-->

Keponakanku

Pulang ke rumah menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Pada waktu-waktu tertentu aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah. Kadang memang karena ada keperluan, tapi pada waktu yang lain juga karena merindukan suasana rumah yang tentram. Ketentraman yang tak kutemukan di pondok. Kadang kala rumahku juga dalam keadaan ramai berkat tingkah polah keponakan-keponakanku yang nakalnya minta ampun. Bila aku pulang, mereka pasti berkunjung ke rumahku. Tentu saja suasana rumah itu, rumah nenek mareka, akan menjadi ramai karena ulah para cucu Ibu. Meski ramai, aku senang dengan kehadiran mereka. Suasana seperti itu membawaku terbang pada masa kanak-kanak. Tiba-tiba aku merindukannya!
Pada hari-hari biasa, rumahku selalu dalam kondisi sepi. Kesepian merajalela terutama menjelang matahari satu tombak di ufuk timur. Bapak kalau tidak pergi ke sawah biasanya mengajar sebuah madrasah tempat dulu aku sekolah tingkat dasar. Ibu lebih banyak berkutat di dapur, kadang juga ke sawah membantu bapak. Pertanian adalah ruh hidup kami. Keluargaku bertahan hidup dari menggarap sawah. Karena struktur tanah Madura yang gersang, pertanian nyaris tak menghasilkan peningkatan ekonomi berarti bagi keluargaku. Hasil pertanian itu hanya cukup untuk keperluan satu tahun masa hidup kami untuk kemudian menjumpai musim hujan pada tahun berikutnya. Musim hujan itulah kami bisa kembali bercocok tanam jagung, komuditas utama pertanian di daerahku.
Aku sesaudara berjumlah enam orang. Lima saudaraku semuanya perempuan. Hanya akulah yang laki-laki. Tiga di antara mereka sudah berkeluarga dan tidak lagi tinggal di rumahku. Mereka semua ikut dengan suami masing-masing. Tinggal aku dan kedua adikku yang masih lajang. Aku dan adik termudaku masih mondok. Kebetulan, kami berada dalam pondok yang sama. Jadi, yang tinggal saat ini dengan bapak dan ibu adalah adik tertuaku.
Begitulah, kondisi rumahku. Selalu sepi tiap hari. Aroma pedesaan yang kental dengan kondisi geografis tanah Madura pada umumnya, gersang dan tandus. Hanya pada saat keponakan-keponakanku berada di sana rumah itu kembali menjadi ramai. Biang keladi keramaian adalah dua keponakan laki-lakiku, Affani dan Aqil. Mereka bisa berbuat apa saja dengan benda-benda yang mereka lihat dan sukai. Tak pernah merasa salah jika nenek mereka, ibuku, meraung-raung melihat mereka mamainkan handphone lalu membantingnya. Kadang juga remot kontrol. Melihat hal itu, ibu tak akan berbuat banyak kecuali omelannya yang terus meluncur menyaksikan kenakalan dua ksatria itu. Dan kampretnya, mereka hanya terbahak-bahak lalu lenyap tunggang-langgang mencari kawan-kawannya.
Terkadang aku juga dibuatnya kesal. Kekesalan itu biasa terjadi ketika kami sama-sama berada di depan televisi. Aku yang lebih suka memutar acara berita justru menjadi biang kemarahan keponakan-keponakanku tersebut. Mereka lebih gemar menonton film kartun atau robot. Jika serial Upin dan Ipin sudah diputar oleh stasiun televisi, mereka tidak bisa diganggu gugat. Remot kontrol mereka pegang dengan erat. Jika aku minta, serangan koloni dua ksatria itu akan menghujaniku. Praktis aku tak bisa apa-apa. Jika sudah begitu, maka aku pergi ke kamar, kadang tidur kadang baca buku. Untuk yang terakhir aku lebih intens melakukan kegiatan tersebut ketika berada di rumah ketimbang saat berada di pondok. Di pondok aku selalu disibukkan dengan hal-hal yang kadang tidak terlalu penting.
Meski bandelnya bukan main, aku tak pernah merasa berhak memarahinya. Lain dari kakeknya, ayahku, yang kadang membentak untuk mencegah keonaran mereka. Kadang aku merasa kasihan mereka kena bentak. Tapi begitulah karakter bapakku, keras! Jika bapak yang memarahinya, maka keduanya akan diam. Mereka akan minggat dari hadapan bapakku. Dalam keluargaku, keponakanku itu hanya takut kepada tiga orang; bapakku, setelah itu bapak mereka masing-masing.
Aku merasa bangga memiliki keponakan-keponakan seperti mereka. Kebandelan yang ditunjukkan bukan jaminan kelak mereka akan jadi begundal. Bahkan dalam terminologi psikologi, karakter anak-anak yang bandel selalu dikaitkan dengan kemampuan berpikir mereka yang di atas rata-rata. Kebandelan pada masa kecil adalah proses mereka mengenal dunia. Kata kuncinya berada pada orang tua. Jika orang tua memberi pelajaran dengan membentak-bentak, tidak menutup kemungkinan mereka akan jadi begundal beneran.
Untunglah, dalam keluargaku mereka pernah mengenyam pendidikan, walau hanya pada tingkat menengah atas di pondok pesantren. Setidaknya, mereka pernah mendengar sedikit saja tentang bagaimana mendidik anak yang baik. Itu sudah cukup ketimbang tidak sama sekali. Aku bersyukur mereka bisa menyayangi anak masing-masing meski dengan kondisi ekonomi yang masih aut-autan.

****


Pada 02 April kemarin aku pulang ke rumah. Sudah sekitar dua bulan aku tidak pulang. Jangka waktu yang lama itu membuatku rindu akan celotehan keponakan-keponakanku. Niat itu sebenarnya sudah lama kurencanakan. Namun karena tak punya banyak waktu, rencana itu belum juga bisa dilaksanakan. Baru pada hari jumat kemarin rencana itu terlaksana. Itupun aku hanya menginap satu malam. Tidak seperti biasanya yang sampai dua hari atau tiga hari.
Aku pulang ke rumah usai melaksanakan shalat jumat. Pada hari itu, kebetulan ada kakak sepupuku yang masuk kuliah. Dia masuk program madin di tempat kuliahku, program yang dikhususkan bagi guru-guru madrasah diniah. Hanya dua hari dia kuliah, kamis dan jumat. Kalau tidak minta antar kepada teman, jika ingin pulang biasanya aku ikut dia. Tapi, aku lebih sering minta diantarkan kepada teman karena aku sering pulang bukan pada hari kamis dan jumat.
Sesampai di rumah, tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Rumahku masih dalam keadaan sepi. keponakan-keponakanku entah berada di mana. Mereka mungkin bermain bersama teman-temannya. Kalau rumah itu dalam keadaan sepi, keponakan-keponakanku biasanya sering tidak kerasan. Mereka memilih kembali ke rumahnya masing-masing karena mereka bisa menemukan lebih banyak teman di sana. Kebannyakan tetangga-tetangga kecilku memang lebih suka pergi ke desa sebelah untuk bermain pada sore hari. Praktis lingkungan rumahku menjadi makin sepi saja.
Keesokan harinya, aku bisa menemui dua ksatria itu. Mereka masih seperti dulu, nakal. Hanya saja mereka mulai tak berani macam-macam denganku. Terbukti, waktu kami menonton televisi dan kupatok menyetel berita mereka tetap tidak merasa harus merebut remot kontrolnya dariku. Memang ada riak-riak penolakan, namun mereka tak berbuat banyak selain hanya menyaksikan tayangan yang kusuka tersebut. Sebenarnya mudah saja menebak kenapa mereka menjadi lebih lunak, jawabannya hanya satu; sebubungkus wafer yang aku kasi. Itu kuncinya! Dasar!

0 Response to "Keponakanku"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel