Rumah Tua
Saya awali kisah ini dari sebuah tikungan. Pada belasan tahun lalu, ia masih jalan setapak yang menghubungkan desaku dengan desa sebelah. Paling banter, kendaraan yang bisa melewatinya kala itu hanya sepeda motor. Itu pun dengan perasaan waswas pengemudinya karena selepas tikungan itu mereka akan dipertemukan dengan sebuah jembatan bambu. Di sinilah uji nyali dimulai, di mana jari-jemari jembatan yang terbuat dari bambu bisa berayun dan patah, lalu melemparkan penggunanya ke dalam sungai. Rasa waswas itu kian menguat ketika hujan baru usai membasuh bilah-bilah bambu yang membentang dan membuatnya licin seperti belut.
Tepat di bengkokan jalan itu, sebuah rumah tua berdiri. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa kamar dengan sekat yang sebagian besar sudah hancur. Lumut membaluti, tidak saja bagian dindingnya, tapi juga sampai di atapnya. Di sejumlah pojok atap bagian bawah, sarang tawon menggelantung. Sebagian sudah ditinggalkan penghuninya karena dibakar oleh teman-temanku. Sarang itu berubah gosong, dari yang awalnya cokelat menjadi hitam.
Tikungan dan jalan itu tak jauh dari rumahku. Bila pada malam hari ada kegiatan di sekolah, yang berarti harus melewati jalan tersebut, saya terpaksa di antar Ibu atau berangkat bersama teman-teman. Saya benar-benar takut melewatinya sendirian, apalagi sehabis menonton film “Dendam dari Liang Kubur”, sebuah film yang dulu begitu kami (saya dan teman-teman) gemari walau sebenarnya kami merasa terteror dengannya. Terteror karena sehabis menontonya, kami merasa malam adalah kurun berkeliarannya pocong, kuntilanak dan famili-familinya. Itu membawa masalah baru bagi orang tua kami, karena mereka harus berkali-kali memaksa anak-anaknya untuk pergi mengaji ke mushalla. Kalau tidak salah, film itu tiap sore muncul di sebuah televisi swasta sekitar tahun 1998-1999. Saya baru kelas empat MI kala itu.
Seperti di film yang kami tonton, pikiran kami bersepakat bahwa rumah di tikungan itu pasti banyak hantunya. Selayaknya sebuah rasa takut, bila tercipta dalam sebuah cerita, ia akan makin didramatisir. Saya berkali-kali mendengar cerita menyeramkan dari rumah itu. Misalnya, di suatu malam, salah satu teman kami yang lewat di situ mendengar suara kerikil dilempar ke atap entah oleh siapa. Di lain waktu, ada yang mendengar suara daun pintu digedor-gedor atau suara langkah kaki yang cukup keras.
Semua kisah menyeramkan itu didukung oleh kejadian selanjutnya, di mana pemilik rumah berniat pindah ke sana. Dulu, dia tinggal di rumah yang satunya, sekitar lima puluh meter ke arah barat dari situ. Dia berniat pindah karena satu anaknya sudah melangsungkan pernikahan, yang berarti harus memiliki rumah terpisah dengan orang tuanya. Rumah tua itu kemudian dibersihkan. Beberapa pintu yang jebol diperbaiki. Dinding-dinding yang berlumut itu mulai memutih. Dia dan istrinya kemudian boyongan ke situ. Tapi, mereka tak lama tinggal di sana. Beberapa bulan mereka pindah lagi ke rumah asalnya. Di kepala kami kejadian itu tertangkap ganjil, ia menjadi semacam justifikasi bahwa kisah-kisah hantu itu memang benar-benar ada di sana. Padahal, si pemilik tidak bicara apa-apa kepada kami atas tindakan meninggalkan rumah tersebut.
Kelak, ketika besar dan gedung itu sudah lenyap, saya mulai berandai-andai; seandainya Ody Mulya Hidayat (Bos Maxima Pictures) tahu gedung itu, mungkin ia akan membuat sebuah film berjudul, “Rumah Tua di Sebuah Tikungan”, atau yang lebih seksi, “Arwah Janda Pelempar Kerikil”.
****
Sebenarnya, saya merasa malas bercerita tentang hantu rumah tersebut. Ia sudah diwakili oleh film-film mutakhir Indonesia. Saya lebih menyukai cerita lain yang aromanya romantis. Aha, romantis ca’na.
Bila pada malam hari kami merasa takut, justru pada siang harinya kami seringkali berkunjung ke sana. Memasuki rumah tersebut, kami akan dipertemukan dengan lukisan-lukisan di dinding. Goresan-goresan itu tentu saja dibuat dengan asal-asalan, sebagian mungkin mempraktekkan teknik dari pelajaran menggambar di sekolah. Beberapa gambar terkesan dibuat oleh anak-anak TK dengan bentuk yang kadang membuat kami terpingkal-pingkal. Kami meyakini pelukisnya pastilah sangat serius menggarapnya, tapi lupa bahwa dirinya tak pandai menggambar.
Ada banyak tema yang bisa kami saksikan dari jejalan gambar-gambar itu. Misalnya gambar tengkorak dengan dua ruas tulang menyilang di bawahnya, seperti di pamflet-pamflet buatan Dinas Kesehatan dengan tulisan besar “Say No to Drugs”. Ada juga yang mencoba menggambar dirinya sendiri dan diberi nama. Si penggambar tidak hirau meski gambarnya lebih jelek 9,97% dari bentuk aslinya. Saya meyakini si pembuat pastilah terjangkit narsisme. Jika dia punya akun facebook, dia tak akan pernah memosting tulisan. Dia akan cukup merasa ganteng atau cantik dengan hanya mengupload foto-fotonya.
Dari sekian tema itu, ada satu tema yang membuat kami tertarik. Tema tersebut yang mayoritas diusung oleh maestro-maestro kampung kami. Soal apa itu? Mari ikuti kami memasuki rumah tua itu.
Gambar pertama berada di dinding sebelah barat. Ia digores dengan menggunakan daun komak yang tumbuh liar di halaman rumah itu. Warnanya hijau mengikuti warna asli daun tersebut. Gambar itu memperlihatkan dua buah daun dengan sisi yang melengkung genit. Dua daun itu saling menempel. Terasa kian akrab dengan hadirnya sebuah panah yang menembus tepat di ulu hati sepasang daun itu. Di atas panah tersebut tertulis dua nama dengan warna mencolok, entah menggunakan apa. “Sa’diyah & Asy’ari”, teman saya membacanya pelan, lalu tersenyum. Asy’ari adalah kakak kelas dan Sa’diyah teman sekelas dengan kami. Di bawah gambar itu terlihat sebuah tulisan besar, “I Love You Now and Forever”. Saya tak tahu apa artinya. Kelak, saya menemukan kalimat itu tertulis di sebuah buku diary yang saya beli karena ada tugas menulis dari seorang guru.
Gambar kedua berada di ruang dalam. Warna gambar itu didominasi oleh warna merah. Pasti pembuatnya menggunakan daun jati muda. Kami tak terlalu paham apa maksud gambar yang dibuatnya. Yang bisa kami saksikan hanyalah sebuah gambar mirip gambar pertama. Namun, daunnya cuma satu dan penuh bercak-bercak merah daun jati. Selain itu, sebuah tulisan mengambil tempat paling mencolok dari pandangan kami. “Broken Heart,” begitu kami bisa membacanya. Kami tak mengerti maknanya. Kalimat itu persis sama dengan kalimat yang tertulis di belakang kaos salah satu teman kami yang ikut ketika itu. Tapi, gambar di kaos itu berbeda dengan gambar di dinding. Di kaos teman kami, tergambar kartun seorang lelaki tua dengan tali-temali mengikat lehernya seperti orang mau gantung diri. Matanya mengerling genit seperti sedang melihat seorang perempuan, padahal gambar itu sedang melihat kami, anak-anak desa yang dekil. Lidahnya menjulur sangat panjang sehingga membuat kami tersenyum tiap kali melihatnya. “Seperti mulut kambing Nom Sahri,” kata salah satu temanku.
Gambar ketiga menyuguhkan dua sosok manusia setengah badan, perempuan dan laki-laki. Gambar itu lumayan bagus, setidaknya untuk ukuran anak-anak MI macam kami. Si laki-laki memakai kopyah dan si perempuan menggunakan jilbab. Mereka berdampingan seperti sepasang suami isteri yang baru menikah. Di bawah gambar itu tertulis “Fauzan PKL Rummaniyah”. “PKL” merupakan singkatan dari “pekalah” yang berarti tunangan. Penulisan “pekalah” sebenarnya salah dalam bahasa Madura. Mestinya ditulis “bhakalah”. Tapi, kebiasaan bertahun-tahun dan penyakit lupa memperbaikinya yang menguasai pikiran kami memaksa singkatan itu tetap bertahan hingga kini. Tak jarang, di tembok-tembok kelas kami di sekolah muncul secara tiba-tiba dua nama yang juga dipisahkan oleh “PKL” itu, entah siapa yang bikin.
Rumah tua itu juga menjadi ruang ekspresi bagi teman-temanku yang tak mudah menyatakan perasaannya melalui surat-menyurat seperti teman-teman yang lain. Karena merasa malu, pada siang terik dan sepi sepulang sekolah, biasanya mereka mengendap-ngendap masuk ke rumah itu dengan sebuah daun komak di tangan. Dengan diawali celingukan sana-sini, untuk memastikan tak ada yang melihat, mereka langsung menulis dengan cepat di dinding, “Saya PKL Anuh”. Mereka menulis nama dirinya dan orang yang dicintai. Keesokan harinya, di sekolah ramai diperbincangkan tentang dua nama baru di samping kiri dan kanan kata “PKL” yang ditulis oleh seseorang kemarin, di rumah tua.
Selain gambar-gambar itu, saya menyukai puisi-puisi yang ditulis di dinding-dinding kumuh tersebut. Sebuah puisi cukup indah pernah saya temui. Kalau tidak salah kalimatnya berbunyi begini, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana….”. Kelak, saya berjumpa dengan puisi itu di buku pelajaran Bahasa Indonesia dengan penulis bernama Sapardi DJoko Damono.
****
Sudah belasan tahun lalu kisah-kisah itu berlangsung. Kini, seiring rumah tua itu dipugar, kanak-kanak di kampungku tak lagi belepotan daun komak dan daun jati untuk hanya sekedar menyatakan perasaannya. Mereka cukup menekan tombol send pada ponsel, lalu terkirimlah sebuah gambar sepasang daun melengkung genit dengan panah di tengahnya. Dan kami tak punya kenangan menarik dari sebuah ponsel bikinan China itu.
Dedikasi untuk FDLN, “Nama kita ternyata tak abadi di sana” :-)
Kampung Halaman, 10 Juli 2011
bede se salah tolis neka, mestena beni kanak-kanak, tapi nak-kanak tak iye..... he he.... btw siiip....
ReplyDeletebede se salah tolis neka, mestena beni kanak-kanak, tapi nak-kanak tak iye….. he he…. btw siiip….
ReplyDeleteHahaha... Mator sakalangkong, Ummi Hani, atas rabu sareng koreksi epon. :-D
ReplyDeleteKunjungan balik.. Salam blogger Madura :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung balik, taretan. Salam. :-)
ReplyDeleteciah mak lakoh acinta tolesenah
ReplyDeleteBiasah mun reng ngudeh. Mun towah nga' sampeyan pon ta' kerah mikker cinta. Kare semikkerah alam kubur. :-D
ReplyDeleteKunjungan balik............
ReplyDeleteSekalian izin, wat ngacak - ngacak isi rumahnya........
he he he...........
Terima kasih sudah mau membalas kunjungan saya, Anna.
ReplyDeleteSilahkan diobrak-abrik sekalian, barangkali ada yang Anna butuhkan. Tapi jangan cari beras di sini yah? Gak jual soalnya. :-D