-->

L (2)

-dua bulan sudah berlalu

Bukankah pada tiap rasa sakit selalu ada yang bisa dipelajari? Mungkin kesabaran (seperti pesanmu suatu kali), mungkin pula cara menahan emosi.

Itulah mengapa, ketika semua orang menghendaki diriku membuang sejauh mungkin semua ingatan tentangmu, aku memilih berpikir berulang-ulang. Hingga akhirnya datang suatu kesimpulan; aku harus bertahan dengan keadaan ini. Dengan perasaan yang kadang meruntuhkan kesadaran. Dengan rasa sakit seperti ditikam sesuatu, entah apa.

****

Semua orang yang kutemui selalu merasa harus mengucapkan kata-kata macam ini: “Sudahlah, ini dari Yang Kuasa. Terima apa adanya dan mulai lupakan dia.” Lain kali ada yang berucap, “Lupakanlah dia. Saya yakin pasti ada skenario indah yang dipersiapkan-Nya.” Atau ada juga yang bilang begini, “Perempuan bukan cuma dia, masih banyak yang bisa kau jadikan pengganti? Lupakan dia”

Tiga kalimat itu mengandung satu kata yang sama dan sungguh absurd; melupakan. Aku berpikir, apa yang tergambar dalam otak mereka ketika mengucapkan masing-masing kalimat itu? Apakah orang bisa begitu saja lupa terhadap apa yang pernah begitu runyam menimpa kehidupannya? Barangkali ini lelucon yang memang terus dipelihara. Sebab, tak ada momentum besar dalam kehidupan manusia yang bisa dengan mudah dihilangkan. Apakah dengan sempurna aku bisa menghapus kenangan pahit itu? Aku tak yakin. Seperti kataku, ia hanya bisa hilang karena amnesia.

Mereka barangkali abai bahwa melupakan itu adalah obsesi. Sebuah harapan yang tak pernah betul-betul bisa diraih dengan sempurna. Ia adalah proses menuju tingkat terendah dari perasaan yang menguasai pikiran. Bila keduanya (perasaan dan pikiran) setara, maka otak akan berfungsi dengan baik. Karenanya, kemungkinan untuk tidak terlalu larut dalam suatu persoalan yang menyikut perasaan akan punya peluang besar.

****

Ada banyak orang yang menganggap konyol memandang caraku menyelesaikan persoalan ini. Suatu kali aku pernah mengirim seorang kawan sebuah email. Dalam surat kawat itu kutulis keputusan sederhana yang mungkin bagi sebagian orang agak membingungkan, termasuk kawanku itu. Kutulis tentang berbagai cara yang kulakukan untuk melupakanmu, tapi semua tak ada yang berhasil. Dari sekian perenungan, akhirnya aku memilih untuk tetap memelihara perasaan itu. Aku tak boleh melawannya. Aku harus berkawan. Entah karena prihatin ataukah menyadari kenyataan yang gila, kawan itu tak setuju lalu membalas: “lebih baik lupakan dia”. Aku tersenyum kecut menyadari kata-kata itu datang lagi menghampiriku.

Seperti kalimat di awal tulisan ini, bahwa rasa sakit itu mengandung banyak pelajaran, tentu bagi mereka yang mau belajar. Kau kuyakin sudah banyak belajar dari rasa sakit seperti ini. Bukankah kau pernah mengalami hal yang sama denganku? Kearifan yang kutemui dan kukagumi darimu barangkali sari pati dari keadaan buruk masa lalu. Masalah itu mendewasakan, kata seorang motivator.

Satu hal yang pasti kurasakan saat ini adalah bahwa sakit hati itu melatih kesabaran. Dulu, saat awal aku menerima cobaan ini, perasaanku begitu tertekuk tak bisa bangkit. Harapan cerah di masa depan tiba-tiba berkabut tebal. Tak ada gairah bekerja. Cita-cita yang dipacak di langit seperti terlepas begitu saja. Aku tak ubahnya benda mati. Kecuali hanya sekedar bernafas.

Saat-saat runyam seperti itu, aku juga masih mencoba terus menulis, karena hanya itulah yang kubisa. Namun, semua tulisan-tulisanku penuh emosi. Logika menjadi pejal. Penuh kutukan pada diriku sendiri.

Waktu berlalu, lambat laun kondisi itu berubah. Tentu aku harus berjuang keras untuknya. Kupelajari tiap inci dari apa yang kurasakan. Kulebarkan pikiran. Kumunculkan obsesi-obsesi untuk kembali merajut masa depan. Dan tak lupa, aku terus menulis. Dalam laku menulis kutemukan ekstase yang sulit kubahasakan. Semacam dunia baru yang tercipta dalam pikiran. Mungkin itulah keajaiban menulis.

Begitulah caraku melupakanmu, yaitu dengan terus mengingatmu. Aneh memang, tapi inilah caraku sendiri. Dengan terus mengingatmu, aku ingin menikmati sensasi rasa sakit itu. Semacam ritual Seppuku Harakiri barangkali. Sebuah ritual bunuh diri seorang Samurai Jepang dengan cara merobek perutnya dengan tantou (semacam pisau). Ritual ini dilakukan untuk menyatakan kesetiaan kepada pimpinannya atau ia kalah bertarung sehingga memilih mati dengan terhormat: yaitu dengan Harakiri.

Harapanku, kelak aku tak lagi mencintaimu, tetapi mencintai rasa sakit itu sendiri. Dan aku terus-menerus belajar darinya. Betapa indahnya. Walau ia butuh keberanian dan perjuangan yang tak gampang.

Di akhir tulisan ini aku ingin mengutip sebuah kisah nyata dari China yang beredar baru-baru ini:

50 tahun tahun silam, pada usia 19 tahun, Liu Guojiang jatuh hati kepada Xu Chaoqin yang berusia 29 tahun. Pada masa itu, pertautan usia yang jauh antara keduanya merupakan aib bagi komunitas masyarakat di sekitarnya. Ia dicela dan dicaci-maki. Terlebih lagi, Xu, kekasihnya, sudah memiliki beberapa anak.

Namun, bagi Liu, tak ada tindakan paling bijak selain memutuskan untuk menikahi perempuan itu. Demi menghindari celaan dari sekitar, ia mengungsi ke sebuah goa di pegunungan desa Jiangjin sebelah selatan Chong Qing.

Selayaknya goa sepi, ia tentu tak menyediakan apa-apa. Tak ada listrik dan makanan. Rerumputan dan akar-akaranlah yang menjadi pengganjal perut mereka setiap hari.

Keadaan seperti itu membuat Xu merasa telah mengikat lelaki itu. Berkali-kali ia bertanya kepada suaminya: “Apakah kau menyesal?” Liu menjawab, “Selama kita rajin, kehidupan akan menjadi lebih baik.”

Setelah dua tahun tinggal di pegunungan itu, Liu mulai memahat anak-anak tangga untuk isterinya. Meski sang isteri amat jarang turun gunung. Pada tahun 2001, segerombolan pengembara yang menyusuri pegunungan itu terkejut ketika menemukan pasangan usia lanjut dan 6000 anak tangga. Liu membutuhkan waktu setengah abad untuk menghasilkan 6000 anak tangga itu.

Suatu ketika, saat pulang dari ladangnya, Liu yang sudah berumur 72 tahun tiba-tiba pingsan. Sambil memangku sang suami, Xu mulai memanjatkan doa. Tangan keduanya begitu erat berpaut. Hingga akhirnya Liu menghembuskan nafas yang terakhir di pangkuan sang isteri. Tak henti-henti Xu meratap di tepi peti janazahnya. “Kau telah berjanji akan memeliharaku dan akan terus bersamaku sampai aku meninggal, sekarang kau telah mendahuluiku, bagaimana akan dapat hidup tanpamu?” Katanya.

Liu Ming Sheng, satu dari 7 orang anak mereka mengatakan, “Orang tuaku sangat saling mengasihi, mereka hidup menyendiri selama lebih dari 50 tahun dan nyaris tak pernah berpisah sehari pun.”

****

Dari kisah itu kutemukan satu pelajaran berarti, yaitu kesabaran berkawan dengan rasa sakit. Ada seutas benang merah yang mempertemukan persoalan yang kuhadapi dengan persoalan hidup Liu. Meski, tentu masalah yang dihadapinya jauh lebih besar. Ia mempertahankan rumah tangganya karena besar cintanya kepada Xu, sementara aku memilih rasa sakit ketimbang membuangnya.

Kelam memang, tapi indah kalau kita mau belajar. Sudahkah kau menemukan pendamping hidup? Selamat menempuh hidup baru. Bikinlah pastel di hari pernikahanmu. Hehe… :-)

malam-pagi berkabut, 16-17 januari 2011

0 Response to "L (2)"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel