-->

Kisah Sedih Beol di Tegal

Ini soal kebiasaan. Ya, kita bisa karena terbiasa, itu kata pepatah. Sebenarnya saya tak harus mengulang-ulang kalimat basi tersebut. Bisa-bisa orang urung membaca tulisan ini. Eh, tapi sebaiknya memang tidak usah. Waktu kalian lebih baik digunakan untuk hal-hal yang berguna, misalnya misuh-misuh di akun twitter Presiden. Eh, maksud saya, katakan prihatin terhadap nasib naas yang menimpanya; disadap oleh Ostrali.

Kembali ke soal kebiasaan. Dalam siklus hidup, kebiasaan adalah sunnatullah. Matahari terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat adalah hal yang biasa. Ruhut Sitompul memuja-muji SBY itu juga biasa. Anas Urbaningrum menyindir SBY juga hal biasa. Koruptor suka lupa ketika digelandang KPK lagi-lagi hal biasa. Sama biasanya dengan saya yang suka misuh-misuh kepada pemerintah, terutama Presiden.
Sebenarnya saya tak hendak menyinggung-nyinggung Presiden yang Terhormat dan orang-orang di sekitarnya. Saya sudah malas dan lebih suka melihat diri sendiri. Sebagaimana golongan rakyat yang kerap dituduh permisif, saya akan mengajukan sebuah alasan untuk itu, bahwa boleh jadi kalau saya menjadi presiden kinerjanya tidak lebih baik dari presiden sekarang. Itu alasan yang cespleng, bukan?

Dari awal sebenarnya saya hanya ingin bicara soal WC. Ini bukan masalah bangsa, tapi bisa berdampak buruk terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bayangkan jika semua masyarakat Indonesia memilih tidak menggunakan WC untuk ngising. Berapa juta ton tiap hari petugas kebersihan harus mengangkut hajat hidup orang banyak itu? Kasihan sekali mereka.

Wah, sudah sampai di mana tadi? Hmm… Oh, ya, WC. Saya mau cerita pengalaman saya dengan WC. Suatu kali saya pernah datang ke rumah seorang teman. Saya menginap di sana hingga beberapa hari. Rumahnya yang tidak terlalu bising dan tidak terlalu sepi menjadi enak banget ditempati. Namun sayang, di sana  tidak ada WC. Orang-orang di lingkungan situ terbiasa buang air besar ke ladang atau tegal.

Saya yang tak biasa ngising di tegal, selalu merasa risih, apalagi di siang hari. Serasa ada banyak orang yang menonton dan menyoraki, padahal tak ada sama sekali. Ketika perasaan itu muncul, beol yang tadinya menendang-nendang perut tiba-tiba urung keluar. Mungkin ia juga malu dilihat orang.

Di tegal juga menuntut kehati-hatian yang tinggi. Jika tidak, kaki kita akan menginjak beol orang lain. Ini sungguh menyiksa perasaan, Jenderal!
Nah, ketika berkunjung ke rumah teman tersebut, saya memilih untuk tidak buang beol berhari-hari. Untungnya saya bisa menahan (kecuali sedang mencret). Kadang memang menyiksa, tapi beol di tegal lebih menyiksa lagi.

Sekali lagi, ini soal kebiasaan. Ketika orang-orang di sana beol di tegal sambil bersiul-siul dan memandang sunset, itu karena mereka terbiasa demikian. Kalau mereka beol di WC mungkin juga akan mengalami keterasingan seperti ketika saya berada di alam bebas itu. Jadi, sebanarnya masalah tersebut timbul bukan karena WC, melainkan karena kebiasaan. Ketika orang berada di zona yang tidak biasa, maka ia cenderung merasa kikuk dan bahkan tersiksa. Selamat beol, Jenderal!!!

*Sumber foto: http://kisah69.blogspot.com/2011/01/tandas-terbaik-dari-ladang.html

4 Responses to "Kisah Sedih Beol di Tegal"

  1. awasssssss... injek ******* (sensor). itulah sebabnya, rumah yg saya buat WCnya dua, jangan sampe di tempet umum urusan kuras menguras karena di rumah gak ada WC. itu para koruptor pada beol di jalan gak ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi.... Awassss!
      Kalau koruptor beolnya ke rumah istri simpanan, Mas. :p

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel