. Padahal maksud saya begini, hidup saya saat ini tidak punya target. Saya tidak punya harapan kelak saya akan menjadi apa, menjadi ini dan itu. Hidup ini mengalir saja seperti air. Bila terbentang aral, air akan mencari jalan keluarnya sendiri. Bila memang tak ada, air akan menghimpun kekuatan untuk menerjangnya. Itulah filosofinya, sangat sederhana namun sulit dilakukan.
Aral dalam kehidupan tentulah beragam bentuknya. Bisa berasal dari dalam atau juga dari luar diri kita. Dari dalam bisa dilihat dari kondisi batin kita, apakah ia dalam keadaan stress, tertekan, sakit hati, atau yang lainnya. Sementara dari luar kita bisa melihat bagaimana kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain yang mesti berinteraksi secara intens dengan diri kita. Dua macam aral tersebut niscaya dalam kehidupan manusia, walau ia tak mesti sama pada masing-masing orang.
Untuk keluar dari rintangan-rintangan tersebut saya diharuskan banyak belajar dan berbuat. Semacam air, saya harus mencari celah bagaimana lolos dari cengkeraman kehidupan yang sulit. Dan itu bergantung seberapa jauh saya menghargai kehidupan ini. Bila saya anggap kehidupan ini tak lebih hanya persinggahan sebentar yang tak begitu penting, apalah arti mencintai hidup ini. Apa guna belajar dengan susah payah hanya untuk kehidupan yang sebentar?
Setelah saya jelaskan panjang lebar hal yang saya maksud, ia kemudian berbalik arah mengatakan pilihan saya sangat tepat. “Itulah sebenarnya yang harus menjadi acuan kita saat ini. Tidak punya cita-cita tapi terus belajar dan terus belajar dari kehidupan ini,” katanya. Dia lalu mengatakan bahwa target yang sering menjadi tujuan akhir dalam kehidupan manusia, justru terasa menjadi semacam momok yang menakutkan. Bila target itu tidak tercapai, kita akan menjadi stress berat. Berdampaklah pada setiap inci dari kehidupan kita. Hidup menjadi tidak kebal dan mudah patah arang.
Entahlah, dengan kondisi seperti itu saya merasa menikmati hidup ini. Saya tidak ingin lagi menjadi penulis, walau dalam keseharian saya selalu menyempatkan diri untuk menulis. Dalam menulis pun saya lebih santai, artinya tak terbebani apakah tulisan saya akan dimuat oleh media atau tidak. Saya menulis hanya untuk melatih bagaimana menentang aral, hanya untuk memecahkan problem kehidupan diri saya. Jadi, perkara tak dimuat di media massa tak begitu memberi efek. Pun saya mulai malas mempublikasikan tulisan saya di media. Selain karena memang masih jelek, saya juga beranggapan tulisan-tulisan yang dikirim membuat hidup saya dibebani target. Target saya dengan mengirim tulisan tersebut adalah harus terbit. Jika tidak terbit saya akan kecewa.
Tulisan-tulisan itu akhirnya saya publikasikan sendiri di Blog saya: http://belengbettung.blogspot.com. Kebanyakan tulisan-tulisan dalam Blog tersebut bertema tentang kehidupan saya. Tidak ada yang istimewa karena tulisan tersebut berangkat dari kehidupan yang memang sederhana. Jika pembaca menginginkan sebuah tulisan tentang petualangan, jangan harap mereka menemukannya dalam blog tersebut. Saya hanya menulis apa yang saya lihat dan saya rasakan. Pun ditambah dengan wawasan saya yang sangat minim prihal tema keseharian yang saya garap.
Saya sebenarnya ingin berpetualang. Saya ingin menulis tetang lokalitas yang akhir-akhir ini menjadi konsumsi menarik setelah ditulis dengan sempurna dalam novel-novel Andrea Hirata. Saya lumayan menggemari dunia yang satu ini, tapi saya selalu tidak punya akses keluar dari dunia saya yang sempit saat ini, dunia pondok pesantren. Saya akui saya memang tak pandai berkomunikasi. Kekurangan ini menjadi lengkap karena saya juga seorang penakut. Tidak berani pada tantangan. Padahal, dalam mencari akses komunikasi itu sangat penting.
Setelah saya membaca buku-buku Andrea Hirata yang menonjol dengan petualangan-petualangan dirinya, saya merasa kian tertantang untuk merealisasikan keinginan itu. Sebenarnya saya hanya perlu sedikit keberanian. Jalan itu terbentang dalam kehidupan ini. Hanya saja seakan-akan ia terlihat jauh dan samar karena memang tak pernah saya sentuh. Pandangan memang kadang berbeda dari apa yang kita sentuh.
Begitulah saya menjalani hidup saat ini. Mengalir seperti air…
guluk-guluk, 16 februari 2010
Keep do what you want do, did because you want to did it
ReplyDelete