Impian Saya
Impian terbesar saya saat ini adalah menulis novel. Saya menaruh harapan besar kepada diri saya sendiri untuk bisa meluangkan waktu menulis sebuah kisah. Entah kisah apa saja, tapi saya menginginkan kisah tersebut tidak jauh-jauh dari kehidupan saya. Bila ternyata berada di seberang, saya sendiri yang kerepotan. Meski tantangannya besar, tapi saya coba dari yang termudah dahulu. Saya juga emoh menulis yang tidak saya pahami. Sebab, ini akan menjadikan banyak problem yang terus berlarut-larut dan tidak menutup kemungkinan kian membuat saya emoh untuk berkarya. Yang dekat-dekat dengan saya masih belum saya kerjakan, apalagi yang berada jauh di sana?
Saya tidak muluk-muluk dalam hal ini. Begitupun hasilnya kelak, saya tidak berniat karya itu bisa dicetak oleh penerbit nasional. Impian itu terlalu tinggi untuk seorang saya yang memang jarang menulis. Dan saya yakin karya tersebut hanya akan menambah sesak kumpulan novel-novel buruk yang saat ini sudah menghuni banyak rak buku kita yang terpaksa kita beli karena melihat label best seller yang menyala terang di sampulnya. Selain itu, konon banyak memproduksi buku juga kian mempercepat proses global warming yang kini banyak diperbincangkan tak hanya geolog tapi juga masyarakat yang mulai merasakan dampak negatifnya. Kertas buku yang terbuat dari kayu adalah sumber masalah utama terhadap kekacauan lingkungan. Dalam sekali terbit bisa dibayangkan berapa banyak pohon harus ditebang gara-gara novel amburadul tak punya karakter. Sumbangan yang dihasilkan tidak sebanding dengan kerusakan yang harus diderita. Itu naif namanya!
Jadi, cetak atau tidak cetak itu urusan nomer sekian. Yang penting saya lakukan saat ini adalah mewujudkan karya tersebut. Pun saya tidak berpikir terlalu muluk untuk urusan kualitas. Terus terang, saat ini saya hanya berpikir tentang kuantitas. Bentuk nyata novel itulah kuantitas bagi saya. Terserah apakah isinya kacau-balau itu urusan lain yang sepertinya tidak sedang saya urus sekarang. Apa alasan saya memilih kuantitas dari kualitas?
Saya beritahu Anda sekarang. Impian saya tentang menulis novel adalah impian lama yang tak kunjung saya penuhi. Saya bukan tidak pernah mencoba menulis, tapi karena saya sering patah arang akhirnya ia tak pernah selesai. Banyak hal yang bisa membuat saya menjadi enggan meneruskan tulisan yang sudah saya rancang. Salah satunya adalah karena tak ada mood. Saya paling sukar bersinergi dengan makhluk yang satu ini. Terkadang saat keinginan menggebu-gebu untuk menulis, tiba-tiba runtuh oleh karena satu hal yang sangat sepele, misalnya ada SMS yang masuk ke HP saya. Saya baca pesan, hilanglah semua apa yang ada dipikiran. Atau saya sering tidak tahan kalau duduk berlama-lama di depan komputer. Atau yang lain lagi, saya sering merasa bosan terhadap kondisi yang bising. Dan sekian banyak hal yang membuat karya itu akhirnya hanya abadi dalam kenangan.
Dulu, saya pernah merancang poin-poin besar untuk saya tulis menjadi novel. Saya tekun memilah konflik apa kira-kira yang akan terjadi pada masing-masing bab. Pada sub-sub bab sudah saya tuliskan masing-masing alur besar ceritanya. Ketika sudah lengkap semuanya, tenyata apa yang terjadi tak seindah yang saya bayangkan. Kerangka itu tetaplah hidup hanya sebagai kerangka. Entah sudah ada di mana sekarang. Mungkin terikut karya-karya saya yang dibakar beberapa tahun lalu. Saya pun tak berhasrat membangkitkannya kembali. Biarlah itu menjadi catatan kelak dalam hidup saya, bahwa saya pernah beberapa kali ingin menulis novel, tapi tak pernah terealisasi.
Saya juga pernah menyiapkan satu buku tulis untuk menulis novel. Buku itu agak tebal dan mahal, menurut ukuran finansial saya. Kali ini saya tidak menyertakan kerangka alur cerita sebagaimana yang sering saya lakukan pada tulisan-tulisan sebelumnya. Saya curiga, jangan-jangan karena ada kerangka itulah saya tidak bisa menuntaskannya. Dari pada terus-terusan bergantung pada kerangka, baiklah saya coba teori yang lain. Untuk tahap-tahap awal ternyata manjur, saya bisa menghasilkan beberapa lembar dengan santainya. Tetapi akhirnya mentok lagi. Saya kembali mengalami kejenuhan dan pikiran kusut. Penyakit baru datang lagi, saya jenuh menulis di buku tulis. Kembali saya tinggalkan hasrat itu untuk yang kesekian kalinya. Buku tersebut akhirnya menjadi buku catatan kuliah.
Motivasi Menulis
Terus terang, sebagi penulis yang masih runtang-runtung membangun gairah, saya tidak bisa leluasa mengatur waktu. Hari-hari saya lebih banyak tersedot oleh pekerjaan lain yang kebanyakan hanyalah untuk bersantai-santai. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bermain game, browsing situs jejaring sosial, chatting, nonton film, dll. Saya tahu itu tidak akan banyak mendukung karier saya jika ingin menjadi penulis.
Dengan kebiasaan saya yang demikian, saya sering merasa tidak bakat menjadi seorang penulis. Apa yang dikatakan oleh banyak orang bahwa bakat hanya sekian persen dari kerja keras itu tidak cukup kuat memberi impuls pada diri saya. Bahkan, saya berasumsi lain tentang bakat itu sendiri, bakat itu sebenarnya adalah akumulasi dari keterampilan dan kerja keras. Saya tidak yakin orang yang punya keterampilan bila tidak disertai dengan kerja keras akan menjadi sukses di bidangnya. Itu sangat mustahil bagi saya. Jadi, mereka yang bakat jadi penulis sudah pasti memiliki keterampilan menulis dan bekerja keras. Simpel sebenarnya.
Saya biasa termotivasi untuk menulis novel setelah membaca novel orang lain. Anehnya, saya terbawa arus pikir dan selera mereka dalam menulis. Misalkan saya membaca karya-karya Hamka, saya tergerak untuk menulis dengan gaya dia. Atau karya-karya teenlit milik Ahmad Munif. Saya pernah membaca beberapa karya-karya klasik, misalnya Atheis karya Akhdiat K. Miharja, Salah Asuhan-nya Abdul Muis, apalagi Tenggelamnya Kapal Van Derwijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah-nya Hamka. Beberapa karya klasik lainnya sudah saya lupa judulnya. Saya juga pernah membaca novel-novel sastra karya Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Teguh Winarso AS., dll. Pun novel-novel teenlit semacam Soulmate, Cinta Monyet dan novel-novel pop pesantren semacam Cinta Lora, Santri Simelekete, Bola-bola Santri, Love in Pesantren, dan lainnya. Untuk karya besar seperti tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata dan novel Perahu Kertas-nya Dewi Lestari sudah barang tentu saya membacanya. Saya juga pernah membaca karya-karya novel terjemahan karya Dan Brown, Jose Sharamago, dan Jostein Garder.
Tiap kali selesai membaca novel, saya selalu tergerak untuk membuat novel juga. Dari sekian novel yang mengirim energi paling besar adalah karya-karya Andrea Hirata. Tiap kali membaca karya-karya dia pasti saya tergerak untuk menulis. Kalau tidak menulis novel (yang akhirnya mentok), saya biasanya membuat resensi panjang tentang buku tersebut. Entah apa yang membuatnya mengirim energi yang besar dalam batin saya. Saya hanya tahu bahwa novel-novelnya Andrea itu sangat inspiratif, herois, penuh tantangan. Tetapi, bagi saya, unsur terpenting dalam novel tersebut adalah bahwa ia menulis persoalan yang paling dekat dengan diri saya. Bagaimana digambarkan dalam novel tersebut tentang kahidupan orang-orang miskin, latar pedesaan yang kumuh, pekerja keras, dan sekian masalah yang kerap menghantui kehidupan penduduk desa. Apa yang ditulis Andrea itu persis seperti yang dialami oleh masyarakat di desa saya. Sepertinya, novel tersebut adalah rangkuman dari kehidupan penduduk desa saya yang memang tergolong miskin. Ia menjadi corong ketika kehidupan desa semakin dipinggirkan oleh kota yang ganas dan membunuh.
Saya, sebagai orang yang lahir dalam kerumunan persoalan seperti yang ditulis Andrea, juga merasa termotivasi untuk bisa menghasilkan karya dengan latar pedesaan dan segala pernak-perniknya. Saya tidak berniat menjadi plagiat dia, seperti banyak terjadi pada buku-buku yang terbit kemudian. Saya berkeyakinan tidak semua yang ditulis Andrea sudah mewakili kehidupan masyarakat di desa saya. Masih banyak yang belum tersentuh karena memang Andrea tidak hidup dalam lingkungan saya. Jelas ada banyak perbedaan baik secara sosiologis maupun geografis. Kebudayaan masyarakat Belitong sudah pasti banyak berbeda dengan masyarakat Madura. Hanya satu yang paling dekat, yaitu kedua daerah tersebut sangat religius. Nah, saya ingin menulis apa yang tidak ditulis oleh orang Belitong tersebut.
Bila dipikir matang, ini merupakan proyek besar bagi saya. Mengapa besar? Pertama, lingkup persoalan terlalu luas dengan cakupan masyarakat Madura secara keseluruhan. Kedua, saya tidak banyak tahu tentang kebudayaan Madura yang tidak segelintir. Ketiga, saya tidak suka meneliti. Keempat, saya masih pemula. Kelima, saya pemalas.
Melihat tantangan yang sangat besar itu, saya lalu mereka-reka bagaimana jika ruang lingkupnya saya buat jadi mengerucut. Terpercik ide bagus, yaitu ruang lingkup pesantren. Modal hidup delapan tahun di pesantren saya kira sudah masuk kategori cukup untuk tahu seluk-beluk tentang kahidupannya. Meski masih banyak hal yang harus saya persiapkan. Namun, modal tersebut sudah saya anggap cukup untuk bisa memulai. Yang lain-lain biar berjalan setelah saya memulai menuliskannya.
****
Keinginan terakhir menulis novel adalah karena saya membaca novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Novel tersebut sangat memotivasi saya meski tidak sedahsyat karya-karya Andrea Hirata. Novel itu menceritakan proses panjang pertemuan antara Kugy yang bercita-cita menjadi tukang dongeng dan Keenan yang bercita-cita menjadi pelukis handal. Banyak persoalan yang mendera keduanya, mulai dari runtuhnya persahabatan, pertentangan dengan orang tua, sampai masalah cinta yang tak kunjung terucapkan. Novel tesebut berlatar perkotaan dengan bahasa khas anak muda yang kinclong. Novel tersebut juga berbeda dari novel-novel Dee (panggilan akrab Dewi Lestari) sebelumnya. Bila untuk tetralogi Supernova ia bermain-main dengan fisika, psikologi, matematika, dsb., dalam Perahu Kertas ia merangkai ceritanya dengan bahasa yang ringan seringan teenlit. Kebanyakan pembaca Dee mengatakan ini memang teenlit, tapi tak seperti teenlit pada umumnya. Dee memiliki kemampuan mengolah psikologi tokohnya dengan menampilkan karakter yang jelas terpilah antara masing-masing tokoh.
Tapi, bukan itu yang minginspirasi saya. Saya lebih tertarik mengikuti prosesnya. Novel tersebut ditulis dalam jangka waktu hanya 55 hari. Bisa dibayangkan bagaimana Dee melewati hari-harinya hanya dengan komputer dan ruangan kost. Dia sampai menyewa sebuah kamar kost di Bandung untuk merampungkan novel tersebut. Untuk novel ini ia menyebut proyek gila-gilaan, karena Dee tidak terbiasa menulis novel dalam waktu yang sangat singkat. Untuk satu novel terdahulu ia bisa menghabiskan waktu selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Memang, novel tersebut bukan berangkat dari nol. Artinya, ia sudah pernah ditulis oleh Dee, tapi tidak dilanjutkan karena kekurangan energi. Novel tersebut kalau tidak salah ditulis pada tahun 1996. Sempat pula diterbitkan dalam bentuk digital oleh Hypermind dan kemudian diterbitkan ulang oleh vendor seluler XL dalam bentuk WAP. Pada akhirnya ia tulis kembali hingga menjadi buku. Proses menulisnya bisa dilihat di blognya Dee.
Yang sangat menarik dari proses lahirnya novel ini adalah ketika pertama kali Dee menulis dan menerbitkannya secara berseri. Tiap seri dia berikan kepada keluarga dan teman-teman kost-nya. Ketika akhirnya novel itu mentok, banyak yang komplain kepada Dee. Dee sadar bahwa novelnya sudah menanam virus kepada pembacanya. Semacam adiksi yang itu ditimbulkan oleh konflik yang direspon pembaca. Pembaca sudah merasuk dalam novel tersebut.
Saya ingin menulis novel dengan cara Dee itu. Menulis secara berseri dan saya terbitkan untuk kemudian saya sumpal kepada teman-teman. Saya tahu, akan ada banyak anggapan miring tentang tingakah laku saya itu. Misalnya, sok tahu, berani-beraninya nyuruh membaca, dan sebagainya, dan seterusnya. Tapi, setelah dipikir, ternyata perasaan ini hanyalah perasaan tukang putus asa yang tidak perlu dihiraukan. Saya kemudian tahu resiko itu sangat kecil kemungkinannya. Bahkan mereka bisa sangat responsif bila saya memberikannya dengan suka hati dan meminta mereka memberikan komentar. Saya yakin mereka akan merasa terhormat dengan dimintai pendapat.
Satu-satu usaha saya untuk mewujudkan mimpi itu terealisasi. Yang pertama adalah menerbitkan selebaran secara gratis. Memang baru terbit pertama kali, tapi saya optimis “proyek” ini akan berhasil karena cukup mudah. Pun hanya membutuhkan dana yang sedikit. Saya menerbitkan selebaran itu hanya satu lembar dengan dua tulisan. Kemudian saya foto copy sebanyak 30 buah. Bila diakumulasi biayanya tak sampai Rp. 10.000. Untuk menutupi biaya tersebut saya patungan dengan seorang kawan. Dia setuju setelah saya utarakan ide membuat selebaran itu. Dia juga sedang giat-giatnya menulis. Jadi, penjaga gawangnya adalah kami berdua. Kami akan terbantu belajar menulis dengan media tersebut.
Saat ini saya sedang berpikir keras bagaimana mewujudkan novel secara berseri dalam selebaran itu. Saya tahu ini tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya mungkin butuh meringkuk dalam kamar selama beberapa hari seperti halnya Dee, tapi saya bisa menebak itu sulit dilaksanakan. Saya mungkin hanya butuh banyak waktu berada di tempat sepi karena saya mudah pecah konsentrasi bila mendengarkan kebisingan. Otomatis saya harus kembali menulis di buku tulis, pekerjaan yang sudah jarang saya lakukan setelah lama bergaul dengan komputer. Saya tidak punya laptop yang memungkinkan saya bisa menulis di mana saja. Saya biasanya menulis di komputer milik kantor. Praktis saya tidak bisa berbuat banyak terhadap media menulis saya tersebut.
Menulis ke buku tulis tidak apa-apa, yang penting saya bisa menghasilkan karya. Toh, walaupun masih perlu beradaptasi kembali karena saking lamanya. Semoga proyek ini tak berhenti hanya pada angan-angan, hanya menjadi santapan kenangan. Agar kelak bisa terbaca oleh anak cucu saya!
13-14 Januari 2010
Saya tidak muluk-muluk dalam hal ini. Begitupun hasilnya kelak, saya tidak berniat karya itu bisa dicetak oleh penerbit nasional. Impian itu terlalu tinggi untuk seorang saya yang memang jarang menulis. Dan saya yakin karya tersebut hanya akan menambah sesak kumpulan novel-novel buruk yang saat ini sudah menghuni banyak rak buku kita yang terpaksa kita beli karena melihat label best seller yang menyala terang di sampulnya. Selain itu, konon banyak memproduksi buku juga kian mempercepat proses global warming yang kini banyak diperbincangkan tak hanya geolog tapi juga masyarakat yang mulai merasakan dampak negatifnya. Kertas buku yang terbuat dari kayu adalah sumber masalah utama terhadap kekacauan lingkungan. Dalam sekali terbit bisa dibayangkan berapa banyak pohon harus ditebang gara-gara novel amburadul tak punya karakter. Sumbangan yang dihasilkan tidak sebanding dengan kerusakan yang harus diderita. Itu naif namanya!
Jadi, cetak atau tidak cetak itu urusan nomer sekian. Yang penting saya lakukan saat ini adalah mewujudkan karya tersebut. Pun saya tidak berpikir terlalu muluk untuk urusan kualitas. Terus terang, saat ini saya hanya berpikir tentang kuantitas. Bentuk nyata novel itulah kuantitas bagi saya. Terserah apakah isinya kacau-balau itu urusan lain yang sepertinya tidak sedang saya urus sekarang. Apa alasan saya memilih kuantitas dari kualitas?
Saya beritahu Anda sekarang. Impian saya tentang menulis novel adalah impian lama yang tak kunjung saya penuhi. Saya bukan tidak pernah mencoba menulis, tapi karena saya sering patah arang akhirnya ia tak pernah selesai. Banyak hal yang bisa membuat saya menjadi enggan meneruskan tulisan yang sudah saya rancang. Salah satunya adalah karena tak ada mood. Saya paling sukar bersinergi dengan makhluk yang satu ini. Terkadang saat keinginan menggebu-gebu untuk menulis, tiba-tiba runtuh oleh karena satu hal yang sangat sepele, misalnya ada SMS yang masuk ke HP saya. Saya baca pesan, hilanglah semua apa yang ada dipikiran. Atau saya sering tidak tahan kalau duduk berlama-lama di depan komputer. Atau yang lain lagi, saya sering merasa bosan terhadap kondisi yang bising. Dan sekian banyak hal yang membuat karya itu akhirnya hanya abadi dalam kenangan.
Dulu, saya pernah merancang poin-poin besar untuk saya tulis menjadi novel. Saya tekun memilah konflik apa kira-kira yang akan terjadi pada masing-masing bab. Pada sub-sub bab sudah saya tuliskan masing-masing alur besar ceritanya. Ketika sudah lengkap semuanya, tenyata apa yang terjadi tak seindah yang saya bayangkan. Kerangka itu tetaplah hidup hanya sebagai kerangka. Entah sudah ada di mana sekarang. Mungkin terikut karya-karya saya yang dibakar beberapa tahun lalu. Saya pun tak berhasrat membangkitkannya kembali. Biarlah itu menjadi catatan kelak dalam hidup saya, bahwa saya pernah beberapa kali ingin menulis novel, tapi tak pernah terealisasi.
Saya juga pernah menyiapkan satu buku tulis untuk menulis novel. Buku itu agak tebal dan mahal, menurut ukuran finansial saya. Kali ini saya tidak menyertakan kerangka alur cerita sebagaimana yang sering saya lakukan pada tulisan-tulisan sebelumnya. Saya curiga, jangan-jangan karena ada kerangka itulah saya tidak bisa menuntaskannya. Dari pada terus-terusan bergantung pada kerangka, baiklah saya coba teori yang lain. Untuk tahap-tahap awal ternyata manjur, saya bisa menghasilkan beberapa lembar dengan santainya. Tetapi akhirnya mentok lagi. Saya kembali mengalami kejenuhan dan pikiran kusut. Penyakit baru datang lagi, saya jenuh menulis di buku tulis. Kembali saya tinggalkan hasrat itu untuk yang kesekian kalinya. Buku tersebut akhirnya menjadi buku catatan kuliah.
Motivasi Menulis
Terus terang, sebagi penulis yang masih runtang-runtung membangun gairah, saya tidak bisa leluasa mengatur waktu. Hari-hari saya lebih banyak tersedot oleh pekerjaan lain yang kebanyakan hanyalah untuk bersantai-santai. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk bermain game, browsing situs jejaring sosial, chatting, nonton film, dll. Saya tahu itu tidak akan banyak mendukung karier saya jika ingin menjadi penulis.
Dengan kebiasaan saya yang demikian, saya sering merasa tidak bakat menjadi seorang penulis. Apa yang dikatakan oleh banyak orang bahwa bakat hanya sekian persen dari kerja keras itu tidak cukup kuat memberi impuls pada diri saya. Bahkan, saya berasumsi lain tentang bakat itu sendiri, bakat itu sebenarnya adalah akumulasi dari keterampilan dan kerja keras. Saya tidak yakin orang yang punya keterampilan bila tidak disertai dengan kerja keras akan menjadi sukses di bidangnya. Itu sangat mustahil bagi saya. Jadi, mereka yang bakat jadi penulis sudah pasti memiliki keterampilan menulis dan bekerja keras. Simpel sebenarnya.
Saya biasa termotivasi untuk menulis novel setelah membaca novel orang lain. Anehnya, saya terbawa arus pikir dan selera mereka dalam menulis. Misalkan saya membaca karya-karya Hamka, saya tergerak untuk menulis dengan gaya dia. Atau karya-karya teenlit milik Ahmad Munif. Saya pernah membaca beberapa karya-karya klasik, misalnya Atheis karya Akhdiat K. Miharja, Salah Asuhan-nya Abdul Muis, apalagi Tenggelamnya Kapal Van Derwijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah-nya Hamka. Beberapa karya klasik lainnya sudah saya lupa judulnya. Saya juga pernah membaca novel-novel sastra karya Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Teguh Winarso AS., dll. Pun novel-novel teenlit semacam Soulmate, Cinta Monyet dan novel-novel pop pesantren semacam Cinta Lora, Santri Simelekete, Bola-bola Santri, Love in Pesantren, dan lainnya. Untuk karya besar seperti tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata dan novel Perahu Kertas-nya Dewi Lestari sudah barang tentu saya membacanya. Saya juga pernah membaca karya-karya novel terjemahan karya Dan Brown, Jose Sharamago, dan Jostein Garder.
Tiap kali selesai membaca novel, saya selalu tergerak untuk membuat novel juga. Dari sekian novel yang mengirim energi paling besar adalah karya-karya Andrea Hirata. Tiap kali membaca karya-karya dia pasti saya tergerak untuk menulis. Kalau tidak menulis novel (yang akhirnya mentok), saya biasanya membuat resensi panjang tentang buku tersebut. Entah apa yang membuatnya mengirim energi yang besar dalam batin saya. Saya hanya tahu bahwa novel-novelnya Andrea itu sangat inspiratif, herois, penuh tantangan. Tetapi, bagi saya, unsur terpenting dalam novel tersebut adalah bahwa ia menulis persoalan yang paling dekat dengan diri saya. Bagaimana digambarkan dalam novel tersebut tentang kahidupan orang-orang miskin, latar pedesaan yang kumuh, pekerja keras, dan sekian masalah yang kerap menghantui kehidupan penduduk desa. Apa yang ditulis Andrea itu persis seperti yang dialami oleh masyarakat di desa saya. Sepertinya, novel tersebut adalah rangkuman dari kehidupan penduduk desa saya yang memang tergolong miskin. Ia menjadi corong ketika kehidupan desa semakin dipinggirkan oleh kota yang ganas dan membunuh.
Saya, sebagai orang yang lahir dalam kerumunan persoalan seperti yang ditulis Andrea, juga merasa termotivasi untuk bisa menghasilkan karya dengan latar pedesaan dan segala pernak-perniknya. Saya tidak berniat menjadi plagiat dia, seperti banyak terjadi pada buku-buku yang terbit kemudian. Saya berkeyakinan tidak semua yang ditulis Andrea sudah mewakili kehidupan masyarakat di desa saya. Masih banyak yang belum tersentuh karena memang Andrea tidak hidup dalam lingkungan saya. Jelas ada banyak perbedaan baik secara sosiologis maupun geografis. Kebudayaan masyarakat Belitong sudah pasti banyak berbeda dengan masyarakat Madura. Hanya satu yang paling dekat, yaitu kedua daerah tersebut sangat religius. Nah, saya ingin menulis apa yang tidak ditulis oleh orang Belitong tersebut.
Bila dipikir matang, ini merupakan proyek besar bagi saya. Mengapa besar? Pertama, lingkup persoalan terlalu luas dengan cakupan masyarakat Madura secara keseluruhan. Kedua, saya tidak banyak tahu tentang kebudayaan Madura yang tidak segelintir. Ketiga, saya tidak suka meneliti. Keempat, saya masih pemula. Kelima, saya pemalas.
Melihat tantangan yang sangat besar itu, saya lalu mereka-reka bagaimana jika ruang lingkupnya saya buat jadi mengerucut. Terpercik ide bagus, yaitu ruang lingkup pesantren. Modal hidup delapan tahun di pesantren saya kira sudah masuk kategori cukup untuk tahu seluk-beluk tentang kahidupannya. Meski masih banyak hal yang harus saya persiapkan. Namun, modal tersebut sudah saya anggap cukup untuk bisa memulai. Yang lain-lain biar berjalan setelah saya memulai menuliskannya.
****
Keinginan terakhir menulis novel adalah karena saya membaca novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Novel tersebut sangat memotivasi saya meski tidak sedahsyat karya-karya Andrea Hirata. Novel itu menceritakan proses panjang pertemuan antara Kugy yang bercita-cita menjadi tukang dongeng dan Keenan yang bercita-cita menjadi pelukis handal. Banyak persoalan yang mendera keduanya, mulai dari runtuhnya persahabatan, pertentangan dengan orang tua, sampai masalah cinta yang tak kunjung terucapkan. Novel tesebut berlatar perkotaan dengan bahasa khas anak muda yang kinclong. Novel tersebut juga berbeda dari novel-novel Dee (panggilan akrab Dewi Lestari) sebelumnya. Bila untuk tetralogi Supernova ia bermain-main dengan fisika, psikologi, matematika, dsb., dalam Perahu Kertas ia merangkai ceritanya dengan bahasa yang ringan seringan teenlit. Kebanyakan pembaca Dee mengatakan ini memang teenlit, tapi tak seperti teenlit pada umumnya. Dee memiliki kemampuan mengolah psikologi tokohnya dengan menampilkan karakter yang jelas terpilah antara masing-masing tokoh.
Tapi, bukan itu yang minginspirasi saya. Saya lebih tertarik mengikuti prosesnya. Novel tersebut ditulis dalam jangka waktu hanya 55 hari. Bisa dibayangkan bagaimana Dee melewati hari-harinya hanya dengan komputer dan ruangan kost. Dia sampai menyewa sebuah kamar kost di Bandung untuk merampungkan novel tersebut. Untuk novel ini ia menyebut proyek gila-gilaan, karena Dee tidak terbiasa menulis novel dalam waktu yang sangat singkat. Untuk satu novel terdahulu ia bisa menghabiskan waktu selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Memang, novel tersebut bukan berangkat dari nol. Artinya, ia sudah pernah ditulis oleh Dee, tapi tidak dilanjutkan karena kekurangan energi. Novel tersebut kalau tidak salah ditulis pada tahun 1996. Sempat pula diterbitkan dalam bentuk digital oleh Hypermind dan kemudian diterbitkan ulang oleh vendor seluler XL dalam bentuk WAP. Pada akhirnya ia tulis kembali hingga menjadi buku. Proses menulisnya bisa dilihat di blognya Dee.
Yang sangat menarik dari proses lahirnya novel ini adalah ketika pertama kali Dee menulis dan menerbitkannya secara berseri. Tiap seri dia berikan kepada keluarga dan teman-teman kost-nya. Ketika akhirnya novel itu mentok, banyak yang komplain kepada Dee. Dee sadar bahwa novelnya sudah menanam virus kepada pembacanya. Semacam adiksi yang itu ditimbulkan oleh konflik yang direspon pembaca. Pembaca sudah merasuk dalam novel tersebut.
Saya ingin menulis novel dengan cara Dee itu. Menulis secara berseri dan saya terbitkan untuk kemudian saya sumpal kepada teman-teman. Saya tahu, akan ada banyak anggapan miring tentang tingakah laku saya itu. Misalnya, sok tahu, berani-beraninya nyuruh membaca, dan sebagainya, dan seterusnya. Tapi, setelah dipikir, ternyata perasaan ini hanyalah perasaan tukang putus asa yang tidak perlu dihiraukan. Saya kemudian tahu resiko itu sangat kecil kemungkinannya. Bahkan mereka bisa sangat responsif bila saya memberikannya dengan suka hati dan meminta mereka memberikan komentar. Saya yakin mereka akan merasa terhormat dengan dimintai pendapat.
Satu-satu usaha saya untuk mewujudkan mimpi itu terealisasi. Yang pertama adalah menerbitkan selebaran secara gratis. Memang baru terbit pertama kali, tapi saya optimis “proyek” ini akan berhasil karena cukup mudah. Pun hanya membutuhkan dana yang sedikit. Saya menerbitkan selebaran itu hanya satu lembar dengan dua tulisan. Kemudian saya foto copy sebanyak 30 buah. Bila diakumulasi biayanya tak sampai Rp. 10.000. Untuk menutupi biaya tersebut saya patungan dengan seorang kawan. Dia setuju setelah saya utarakan ide membuat selebaran itu. Dia juga sedang giat-giatnya menulis. Jadi, penjaga gawangnya adalah kami berdua. Kami akan terbantu belajar menulis dengan media tersebut.
Saat ini saya sedang berpikir keras bagaimana mewujudkan novel secara berseri dalam selebaran itu. Saya tahu ini tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Saya mungkin butuh meringkuk dalam kamar selama beberapa hari seperti halnya Dee, tapi saya bisa menebak itu sulit dilaksanakan. Saya mungkin hanya butuh banyak waktu berada di tempat sepi karena saya mudah pecah konsentrasi bila mendengarkan kebisingan. Otomatis saya harus kembali menulis di buku tulis, pekerjaan yang sudah jarang saya lakukan setelah lama bergaul dengan komputer. Saya tidak punya laptop yang memungkinkan saya bisa menulis di mana saja. Saya biasanya menulis di komputer milik kantor. Praktis saya tidak bisa berbuat banyak terhadap media menulis saya tersebut.
Menulis ke buku tulis tidak apa-apa, yang penting saya bisa menghasilkan karya. Toh, walaupun masih perlu beradaptasi kembali karena saking lamanya. Semoga proyek ini tak berhenti hanya pada angan-angan, hanya menjadi santapan kenangan. Agar kelak bisa terbaca oleh anak cucu saya!
13-14 Januari 2010
0 Response to "Impian Saya"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.