Kembali ke Pondok
Setelah berlibur selama lebih setengah bulan, akhirnya aku merindukan dunia pondok yang ramai penuh keakraban. Dunia penuh inspirasi itu memang takkan bisa hilang dalam ingatan. Apalagi bagi orang sepertiku yang sudah lama berada di pondok alias sudah karatan.
Aku kembali ke pondok pada hari Sabtu (18/09) pagi, sekitar jam 08:45 WIB. Dengan mengendarai sepeda motor, aku berangkat bersama Kakak Ipar. Mendung terlihat bergelayut di angkasa. Tapi aku yakin takkan hujan, maka berangkatlah aku.
Rencananya aku mau berangkat agak pagi, tapi karena malas dan Kakak Ipar juga ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, akhirnya kami berangkat agak siang. Sebelum berangkat, Ibu menyiapkan keperluan-keperluan berbau kaptalis dan urusan perut. Ibu menawariku membawa banyak makanan, tapi aku menolak. Pikirku, membawa banyak makanan tak kalah dengan santri baru. Soal makanan ini aku memang malas membawa banyak-banyak. Tapi, urusan memakannya, jangan ditanya. Satu stoples sendirian…kurang.
Kukemasi pakaian dan beberapa alat tempur; buku, mp3., balpen, dsb. Semua masuk dalam tas yang sudah kupersiapkan. Beberapa pakaian yang belum sempat kucuci kusertakan juga. Hujan beberapa hari sebelumnya telah merampas moodku untuk mencuci.
Setelah selesai mengemasi barang-barang, aku pamitan. Ibu dan saudara-saudara kusalami. Saudara tertuaku kebetulan berkunjung ke rumah pagi itu. Aku pamit padanya. Ia memberiku bekal. Ah, rezeki memang tak disangka-sangka… . Tak lupa kusalami keponakanku yang centil, Mila namanya. Umurnya sekitar dua atau tiga tahunan. Malu-malu dia kalau ketemu aku. Mungkin karena jarang bertemu.
Keponakanku-keponakanku yang lain tak berada di rumahku. Aqil, manusia kinestetik yang nakalnya minta ampun, ikut Umminya memijat adik terkecilnya ke seorang dukun. Affani, sosok kecil kapitalis tapi cerdas mungkin masih berada di rumahnya. Dua sosok pendekar itu yang selalu membuat rumahku, rumah Mbanya, ramai. Jika tak ada mereka, rumahku sepi, sesepi kuburan. Hiii…
Affani bercita-cita ingin jadi penulis. Dia mulai diperkenalkan oleh orang tuanya dengan buku-buku bacaan. Di antara teman-temannya yang lain, dia bisa dibilang punya koleksi buku paling banyak. Bahkan mungkin lebih banyak dari koleksiku (ah, anom kalah sama keponakannya… ). Memang menu bacaannya belum begitu mendalam. Seperti anak-anak pada umumnya, ia membaca buku cerita Nabi, Sahabat Nabi, Upin-Ipin, Doraemon, dsb.
Aqil lain lagi. Entah apa cita-citanya. Jika ditanya, mungkin jawaban dia adalah ingin menjadi crosser. Sepeda hadiah dia mendapat juara kelas sudah tak berupa bentuknya. Remnya blong diganti dengan bekas sandal jepit. Sayapnya sudah lenyap. Warna catnya sudah kusut.
Dua ksantria yang pernah kuceritakan dulu itu hari ini tak ada di rumahku. Aku tidak pamit kepada mereka. Tak apalah, semoga kalian tetap sehat dan tak selalu membuat keributan kepada mba kalian. Ingat, mba kalian sudah tua. hehe…
***
Sekitar satu jam aku berada di atas sepeda motor. Sesampai di pondok masih sedikit kawan-kawan santri yang datang. Aku sudah menduga, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, mereka lebih suka kembali pada sore hari atau bahkan pada esok harinya. Waktu liburan yang panjang ternyata telah menelikung mereka untuk malas kembali. Terlalu enak di rumah mungkin.
Aku memilih kembali pagi, selain karena kangen dengan kawan-kawan, juga karena mendapat kabar akan ada pekerjaan. Namun, setelah sampai di pondok pekerjaan itu ditunda karena kebanyakan kawan-kawan masih belum kembali. Pada malam harinya baru pekerjaan itu bisa dilaksanakan.
Kembali ke pondok tahun ini aku belum punya rencana-rencana yang berarti. Kalaupun ada, itu hanya riak-riak kecil, sebatas keingin karena ada momen. Misalnya soal rencana meneliti sampah di pondokku. Rencana ini lahir karena ikut pelatihan Analisis sosial yang disampaikan oleh Bapak Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik, Jakarta. Mudah-mudahan ini tidak berhenti hanya pada riak-riak kecil saja.
Setelah kembali ke pondok, tentu saja aku akan banyak merindukan sesuatu. Rindu kekacauan yang diciptakan dua ksatria keponakanku. Rindu suasana rumah yang sepi, sesepi goa. Rindu smsan bersama kawan. Rindu suara kambing. Rindu celoteh burung-burung. Rindu kamar yang berantakan. Rindu rebutan remot bersama Affani dan Aqil. Rindu mencabuti rumput di halaman. Rindu membersihkan rumah. Dan rindu yang lainnya.
guluk-guluk, 19 September 2010
Aku kembali ke pondok pada hari Sabtu (18/09) pagi, sekitar jam 08:45 WIB. Dengan mengendarai sepeda motor, aku berangkat bersama Kakak Ipar. Mendung terlihat bergelayut di angkasa. Tapi aku yakin takkan hujan, maka berangkatlah aku.
Rencananya aku mau berangkat agak pagi, tapi karena malas dan Kakak Ipar juga ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, akhirnya kami berangkat agak siang. Sebelum berangkat, Ibu menyiapkan keperluan-keperluan berbau kaptalis dan urusan perut. Ibu menawariku membawa banyak makanan, tapi aku menolak. Pikirku, membawa banyak makanan tak kalah dengan santri baru. Soal makanan ini aku memang malas membawa banyak-banyak. Tapi, urusan memakannya, jangan ditanya. Satu stoples sendirian…kurang.
Kukemasi pakaian dan beberapa alat tempur; buku, mp3., balpen, dsb. Semua masuk dalam tas yang sudah kupersiapkan. Beberapa pakaian yang belum sempat kucuci kusertakan juga. Hujan beberapa hari sebelumnya telah merampas moodku untuk mencuci.
Setelah selesai mengemasi barang-barang, aku pamitan. Ibu dan saudara-saudara kusalami. Saudara tertuaku kebetulan berkunjung ke rumah pagi itu. Aku pamit padanya. Ia memberiku bekal. Ah, rezeki memang tak disangka-sangka… . Tak lupa kusalami keponakanku yang centil, Mila namanya. Umurnya sekitar dua atau tiga tahunan. Malu-malu dia kalau ketemu aku. Mungkin karena jarang bertemu.
Keponakanku-keponakanku yang lain tak berada di rumahku. Aqil, manusia kinestetik yang nakalnya minta ampun, ikut Umminya memijat adik terkecilnya ke seorang dukun. Affani, sosok kecil kapitalis tapi cerdas mungkin masih berada di rumahnya. Dua sosok pendekar itu yang selalu membuat rumahku, rumah Mbanya, ramai. Jika tak ada mereka, rumahku sepi, sesepi kuburan. Hiii…
Affani bercita-cita ingin jadi penulis. Dia mulai diperkenalkan oleh orang tuanya dengan buku-buku bacaan. Di antara teman-temannya yang lain, dia bisa dibilang punya koleksi buku paling banyak. Bahkan mungkin lebih banyak dari koleksiku (ah, anom kalah sama keponakannya… ). Memang menu bacaannya belum begitu mendalam. Seperti anak-anak pada umumnya, ia membaca buku cerita Nabi, Sahabat Nabi, Upin-Ipin, Doraemon, dsb.
Aqil lain lagi. Entah apa cita-citanya. Jika ditanya, mungkin jawaban dia adalah ingin menjadi crosser. Sepeda hadiah dia mendapat juara kelas sudah tak berupa bentuknya. Remnya blong diganti dengan bekas sandal jepit. Sayapnya sudah lenyap. Warna catnya sudah kusut.
Dua ksantria yang pernah kuceritakan dulu itu hari ini tak ada di rumahku. Aku tidak pamit kepada mereka. Tak apalah, semoga kalian tetap sehat dan tak selalu membuat keributan kepada mba kalian. Ingat, mba kalian sudah tua. hehe…
***
Sekitar satu jam aku berada di atas sepeda motor. Sesampai di pondok masih sedikit kawan-kawan santri yang datang. Aku sudah menduga, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, mereka lebih suka kembali pada sore hari atau bahkan pada esok harinya. Waktu liburan yang panjang ternyata telah menelikung mereka untuk malas kembali. Terlalu enak di rumah mungkin.
Aku memilih kembali pagi, selain karena kangen dengan kawan-kawan, juga karena mendapat kabar akan ada pekerjaan. Namun, setelah sampai di pondok pekerjaan itu ditunda karena kebanyakan kawan-kawan masih belum kembali. Pada malam harinya baru pekerjaan itu bisa dilaksanakan.
Kembali ke pondok tahun ini aku belum punya rencana-rencana yang berarti. Kalaupun ada, itu hanya riak-riak kecil, sebatas keingin karena ada momen. Misalnya soal rencana meneliti sampah di pondokku. Rencana ini lahir karena ikut pelatihan Analisis sosial yang disampaikan oleh Bapak Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik, Jakarta. Mudah-mudahan ini tidak berhenti hanya pada riak-riak kecil saja.
Setelah kembali ke pondok, tentu saja aku akan banyak merindukan sesuatu. Rindu kekacauan yang diciptakan dua ksatria keponakanku. Rindu suasana rumah yang sepi, sesepi goa. Rindu smsan bersama kawan. Rindu suara kambing. Rindu celoteh burung-burung. Rindu kamar yang berantakan. Rindu rebutan remot bersama Affani dan Aqil. Rindu mencabuti rumput di halaman. Rindu membersihkan rumah. Dan rindu yang lainnya.
guluk-guluk, 19 September 2010
0 Response to "Kembali ke Pondok"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.