Semacam Surat
Buat Rozi,
nun jauh di seberang.
Sedang apakah dirimu di sana? Apakah sedang tidur seperti kebiasaanmu tiap kali Ramadan menjelang? Ataukah sedang berpikir bagaimana caranya menjadi seorang yang serba realistis, mengingat selama ini dikau hidup dalam dunia mimpi yang rimbun. Kerimbunan duniamu telah membuat kawan-kawanmu berteka-teki tentang dirimu. Terkadang apa yang kawanmu ucapkan sungguh jauh melenceng dari lingkup kehidupanmu. Misteri, ucap pikiran kecilmu.
Ah, sudahlah. Soal kehidupanmu itu urusan kau sendiri. Satu harapanku, kau tetap setia membaca surat-surat yang kukirimkan, tak ada bosannya. Walau kutahu, kebosanan adalah hak setiap orang. Bukankah begitu?
Umurmu sudah berapa tahun sekarang? Dua dua ataukah dua tiga? Kalau tidak salah dirimu lahir tahun 1987, tapi kau juga bilang tahun 1988. Mana yang benar? Biarlah, yang jelas dirimu sudah tidak muda lagi. Ada banyak hal masa muda yang sudah seharusnya kau tanggalkan. Pikiran-pikiran anak kecil yang menyumbat pikiran-pikiran dewasamu. Orang tuamu berharap kau seharusnya sudah bisa mandiri. Ketergantungan kepada mereka hanya akan membuatmu menjadi kerdil. Orang tuamu tak menginginkan itu.
Masa-masa seperti ini memang selalu mengundang teka-teki. Tentang masa depan, tentang jodoh, tentang pekerjaan, tentang nafkah untuk anak-istri kelak, dan seterusnya. Daftar ini masih terus memanjang jika kita ingin menulisnya. Pikiran-pikiran yang seringkali menghantui kita, kaum muda yang mulai beranjak dewasa.
Seperti curhatmu terdahulu, kadang aku berpikir tentang spiritualitas. Kaum-kaum sufi, para mukasyafah, dan mereka yang bersinggasana spiritualitas terlihat sangat menghargai hidup ini. Mereka itu seperti menikmati kehidupan. Hidup tentram, hati dan pikiran. Seringkali aku merindukan masuk dalam dunia seperti itu. Aku ingin ketentraman juga menyiram nurani ini. Bagaimana dengan dirimu?
Hidup ini menjadi sangat cepat sekali. Tahu-tahu kita sudah berada di dunia yang penuh dinamika. Ada banyak isu, ada banyak persoalan, dari yang sangat kecil sampai sesuatu yang menyembul dari luar nalar kita. Dunia kita saat ini menjadi kolam raksasa yang nirbatas dan menampung banyak hal, ragam persoalan. Jika dipikirkan semua, kita mungkin akan menjadi gila. Kegilaan itu muncul karena pikiran kita menjadi mentok.
Menghadapi hidup yang sering membuat pikiran menjadi mentok, kadang menuntunku untuk memanjakan hati. Hatilah yang selalu membuat hidup ini sejuk. Entahlah, mengapa aku selalu yakin begitu. Seperti kusinggung di atas, dunia spiritualitas menjadi jujukan utama.
Oya, sudah lama aku tidak lagi membaca tulisan-tulisanmu. Apakah kau masih menulis? Tapi, kupikir menulis bagimu tidaklah terlalu penting. Itu karena kau sudah berikrar tidak ingin menjadi penulis. Menulis hanya untuk menjaga ingatan, begitu katamu. Satu sisi, pernyataan itu menguntungkanmu karena dengan tidak menulis kau aman-aman saja. Namun, pada sisi yang lain kau terlihat seperti seorang peragu. Tapi tak apalah, yang penting aku masih bisa membaca tulisan-tulisanmu. Karena dari tulisan-tulisan itu kita bisa berdiskusi tentang hal-hal kecil yang sering kau ungkap.
Tentang buku, sudahkah kau membaca bukunya Andrea Hirata yang baru? Atau kompilasi bukunya Seno Gumira yang berjudul “Trilogi Insiden”? Dua buku itu pernah kau bicarakan kepadaku. Dan seperinya kau sangat antusias membacanya. Sayangnya tempatmu berada di desa. Akses mendapatkan buku baru menjadi sangat sulit. Hanya unsur kebetulan yang bisa mempertemukan dirimu dengan buku baru secara cepat, yaitu jika ada bedah buku, bazar, atau ada orang mau ke kota. Lain itu, sangat sulit sekali mendapatkannya.
Kapan dikau mau pulang? Aku sudah rindu bertemu denganmu. Diskusi-diskusi kecil yang sering kita langsungkan membuatku ingin berjumpa lagi dan lagi. Sudah berapa lama kita tak berjumpa? Baru sebentar kiranya, tapi sepertinya sudah lama. Aku rindu melihat rintik hujan yang menusuk-nusuk tanah, melihat awan yang berarak dari tikungan pojok desa, bergerombol dengan anak-anak desa yang kumal dan penuh misteri. Sungguh tak bisa dilupakan hal-hal yang sedemikian itu.
Sekarang Ramadan lagi. Apakah tetap kebiasaanmu membuat petasan? Ha-Ha… Perbuatan yang sangat dibenci oleh Ibumu, karena selesai membuat petasan dirimu datang dengan bau tidak sedap dan merisaukan hati. Bau setan, begitu kakak-kakakmu menyebutnya.
Tentang petasan ini, kupikir aneh juga dirimu. Tiap kali kau menyulut petasan, telingamu kau tutupi. Kata Ibumu, apa gunanya bikin petasan besar-besar jika saat kau sulut kupingmu kau sumbat? Mendengar itu kau hanya nyengir dan tak ambil pikir. Besoknya kau akan membuat lagi untuk malam likuran dan takbiran. Sungguh aneh dan agak gila.
Lain itu, menjelang hari raya, dirimu biasanya mulai mencari-cari kardus tempat songkok nasional. Kardus tersebut akan kau buat dhamar kettep (lampu kedip) yang akan kau nyalakan pada hari raya. Bagian depan kardus itu akan ditulisi “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. Masing-masing huruf dalam tulisan tersebut kau lubangi untuk kemudian ditutup kembali dengan kertas minyak warna-warni.
Di bagian dalam kardus, kau akan meletakkan lampu dari bekas kaleng cat minyak. Lampu itu diberi penahan nyala api. Penahan dibuat dari tutup beterei yang biasanya berwarna merah. Fungsi penahan itu untuk membuat nyala api tidak normal alias berkedap-kedip. Inilah fungsi lampu seutuhnya.
Jika lampu yang bekedap kedip itu diletakkan dalam kardus, maka huruf-huruf yang dilubang dan dilapisi kertas minyak itu akan berkedap kedip pula. Jalinan warnanya akan tampak indah dengan kombinasi lampu mainan itu. “Selamat Hari Raya Idul Fitri” berkedap-kedip dengan seksi. Orang-orang yang berkunjung ke rumahmu pada malam takbiran akan menganga. Entah karena takjub atau menyimpan kata: dasar gila!
Wah, aku sudah ngalor ngidul rupanya. Tapi aku senang bisa berjumpa denganmu, walau hanya lewat tulisan. Kapan-kapan sambung lagi, Insya Allah.
Salam,
(Tanganmu Sendiri)
0 Response to "Semacam Surat"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.