Cerita dari Gubuk Lancaran #2
Aku menyukai pesona Gubuk Lancaran, apa boleh buat. Bagiku yang santri, nyaris hanya tempat itulah penawar rasa bosan, tidak kerasan, malas dan lainnya. Dulu, ketika aku masih aktif di pondok, bila perasaan tersebut mendera, biasanya aku mengajak kawan-kawan untuk mengunjungi tempat itu. Bergerombolanlah kami ke sana. Memang terbukti, tempat itu memberi ruang istirah bagi hatiku yang sedang ngilu. Ada nuansa lain yang ia tawarkan, tapi aku tak bisa menggambarkan dan tak ingin. Karena, bila terpaksa kugambarkan, aku takut melukai keeksotisannya. Memang tak semua kekacauan hati bisa ditawar oleh eloknya Bukit Lancaran dan pemandangan di sekitarnya. Sering juga hatiku tetap ngilu setelah menikmatinya. Itu terjadi bila kebosananku sudah menginjak stadium empat.
Sore hari adalah waktu yang paling tepat untuk berleha-leha. Dulu, bila tak ada kegiatan pondok aku pasti menghabiskan waktu di sana. Senja adalah pemandangan yang paling mengagumkan bagiku. Seperti kutulis pada blogku terdahulu, aku adalah seorang penyuka senja, baik ia nyata dalam pandangan atau melalui foto-foto yang memukau. Bahkan, karena kekaguman itu, aku pernah membuat blog dengan judul “Menunggu Senja”. Selain karena tersihir pukau bahasa Seno Gumira Ajidarma dalam tiap kali menarasikan suasana senja, aku juga memiliki kekaguman yang besar akan suasana mistis pada saat senja menjelang.
Mengunjungi tempat itu pada sore hari sering kuhabiskan hanya untuk menikmati senja. Buku-buku yang biasanya kubawa tak pernah dibuka. Pesona senja lebih menguasai ketimbang pesona sihir kata-kata dalam segebuk buku. Terkadang sebelum berangkat sudah ada niat untuk membaca, tapi ketika sampai di sana niat itu hablur. Ditambah lagi dengan asyiknya ngobrol bersama teman-teman. Pastilah acara baca-membaca terpinggirkan. Waktu bergerak cepat, tanpa dirasa oleh masing-masing kami, tiba-tiba qiroah sudah berkumandang. Senja pun siap mengantarkan kami menjumpai malam. Tamatlah perbincangan kami. Kami akan memasuki kebosanan baru.
Tak hanya sore hari, pada pagi sehabis ajian kitab banyak juga santri berkunjung ke sana untuk berolah raga. Bila tak sedang tidur pagi, biasanya aku menyempatkan diri untuk juga berolah raga. Jalan-jalan pagi minimal untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Nah, pada pagi inilah waktu yang banyak kugunakan untuk membaca buku dan kadang mencoba menulis. Namun, karena pada pagi hari sering kuhabiskan untuk tidur, maka kunjungan sekaligus kegiatan membaca buku menjadi tidak sesering pada sore hari.
Pada malam ke lima belas tahun baru Islam atau saat bulan purnama, tempat itu biasanya lebih ramai dikunjungi dari pada waktu lainnya. Memang indah tak terkira menikmati purnama sambil memandangi kerlap-kerlip ribuan lampu dari rumah penduduk di lereng-lereng pegunungan sebelah utara. Pada malam hari, lampu-lampu itu serupa semesta kunang-kunang. Menyhir dan magis! Namun, momen ini menjadi amat langka karena harus menunggu musim kemarau. Pada musim penghujan kondisi di sana tidak enak karena dingin dan basah air mana-mana. Ditambah lagi dengan purnama yang sering dibalut mendung.
Pada malam tersebut aku selalu tak lupa untuk pergi ke Gubuk Lancaran. Aku bisa berlama-lama di sana, bahkan beberapa kali pernah terlelap bersama teman-teman. Untunglah undang-undang pesantren waktu itu tidak diterapkan terlalu ketat. Meski datang pada larut malam tidak ada yang menegur kami. Tapi kami tetap was-was karena kami memang bersalah. Aku tidak bisa membayangkan bila ada santri yang coba-coba pulang larut malam dari bukit Lancara pada saat ini. Tentu mereka akan kena tegur atau bahkan kena gundul karena peraturan pondok saat ini sudah sangat mengikat.(Bersambung)
Sore hari adalah waktu yang paling tepat untuk berleha-leha. Dulu, bila tak ada kegiatan pondok aku pasti menghabiskan waktu di sana. Senja adalah pemandangan yang paling mengagumkan bagiku. Seperti kutulis pada blogku terdahulu, aku adalah seorang penyuka senja, baik ia nyata dalam pandangan atau melalui foto-foto yang memukau. Bahkan, karena kekaguman itu, aku pernah membuat blog dengan judul “Menunggu Senja”. Selain karena tersihir pukau bahasa Seno Gumira Ajidarma dalam tiap kali menarasikan suasana senja, aku juga memiliki kekaguman yang besar akan suasana mistis pada saat senja menjelang.
Mengunjungi tempat itu pada sore hari sering kuhabiskan hanya untuk menikmati senja. Buku-buku yang biasanya kubawa tak pernah dibuka. Pesona senja lebih menguasai ketimbang pesona sihir kata-kata dalam segebuk buku. Terkadang sebelum berangkat sudah ada niat untuk membaca, tapi ketika sampai di sana niat itu hablur. Ditambah lagi dengan asyiknya ngobrol bersama teman-teman. Pastilah acara baca-membaca terpinggirkan. Waktu bergerak cepat, tanpa dirasa oleh masing-masing kami, tiba-tiba qiroah sudah berkumandang. Senja pun siap mengantarkan kami menjumpai malam. Tamatlah perbincangan kami. Kami akan memasuki kebosanan baru.
Tak hanya sore hari, pada pagi sehabis ajian kitab banyak juga santri berkunjung ke sana untuk berolah raga. Bila tak sedang tidur pagi, biasanya aku menyempatkan diri untuk juga berolah raga. Jalan-jalan pagi minimal untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Nah, pada pagi inilah waktu yang banyak kugunakan untuk membaca buku dan kadang mencoba menulis. Namun, karena pada pagi hari sering kuhabiskan untuk tidur, maka kunjungan sekaligus kegiatan membaca buku menjadi tidak sesering pada sore hari.
Pada malam ke lima belas tahun baru Islam atau saat bulan purnama, tempat itu biasanya lebih ramai dikunjungi dari pada waktu lainnya. Memang indah tak terkira menikmati purnama sambil memandangi kerlap-kerlip ribuan lampu dari rumah penduduk di lereng-lereng pegunungan sebelah utara. Pada malam hari, lampu-lampu itu serupa semesta kunang-kunang. Menyhir dan magis! Namun, momen ini menjadi amat langka karena harus menunggu musim kemarau. Pada musim penghujan kondisi di sana tidak enak karena dingin dan basah air mana-mana. Ditambah lagi dengan purnama yang sering dibalut mendung.
Pada malam tersebut aku selalu tak lupa untuk pergi ke Gubuk Lancaran. Aku bisa berlama-lama di sana, bahkan beberapa kali pernah terlelap bersama teman-teman. Untunglah undang-undang pesantren waktu itu tidak diterapkan terlalu ketat. Meski datang pada larut malam tidak ada yang menegur kami. Tapi kami tetap was-was karena kami memang bersalah. Aku tidak bisa membayangkan bila ada santri yang coba-coba pulang larut malam dari bukit Lancara pada saat ini. Tentu mereka akan kena tegur atau bahkan kena gundul karena peraturan pondok saat ini sudah sangat mengikat.(Bersambung)
0 Response to "Cerita dari Gubuk Lancaran #2"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.