-->

Cuek


Beberapa hari lalu, dalam suasana senggang, saya SMS-an bersama seorang sahabat. Bagi saya, dia adalah sahabat yang selalu menginspirasi. Walau saya tak kenal akrab secara tatap muka, saya kenal dekat dengannya lewat dunia maya, baik melalui SMS atau internet.
Tiap kali berkomunikasi, dia selalu menggunakan bahasa cair. Dalam artian, ia sangat setia berkawan. Selain itu, guyonan khas dan imajinatif membuat persahabatan kami kian erat, sekali lagi, di dunia maya.
Tentu saja, saya senang memiliki sahabat yang seperti itu. Kata orang, sahabat sejati adalah ia yang bisa mengubah hidup ini menjadi lebih baik. Ada saat dia memberikan teka-teki, ada saat ia berpuisi, ada pula saat ia menawarkan solusi. Bagi saya, sahabat yang baik adalah pribadi yang kompleks.
Dalam SMS-nya, sahabat saya menulis tetang sikap saya di mata kawan-kawannya. Hanya satu kesan mereka yang melekat dalam diri saya. Apa itu? Cuek!
Apakah saya cuek? Entahlah.
****
Mulai dulu, orang-orang di sekeliling saya sepakat mengatakan saya pemalu. Saya akui itu benar adanya. Dulu, ketika saya baru masuk di Taman Kanak-Kanak dekat rumah, saya merasa begitu grogi. Hari pertama sekolah saya betul-betul tidak kerasan. Saya merasa minder bergaul dengan teman-teman lain. Timbul keinginan untuk berhenti sekolah. Sekolah seperti hanya menyita waktu saya di rumah. Tapi, jelas saya tak bisa mengambil langkah demikian. Orang tua saya pasti sangat marah karenanya.
Akhirnya, saya melanjutkan sekolah meski dengan perasaan terpaksa. Tentang sekolah, hingga kini saya mengalami phobia. Sekolah masuk dalam otak saya sebagai sebuah ruang penjara. Murid-murid dipaksa mengikuti guru dan jika membangkang maka dia harus menanggung akibatnya. Makanya, ketika saya sudah mondok, saya lebih suka belajar di Sanggar daripada di sekolah formal. Sehingga, saya pernah kena skors gara-gara nakal.
Iklim sekolah yang demikian berlawanan dengan karakter saya yang pemalu. Suasana kelas yang kaku membuat saya merasa terpolarisasi. Pikiran saya menjadi mentok. Di dalam kelas, saya menjadi keledai yang tidak tahu arah. Tolah-toleh ke sana-ke mari. Jika yang mengajar kebetulan guru yang tidak kiler, saya menikmati pelajaran hanya di dalam mimpi. Baru setelah terdengar suara ribut-ribut, yang berarti bel sudah berbunyi, saya mulai terbangun dan keluar kelas.
Entah mengapa, sepintar-pintarnya guru, kalau masih berada di dalam kelas, saya selalu merasa ada yang kurang. Nyaris, bagi saya, tidak ada ruang imajinasi di dalam kelas. Gedung yang membatasi dengan alam sekitar membawa dampak psikologis yang sangat nyata dalam diri saya.
****
Sejatinya, pikiran saya adalah pemberontak. Dalam membaca novel, saya terobsesi pada pikiran-pikiran Dan Brown dan Andrea Hirata. Kedua novelis itu, bagi saya, adalah pemberontak secara alur pikir. Mereka selalu menciptakan hal-hal baru yang tidak dimiliki oleh penduhulunya. Itu sangat menarik.
Dalam kisah hidup saya, saya adalah seorang yang sangat tertutup. Saya hidup di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Beberapa rumah yang bertetangga dengan saya bisa dihitung dengan jari. Empat rumah tepatnya. Lima dengan rumah saya. Suasana sangat sepi, terutama ketika malam sudah menjelang.
Saudara saya berjumlah enam orang. Mereka semua adalah perempuan. Dalam istilah Madura, saya biasa disebut pandhaba, karena hanya laki-laki satu-satunya.
Ibu saya adalah sosok yang sangat saya kagumi. Meski beliaulah yang sering saya sakiti. Tiap ada sesuatu yang tidak saya sukai, maka ibu adalah sasaran protes. Bentuk protes yang selalu diceritakannya ketika saya sudah besar adalah kebiasaan saya melempar pintu dengan batu. Untunglah daun pintu tak terbuat dari kaca. Daun pintu itu hanya mengalami sobek.
Lain ibu lain pula bapak, jika ibu adalah pribadi yang selalu mendapat protes, bapak adalah sosok yang begitu saya takuti. Karena saking dekatnya dengan ibu, tiap kali meminta sesuatu, maka alamatnya adalah kepada ibu. Hingga kini, saya memiliki komunikasi yang buruk dengan bapak. Entahlah, mungkin karena trauma masa lalu.
Bapak saya memiliki kepribadian yang suka kesal, setidaknya menurut pengamatan saya. Meski tak selalu memakai kekerasan dalam tiap kali beliau memarahi saya, tapi kata-katanya selalu membekas di dada saya. Saya merasa demikian juga perasaan saudara-saudara saya yang lain ketika dimarahi. Mereka takut sama bapak.
Pernah suatu kali, saya disuruh belajar Ilmu Nahwu. Beliau sendiri yang mengajarkan. Walau uring-uringan, saya tak bisa menolak permintaannya. Saya pun mengambil buku dan balpen. Bapak mulai menerangkan, saya mencatatnya di buku tersebut. Saya sudah lupa bab apa yang diajarkannya waktu itu.
Ketika sedang asyik-asyik menerangkan, tiba-tiba adik saya mengganggu. Dia berusaha mengalihkan perhatian saya dari belajar ilmu alat tersebut dengan mengajak saya bicara. Ia mungkin masih berusia 5 atau 4 tahun kala itu. Ketika mengetahui kelakukan adik saya itu, bapak marah dan memukul pantatnya. Adik saya terdiam seketika, tapi dia tidak nangis. Ia pergi ke pelukan Ibu.
Kejadian itu melekat pada diri saya yang perasa. Hingga kini, saya menyimpannya dengan baik. Kelak, saya berusaha mengaitkannya dengan kejadian-kejadian yang lain. Tentang kata-katanya yang mengorek-orek perasaan ketika marah dan seterusnya.
Dari kejadian demi kejadian, ada sesuatu yang melekat dalam diri saya. Proses yang berkelanjutan dalam kehidupan saya itu membentuk pola pikir saya. Saya yang memang tertutup, ketika dihadapkan dengan alur hidup demikian makin menjadi pribadi penakut, grogi dan mudah patah arang. Tiap kali melakukan sesuatu, maka yang nampak adalah gertakan, kemarahan, dan omelan.
Saya tidak sedang mengadili bapak saya. Saya hanya merasa bahwa orang-orang di lingkungan saya juga turut andil dalam membesarkan serta membentuk karakter saya, terutama ketika saya baru belajar mengenal dunia ini. Dan, tentu saja, mereka yang paling dekat dengan saya adalah bapak-ibu. Mereka kelak yang bertanggungjawab membentuk kepribadian anak-anaknya.
****
Perasaan minder dan tak suka bergaul saya bawa hingga usia saya menginjak dewasa. Dalam tiap kali bejumpa dengan orang-orang dalam jumlah besar, dada saya deg-degan. Saat itu pula, saya sulit mengontrol emosi dan pikiran. Kadang, apa yang ingin saya sampaikan menjadi hablur. Baru setelah sendiri, saya kembali ingat semuanya. Dalam keadaan demikian, saya lebih dikuasai oleh emosi ketimbang pikiran saya.
Ketika sudah mondok saya mencoba mengikuti organisasi-organisasi. Awalnya, saya ikut sanggar seni, kemudian di perpustakaan, lalu beberapa organisasi intra pesantren lainnya. Kesemuanya itu membawa perubahan pada diri saya. Lambat laun, perasaan malu mulai bisa dinetralisir walau itu belum bisa dihilangkan secara total.
Ketika seorang sahabat mengutarakan dalam SMS-nya mengenai sikap cuek saya, pikiran saya mulai bertanya-tanya. Apakah benar saya itu cuek? Seperti apakah cuek itu?
Ketika dibilang cuek, mungkin yang tergambar adalah konotasi negatifnya. Bahwa, cuek itu berkaitan dengan sikap mengabaikan orang lain dan sedikit sombong. Lalu, apakah saya punya kesemuanya itu? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Tergantung mereka yang mau menilai saya. Dan pastilah penilaian itu bersifat subjektif.
Tetapi, yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa saya tidak hendak mengabaikan kawan-kawan ketika mengajak bicara. Saya juga tidak pernah berbangga dengan sikap sombong. Saya hanya memiliki ciri komunikasi yang buruk dengan lawan bicara saya seperti yang saya bicarakan di atas. Jadi, apakah saya cuek ataukah pemalu? Mungkin cuek, mungkin pemalu atau mungkin juga dua-duanya! Entahlah!

8-9 Juni 2009

0 Response to "Cuek"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel