Rindu
Apa yang bisa membawamu pergi dari cangkang kerinduan ini?
Mungkin tidak ada. Atau cobalah untuk menikmatinya!
Mungkin kalian pernah melihat seseorang pada sebuah sore. Sore yang kemilau tapi rawan. Ia terus berjalan pada sebuah bukit. Bukit landai yang pernah diagung-agungkan dalam beberapa tulisannya. Bukit itu, katanya, serupa ibu yang memeluk cerita-ceritanya; dikala sedih, gembira, marah, bingung, dan seterusnya. Tentu saja kalian bisa menuduh bahwa bukit itu hanya penghibur setelah sang Ibu tak ditemuinya. Ya, Ibunya terlalu jauh untuk dimintai perlindungan. Ia sudah diserahkan pada takdir untuk menjadi dirinya sendiri. Untuk menjadi pribadi yang tak cengeng menghadapi kehidupan yang kerap ganas dan mematikan.
Namun, harapan itu sepertinya terlalu tinggi. Apa yang dialami sekarang terlalu berat untuk ia hadapi. Ibunya mungkin dulu terlalu berlebihan mengharapkan anak itu bisa mandiri. Terbukti, ia sekarang kian rapuh, berjalan seperti tak menyentuh tanah. Hari-harinya seperti kapas yang kehilangan kesadaran mata angin. Keseimbangan pikirannya runtuh oleh karena satu titik dari kehidupannya tercerabuti. Ia mulai mengenal rindu! Rindu yang kejam!
Sepuluh tahun yang lalu ia masih kanak-kanak. Usianya baru menginjak dua belas tahun. Usia seperti itu pada masanya mungkin berbeda jauh dengan usia dua belas tahun pada saat ini. Ia meyakini bahwa teknologi membawa perubahan berarti. Perubahan yang kompleks di segala bidang, baik yang riil maupun yang hanya bisa disentuh oleh perasaan.
Begitupun rindu. Ia mengalami pergeseran dari masa ke masa. Ketika kecil dulu ia menganggap rindu adalah sebuah kata kunci yang sakti. Darinya, manusia menemukan sebuah ruang eksistensial di mana mereka menyadari bahwa manusia pada dasarnya tidaklah sempurna. Rindu adalah medan ekspresi untuk memunculkan rasa kekurangan itu. Begitulah Tuhan menciptakan kerinduan.
Namun, ketika dewasa kata itu menjadi cair. Bahkan sakralitas yang pernah disematkan padanya lambat laun menghablur. Keseharian yang terasa makin cengeng menciptakan kerinduan menjadi tererosi. Ia dengan mudah menemukan kata rindu pada sebuah sms, pada sebuah jejaring sosial, pada sebuah surat dengan kata-kata dangkal.
Selain itu, orang bisa tiap menit merubah rindunya menjadi benci atau tak merasakan apa-apa. Mereka bisa dengan cepat berganti-ganti objek tempat melabuhkan rindu. Kehilangan satu perempuan bisa menggantinya dengan yang lain. Lepas dari lelaki lain mereka bisa pindah ke lain hati hanya dalam kisaran menit. Betapa mudahnya. Dan betapa tak indah hidup ini!
Kini, usianya sudah dua puluh dua tahun. Rindu yang dulu hanya ia bayangkan perlahan-lahan menyerap dalam perasaannya. Ia mengalami fase yang sungguh merawankan hati. “Dia pergi. Dan aku berhak merinduinya,” tulisnya pada sebuah sampul buku.
Ia ingin kembali membayangkan rindu seperti yang dimaknainya pada masa kanak dulu. Bahwa rindu akan membawanya pada kesadaran eksistensial atau bahkan pada transendensi, tempat kelak ia menemukan Tuhannya. Untuk yang terakhir ia masih ragu. Namun, yang terus membayanginya adalah ia sangat kering spiritual. Mungkin ini adalah jalan kepada-Nya.
Lelaki itu terus bergerak ke atas bukit, menemui sebuah gubuk tua. Pada beberapa tulisannya ia menyebut tempat itu Gubuk Lancaran. Sebuah gubuk yang menyimpan banyak cerita. Mungkin cerita rindu ini juga akan disampaikannya pada gubuk itu. Kelak pada sebuah kurun yang entah kapan ia akan mengingatnya kembali.
guluk-guluk, 25 maret 2009
Mungkin tidak ada. Atau cobalah untuk menikmatinya!
Mungkin kalian pernah melihat seseorang pada sebuah sore. Sore yang kemilau tapi rawan. Ia terus berjalan pada sebuah bukit. Bukit landai yang pernah diagung-agungkan dalam beberapa tulisannya. Bukit itu, katanya, serupa ibu yang memeluk cerita-ceritanya; dikala sedih, gembira, marah, bingung, dan seterusnya. Tentu saja kalian bisa menuduh bahwa bukit itu hanya penghibur setelah sang Ibu tak ditemuinya. Ya, Ibunya terlalu jauh untuk dimintai perlindungan. Ia sudah diserahkan pada takdir untuk menjadi dirinya sendiri. Untuk menjadi pribadi yang tak cengeng menghadapi kehidupan yang kerap ganas dan mematikan.
Namun, harapan itu sepertinya terlalu tinggi. Apa yang dialami sekarang terlalu berat untuk ia hadapi. Ibunya mungkin dulu terlalu berlebihan mengharapkan anak itu bisa mandiri. Terbukti, ia sekarang kian rapuh, berjalan seperti tak menyentuh tanah. Hari-harinya seperti kapas yang kehilangan kesadaran mata angin. Keseimbangan pikirannya runtuh oleh karena satu titik dari kehidupannya tercerabuti. Ia mulai mengenal rindu! Rindu yang kejam!
*****
Sepuluh tahun yang lalu ia masih kanak-kanak. Usianya baru menginjak dua belas tahun. Usia seperti itu pada masanya mungkin berbeda jauh dengan usia dua belas tahun pada saat ini. Ia meyakini bahwa teknologi membawa perubahan berarti. Perubahan yang kompleks di segala bidang, baik yang riil maupun yang hanya bisa disentuh oleh perasaan.
Begitupun rindu. Ia mengalami pergeseran dari masa ke masa. Ketika kecil dulu ia menganggap rindu adalah sebuah kata kunci yang sakti. Darinya, manusia menemukan sebuah ruang eksistensial di mana mereka menyadari bahwa manusia pada dasarnya tidaklah sempurna. Rindu adalah medan ekspresi untuk memunculkan rasa kekurangan itu. Begitulah Tuhan menciptakan kerinduan.
Namun, ketika dewasa kata itu menjadi cair. Bahkan sakralitas yang pernah disematkan padanya lambat laun menghablur. Keseharian yang terasa makin cengeng menciptakan kerinduan menjadi tererosi. Ia dengan mudah menemukan kata rindu pada sebuah sms, pada sebuah jejaring sosial, pada sebuah surat dengan kata-kata dangkal.
Selain itu, orang bisa tiap menit merubah rindunya menjadi benci atau tak merasakan apa-apa. Mereka bisa dengan cepat berganti-ganti objek tempat melabuhkan rindu. Kehilangan satu perempuan bisa menggantinya dengan yang lain. Lepas dari lelaki lain mereka bisa pindah ke lain hati hanya dalam kisaran menit. Betapa mudahnya. Dan betapa tak indah hidup ini!
*****
Kini, usianya sudah dua puluh dua tahun. Rindu yang dulu hanya ia bayangkan perlahan-lahan menyerap dalam perasaannya. Ia mengalami fase yang sungguh merawankan hati. “Dia pergi. Dan aku berhak merinduinya,” tulisnya pada sebuah sampul buku.
Ia ingin kembali membayangkan rindu seperti yang dimaknainya pada masa kanak dulu. Bahwa rindu akan membawanya pada kesadaran eksistensial atau bahkan pada transendensi, tempat kelak ia menemukan Tuhannya. Untuk yang terakhir ia masih ragu. Namun, yang terus membayanginya adalah ia sangat kering spiritual. Mungkin ini adalah jalan kepada-Nya.
Lelaki itu terus bergerak ke atas bukit, menemui sebuah gubuk tua. Pada beberapa tulisannya ia menyebut tempat itu Gubuk Lancaran. Sebuah gubuk yang menyimpan banyak cerita. Mungkin cerita rindu ini juga akan disampaikannya pada gubuk itu. Kelak pada sebuah kurun yang entah kapan ia akan mengingatnya kembali.
guluk-guluk, 25 maret 2009
0 Response to "Rindu"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.