-->

Dia dan Aku yang Egois


Hari ini, pikiranku sedang campur aduk. Entah, apakah sebenarnya yang menyebabkan hal itu. Tahu-tahu ia sudah dalam keadaan terpuruk begitu saja. Apakah karena percakapan yang sedikit menyita emosi tadi malam? Ah, semoga bukan itu walau tanda-tandanya memang begitu menjurus kepadanya.

Aku tak tahu, apakah ia sedang marah atau datar-datar saja. Pesannya tadi malam sedikit menggambarkan ia tidak senang dengan caraku menanggapi pesan-pesannya. Kuakui, aku memang sedikit emosi ketika itu. Aku yang dalam keadaan mengantuk harus menunggu pesan-pesannya yang datang terlambat. Begitulah kalau egoku sedang labil. Aku benci diriku yang egois.

Pagi ini, aku ingin membuang segala kegelisahan itu. Ingin kunikmati pagi dengan sejumlah pernak-perniknya yang menggairahkan. Ada anak-anak yang berlari-lari menuju sekolah. Ada sinar matahari yang mulai menyengat. Ada sampah-sampah berserakan yang minta dibersihkan. Ada teman-teman yang sedang mengguyon. Ada sakit perut yang menggila! Semua seperti sebuah potongan-potongan peristiwa yang mengirim energi ke dalam diri.

Merangkum semua itu dalam tulisan alangkah indahnya. Maka mulailah aku menulis. Satu, dua, tiga kata berayun dan menyempurnakan diri. Tuts-tuts laptopku menganyam dan merangkai apa saja yang kulihat, kurasa dan kupikirkan. Hanya itulah cara yang bisa kulakukan untuk menetralisir pikiran yang semraut.

Kadang memang untuk masalah yang sangat runyam, pikiran amat sulit dikonsentrasikan untuk menulis. Kejenuhan akan senantiasa menguasai. Tapi, ia tak boleh membekap perasaan begitu dalam. Ada waktu di mana ia harus enyah dari dalam diri. Toh, hidup bukan hanya itu. Ada banyak hal yang mesti dipikirkan.

Dalam menulis, sering kali kutemukan hal-hal tak terduga. Kesemrautan pikiran itu kadang mencair kala kujalani alur sebuah tulisan. Apalagi tulisan itu memang mengurai tentang masalah yang dihadapi. Tak kusadari bahwa menulis sebenarnya salah satu cara memecahkan masalah dengan mengurainya begitu rupa hingga terlihat apa penyebab dan bagaimana mencegahnya.
****
Ia boleh marah, ia boleh apapun. Aku tak peduli. Aku tak punya hak untuk itu semua. Ia memiliki dirinya sendiri dan kehendak untuk menentukan nasibnya. Apalah arti diriku yang hanya menemani kesendiriannya pada malam-malam yang panas karena kemarau. Aku tak boleh berlebihan dengan cara terus-terusan menahan emosi kepadanya. Itu hanya akan membuatku seperti orang tak tahu diri.
Akhirnya, aku akan terus menulis, tentang apa saja yang kualami, kurasakan, dan kupikirkan. Berharap pikiran ini tak terus tersedot untuk hal-hal yang tidak penting.

Guluk-Guluk, 18 Oktober 2011

4 Responses to "Dia dan Aku yang Egois"

  1. Hehe...biasa, lagi dalam posisi nyungsep nih. Hahahaha....

    ReplyDelete
  2. Kadang kita memang butuh waktu buat sendirian, merenung.. Tapi inget boy jangan kebanyakan merenungnye..:)

    ReplyDelete
  3. @Naya: Hahaha... Iya deh. Kalo merenung terus disangka gila nanti. :-D

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel