Mungkin Menulis Bukan Takdirku
Mungkin aku memang tak ditakdirkan menjadi penulis. Menularkan ilmu melalui kata-kata sepertinya bukan duniaku. Ia amat sulit ditaklukkan. Aku tak bisa membuat perhitungan dengannya. Ia hadir sebagai sesuatu yang istimewa dalam hidupku. Sesuatu yang sulit kumasuki. Ibarat ruang, ia membangun ruangannya tanpa membuat celah sedikitpun untuk kumasuki. Aku tertahan di dindingnya tanpa tahu bagaimana cara memasukinya.
Tulisan ini sepertinya adalah ungkapan putus asa. Iya, kuakui, aku memang lagi putus asa. Buat apa ditutup-tutupi, toh nanti kalian tahu sendiri bahwa apa yang kukoar-koarkan tentang dunia tulis menulis selama ini hanya berhenti pada wacana. Terkadang, ketika aku didatangi oleh beberapa orang teman yang meminta tulisannya dikoreksi, aku malu dan merasa tidak pantas. Di hadapan mereka aku bisa berkoar-koar tentang nilai-nilai positif menulis dengan seenak perut, sedang di belakang mereka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi anehnya, mengapa mereka kepadaku meminta dikoreksikan tulisannya? Secara reputasi, aku tak lebih baik dibandingkan teman-teman yang sudah dimuat karya-karyanya. Entahlah, mungkin aku memang hanya ditakdirkan menjadi pengoreksi, bukan penulis itu sendiri.
Aku menganggap dunia tulis-menulis bukan jalanku. Barangkali ada jalan lain yang lebih baik, bagitu aku menghibur diri. Namun, hingga kini jalan itu sangat sulit ketelusuri. Semua menjadi kabur, buram. Bila dihadapkan dengan kondisi seperti itu, aku lebih suka tidak berfikir tentang apa-apa. Tanpa cita-cita, mungkin hidupku akan lebih enak dan enjoi. Benar, ketika aku urungkan niat untuk menjadi penulis, perasaanku menjadi cair. Aku seperti tidak memiliki beban apa-apa. Aku bebas. Sebaliknya, bila aku ingin sekali menjadi penulis, hidup ini seperti dirajam keinginanku sendiri. Masing-masing arah angin seperti menudingku harus berbuat ini dan itu untuk mencapai tujuan menjadi penulis. Aku tidak suka dipaksa, aku tak sudi diperintah. Sekali lagi, aku ingin hidup bebas.
Aku teringat kejadian beberapa tahun silam. Kalau tidak salah waktu itu aku masih di sekolah menengah atas. Aku dalam keadaan frustasi tanpa tahu penyebabnya. Aku memang terbiasa begini, merasa frustasi tanpa alasan melatarinya. Pada malam hari dimana bulan tak muncul, aku datang ke tengah lapangan sepak bola di pondokku. Waktu itu tak terlihat ada santri yang melintas. Mereka kebanyakan sedang berada di dapur untuk menanak sehabis jam belajar. Aku membawa buku-buku catatan harian dan karya-karyaku. Sebagian karya-karya itu sudah pernah dimuat di media dan aku berhak bangga dengannya. Tapi, malam itu apa yang mau dibanggakan. Pikiranku sudah kadung tak bisa dikontrol. Semua seperti bukan bagian dari diriku. Mereka harus enyah, lenyap dari hidupku.
Kuambil korek api yang kubawa bersama buku-buku catatanku. Kunyalakan lalu kubakar buku catatan itu satu-persatu. Tak ada beban apa-apa. Pun tak ada kata menyesal dalam hidupku membiarkan catatan-catatan itu dilalap api. Satu buku ludes menjadi arang. Arang-arang beterbangan dipangku angin yang datang malam itu. Percikan-percikan api lemah gemulai, kadang mengganas ketika disapu angin. Bara memerah dan catatan-catatanku pun tak tersisa, kecuali hanya arang bekas pembakaran. Aku pulang dan merasa bebas. Dan waktu itu aku berniat berhenti menulis walaupun membaca masih menjadi kegemaranku.
Keesokan harinya, ketika aku mau berangkat mandi dan melewati tempat itu, aku melihat ke tanah lapang tempat pembakaran buku-buku catatanku tadi malam. Arang dari hasil pembakaran sudah tak kutemukan di sana. Barangkali diterbangkan oleh angin ke suatu tempat, entah di mana. Tidak ada alasan mencarinya, karena kalau kucari kalian pasti menganggapku gila.
Aku tidak punya alasan yang betul-betul layak untuk kegiatan membakar buku ini. Aku tahu, itu hanya dorongan pikiran yang sedang kacau-balau. Dan aku merasa, membakar buku sendiri tak harus punya alasan apalagi hanya untuk diungkapkan. Alasan bisa dibuat-buat. Ketika ditanya oleh teman tentang alasan membakar catatan-catatan itu, aku buat saja alasan yang keren. Aku katakan, aku dipengaruhi oleh kata-kata Sutardji Calzoum Bachri. Kalimatnya kira-kira bernada begini, karya yang tidak baik mesti dimusnahkan. Dan satu lagi dalam novel Sang Pemimpi, Andrea Hirata pernah membuang kumpulan tulisannya karena tak ada yang dimuat sama-sekali. Tapi kini Andrea menjadi orang terpandang berkat tulisan-tulisannya. Dua alasan ini kukira sudah cukup untuk menyumbat bacot teman-temanku. Mereka berhenti sambil menganggapku sebagai orang yang idealis, punya pegangan dan tak asal-asalan dalam berkarya. Hah, kasihan mereka...
Berawal dari kegagalan menulis novel
Sudah pernah kutulis tentang keinginan menulis novel. Beberapa hari terakhir aku memang menginginkan cita-cita yang satu ini bisa tercapai. Aku sudah membuat ancang-ancang, kira-kira apa yang akan kutulis dalam novel tersebut. Bahkan, aku sudah memulainya. Hanya empat lembar halaman kuwarto akhirnya mandeg. Aku tidak punya hasrat untuk melanjutkan. Ditambah lagi dengan kekacauan karangan itu setelah aku membaca ulang pada waktu yang lain. Aku emoh meneruskannya, karena kupikir, meneruskan karangan itu akan sama tak karuannya dengan yang sudah jadi. Aku mulai ragu dan kahirnya memang memutuskan untuk menggugurkan cita-cita ini.
Ya, sekarang aku sudah menghilangkan keinginan untuk menulis novel. Novel terlalu berat untuk seorang aku yang mudah patah arang. Ia butuh kesinambungan dalam waktu yang panjang. Harus berperang dengan mood dan waktu. Bila tidak, percuma saja, cita-cita itu hanya berhenti sebatas keinginan. Dan sampai kapanpun tak akan pernah selesai. Makanya, aku ingin melepas keinginan itu. Aku tidak mau menginginkan sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuanku. Sebab, itu hanya akan menjadi beban. Dan aku akan terpuruk bila terus-menerus memikirkan beban tanpa berusaha mewujudkannya. Kuakui, aku memang mudah patah arang.
Setelah melepas keinginan untuk menulis novel, kurasakan kepalaku tak punya beban lagi seperti pada saat aku membakar buku-buku catatan beberapa tahun silam. Kepala ini serasa plong. Aku ingin kepalaku selalu dalam kondisi demikian, tapi tentu saja tak bisa. Manusia diberi perasaan dan akal oleh Tuhan. Konsekuensi logis dari adanya dua unsur tadi memaksa perasaan manusia selalu dalam kondisi berubah-ubah. Ia menjalani kodratnya sebagai makhluk yang dinamis. Dan aku tidak bisa menahan perasaan yang berubah-ubah itu. Aku bukan benda mati, dan salah satu bukti kehidupanku adalah aku selalu memiliki perasaan yang berubah-ubah.
Terkadang aku masih ingin menulis novel. Tapi bila perasaan itu menguar, aku ingin sekali menggenjetnya. Aku tidak ingin kecewa dua kali. Biarlah keinginan itu hanya abadi dalam kenangan, seperti yang kukatakan beberapa waktu lalu. Aku akan buat alasan-alasan pada diriku sendiri tentang kesulitan-kesulitan dalam menulis novel. Itu akan sangat membantu untuk mengurungkan keinginan tersebut. Dan ternyata manjur. Aku tidak ingin lagi menulis novel. Novel adalah dunia yang jauh dari jangkauanku.
Tulisan ini sepertinya adalah ungkapan putus asa. Iya, kuakui, aku memang lagi putus asa. Buat apa ditutup-tutupi, toh nanti kalian tahu sendiri bahwa apa yang kukoar-koarkan tentang dunia tulis menulis selama ini hanya berhenti pada wacana. Terkadang, ketika aku didatangi oleh beberapa orang teman yang meminta tulisannya dikoreksi, aku malu dan merasa tidak pantas. Di hadapan mereka aku bisa berkoar-koar tentang nilai-nilai positif menulis dengan seenak perut, sedang di belakang mereka aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tapi anehnya, mengapa mereka kepadaku meminta dikoreksikan tulisannya? Secara reputasi, aku tak lebih baik dibandingkan teman-teman yang sudah dimuat karya-karyanya. Entahlah, mungkin aku memang hanya ditakdirkan menjadi pengoreksi, bukan penulis itu sendiri.
Aku menganggap dunia tulis-menulis bukan jalanku. Barangkali ada jalan lain yang lebih baik, bagitu aku menghibur diri. Namun, hingga kini jalan itu sangat sulit ketelusuri. Semua menjadi kabur, buram. Bila dihadapkan dengan kondisi seperti itu, aku lebih suka tidak berfikir tentang apa-apa. Tanpa cita-cita, mungkin hidupku akan lebih enak dan enjoi. Benar, ketika aku urungkan niat untuk menjadi penulis, perasaanku menjadi cair. Aku seperti tidak memiliki beban apa-apa. Aku bebas. Sebaliknya, bila aku ingin sekali menjadi penulis, hidup ini seperti dirajam keinginanku sendiri. Masing-masing arah angin seperti menudingku harus berbuat ini dan itu untuk mencapai tujuan menjadi penulis. Aku tidak suka dipaksa, aku tak sudi diperintah. Sekali lagi, aku ingin hidup bebas.
Aku teringat kejadian beberapa tahun silam. Kalau tidak salah waktu itu aku masih di sekolah menengah atas. Aku dalam keadaan frustasi tanpa tahu penyebabnya. Aku memang terbiasa begini, merasa frustasi tanpa alasan melatarinya. Pada malam hari dimana bulan tak muncul, aku datang ke tengah lapangan sepak bola di pondokku. Waktu itu tak terlihat ada santri yang melintas. Mereka kebanyakan sedang berada di dapur untuk menanak sehabis jam belajar. Aku membawa buku-buku catatan harian dan karya-karyaku. Sebagian karya-karya itu sudah pernah dimuat di media dan aku berhak bangga dengannya. Tapi, malam itu apa yang mau dibanggakan. Pikiranku sudah kadung tak bisa dikontrol. Semua seperti bukan bagian dari diriku. Mereka harus enyah, lenyap dari hidupku.
Kuambil korek api yang kubawa bersama buku-buku catatanku. Kunyalakan lalu kubakar buku catatan itu satu-persatu. Tak ada beban apa-apa. Pun tak ada kata menyesal dalam hidupku membiarkan catatan-catatan itu dilalap api. Satu buku ludes menjadi arang. Arang-arang beterbangan dipangku angin yang datang malam itu. Percikan-percikan api lemah gemulai, kadang mengganas ketika disapu angin. Bara memerah dan catatan-catatanku pun tak tersisa, kecuali hanya arang bekas pembakaran. Aku pulang dan merasa bebas. Dan waktu itu aku berniat berhenti menulis walaupun membaca masih menjadi kegemaranku.
Keesokan harinya, ketika aku mau berangkat mandi dan melewati tempat itu, aku melihat ke tanah lapang tempat pembakaran buku-buku catatanku tadi malam. Arang dari hasil pembakaran sudah tak kutemukan di sana. Barangkali diterbangkan oleh angin ke suatu tempat, entah di mana. Tidak ada alasan mencarinya, karena kalau kucari kalian pasti menganggapku gila.
Aku tidak punya alasan yang betul-betul layak untuk kegiatan membakar buku ini. Aku tahu, itu hanya dorongan pikiran yang sedang kacau-balau. Dan aku merasa, membakar buku sendiri tak harus punya alasan apalagi hanya untuk diungkapkan. Alasan bisa dibuat-buat. Ketika ditanya oleh teman tentang alasan membakar catatan-catatan itu, aku buat saja alasan yang keren. Aku katakan, aku dipengaruhi oleh kata-kata Sutardji Calzoum Bachri. Kalimatnya kira-kira bernada begini, karya yang tidak baik mesti dimusnahkan. Dan satu lagi dalam novel Sang Pemimpi, Andrea Hirata pernah membuang kumpulan tulisannya karena tak ada yang dimuat sama-sekali. Tapi kini Andrea menjadi orang terpandang berkat tulisan-tulisannya. Dua alasan ini kukira sudah cukup untuk menyumbat bacot teman-temanku. Mereka berhenti sambil menganggapku sebagai orang yang idealis, punya pegangan dan tak asal-asalan dalam berkarya. Hah, kasihan mereka...
Berawal dari kegagalan menulis novel
Sudah pernah kutulis tentang keinginan menulis novel. Beberapa hari terakhir aku memang menginginkan cita-cita yang satu ini bisa tercapai. Aku sudah membuat ancang-ancang, kira-kira apa yang akan kutulis dalam novel tersebut. Bahkan, aku sudah memulainya. Hanya empat lembar halaman kuwarto akhirnya mandeg. Aku tidak punya hasrat untuk melanjutkan. Ditambah lagi dengan kekacauan karangan itu setelah aku membaca ulang pada waktu yang lain. Aku emoh meneruskannya, karena kupikir, meneruskan karangan itu akan sama tak karuannya dengan yang sudah jadi. Aku mulai ragu dan kahirnya memang memutuskan untuk menggugurkan cita-cita ini.
Ya, sekarang aku sudah menghilangkan keinginan untuk menulis novel. Novel terlalu berat untuk seorang aku yang mudah patah arang. Ia butuh kesinambungan dalam waktu yang panjang. Harus berperang dengan mood dan waktu. Bila tidak, percuma saja, cita-cita itu hanya berhenti sebatas keinginan. Dan sampai kapanpun tak akan pernah selesai. Makanya, aku ingin melepas keinginan itu. Aku tidak mau menginginkan sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuanku. Sebab, itu hanya akan menjadi beban. Dan aku akan terpuruk bila terus-menerus memikirkan beban tanpa berusaha mewujudkannya. Kuakui, aku memang mudah patah arang.
Setelah melepas keinginan untuk menulis novel, kurasakan kepalaku tak punya beban lagi seperti pada saat aku membakar buku-buku catatan beberapa tahun silam. Kepala ini serasa plong. Aku ingin kepalaku selalu dalam kondisi demikian, tapi tentu saja tak bisa. Manusia diberi perasaan dan akal oleh Tuhan. Konsekuensi logis dari adanya dua unsur tadi memaksa perasaan manusia selalu dalam kondisi berubah-ubah. Ia menjalani kodratnya sebagai makhluk yang dinamis. Dan aku tidak bisa menahan perasaan yang berubah-ubah itu. Aku bukan benda mati, dan salah satu bukti kehidupanku adalah aku selalu memiliki perasaan yang berubah-ubah.
Terkadang aku masih ingin menulis novel. Tapi bila perasaan itu menguar, aku ingin sekali menggenjetnya. Aku tidak ingin kecewa dua kali. Biarlah keinginan itu hanya abadi dalam kenangan, seperti yang kukatakan beberapa waktu lalu. Aku akan buat alasan-alasan pada diriku sendiri tentang kesulitan-kesulitan dalam menulis novel. Itu akan sangat membantu untuk mengurungkan keinginan tersebut. Dan ternyata manjur. Aku tidak ingin lagi menulis novel. Novel adalah dunia yang jauh dari jangkauanku.
0 Response to "Mungkin Menulis Bukan Takdirku"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.