-->

Yang tertinggal dari KKN


Terbuat dari apakah sebuah kenangan?
(SGA)

Kuliah Kerja Nyata (KKN) STIKA, Guluk-Guluk, sudah usai sekitar sebulan yang lalu. Selama sebulan berada di desa orang, tentulah ada banyak hal baru yang kudapatkan. Kenangan itu mengendap dalam pikiran dan pada saatnya ia lahir dalam bentuk karya. Inilah ia.
Desa yang kutempati bernama Kedundadap Barat, Saronggi. Desa itu secara akses kendaraan sudah bisa dibilang tak ada kendala. Ditambah lagi dengan posisi desa yang dekat dengan jalan utama kecamatan. Jaraknya hanya sekitar satu setengah kilometer. Tidak terlalu sulit mencapai tempatku berdiam, yaitu balai desa. Balai tersebut di bangun berbatasan dengan desa sebelah yang berarti tempat tersebut meruapakan wilayah paling selatan.
Pertamakali sampai di daerah tersebut, aku merasa tidak kerasan. Selain karena belum beradaptasi, juga sakit gigiku kambuh. Semalaman tak bisa tidur. Benar-benar sial nasibku saat itu. Begitulah kalau aku sedang masuk angin. Gigi adalah ancaman yang benar-benar menyakitkan. Soal sakit gigi ini memang menjadi penyakit akut bagiku. Seringkali kukatakan di mana-mana, lebih baik sakit hati daripada sakit gigi.
Kesulitan yang kualami juga masalah makanan. Kebutuhan primer ini agak sulit dicari, selain karena belum mengenal wilayah, juga karena jarang sekali ada warung yang menjual nasi. Aku dan kawan-kawan lain yang berjumlah 15 orang, harus pergi ke pasar yang berjarak sekitar lima kilometer dengan berjalan kaki. Untunglah untuk hari pertama ada kawan yang bersedia jadi voluntir untuk membelikan nasi semua peserta. Uang dikumpulkan dan berangkatlah dua orang itu menggunakan satu-satunya sepeda yang peserta bawa.
Hari-hari selanjutnya kami putuskan untuk menanak sendiri, karena kami pikir itu akan sangat irit. Apalagi kebanyakan dari teman seposkoku adalah santri yang sudah pasti sangat paham soal menanak. Kami bikin kesepakatan, siapa yang akan pulang harus bawa beras dan ikan. Dan alhamdulillah, soal pangan ini tak lagi ada masalah pada hari-hari selanjutnya. Persoalannya hanya terkadang debit air habis, sehingga harus menghubungi penjaga mesin air untuk bisa menanak dan mandi.
Mengenai tempat tinggal, balai desa Kebundadap Barat ini termasuk yang istimewa dibandingkan dengan balai desa di daerah lain sesama Kecamatan Saronggi. Fasilitas bisa dibilang lengkap untuk takaran sederhana. Ada mushalla dan kamar mandi yang di bangun di belakang balai. Bangunannyapun terlihat masih baru.
Kepala Desa dan Perangkatnya bersikap baik kepada kami. Ibu Kades merupakan orang yang sangat akrab dengan kami, karena beliau paling sering menjenguk kami. Beliau memberikan pinjaman alat-alat masak dan seringkali memberi saran untuk masakan-masakan yang kami buat. Satu orang lagi yang dekat dengan kami adalah Kepala Urusan Umum. Pak Asru, begitu kami sering menyebutnya. Istrinya juga sering membawakan kami makanan kecil dan pernah suatu kali memberi nasi.
****
Perlahan-lahan kami mulai mengikuti alur hidup orang-orang di sana. Ada banyak hal-hal baru yang kami temukan. Hal-hal baru itu kami dapatkan setelah mengadakan safari kepada tokoh-tokoh masyarakat maupun dari polah hidup masyarakat sehari-hari. Tokoh-tokoh masyarakat menerima kami dengan ramah, seperti masyarakat Madura pada umumnya.
Secara adat berpakaian, masyarakat di sana sudah terbawa arus kota. Pakaian serba minim, ketat, dan mempertontonkan aurat bagi perempaun tiap hari kami jumpai. Terutama saat ada turnamen bola volly yang merupakan olahraga kegemaran masyarakat di sana. Begitu juga yang laki-laki. Tak jarang kami temui rambut mereka yang dicat, berkaos, dan celana model bintang film. Semua sudah aroma kota.
Namun, yang tak habis kupikir, meskipun mereka secara pakaian sudah merupakan orang kota, akan tetapi kegemaran mereka tetaplah warna khas lokal. Mereka tidak bisa dipisahkan dari Ludruk dan Kerapan Sapi. Dua acara tersebut selalu penuh penonton. Lain dengan konser-konser band yang untuk konteks kota menjadi hiburan yang sangat ditunggu-tunggu.
Pernah suatu kali aku menyempatkan diri menonton Kerapan Sapi yang dilangsungkan di desa sebelah. Kusaksikan ada banyak orang berbondong-bondong menyesaki lapangan. Tempat penonton yang hanya dibatasi oleh bambu dengan arena Kerapan penuh sesak oleh sosok manusia. Bahkan ada yang sampai naik ke atas pohon untuk bisa melihat dengan jelas brpasang-pasang sapi yang dilombakan. Padahal, Kerapan tersebut hanya tingkat amatir yang tujuannya cuma untuk melihat apakah pasangan sapi yang dikerap itu layak diikutkan dalam pertandingan sesungguhnya.
Soal kerapan ini pula ada “ritual” khusus tentang bagaimana masyarakat di sana betul-betul menghayati laku ini. Saat sapi dipertontonkan sebelum diadu, para penari yang memegang kendali sapi mereka diberi uang. Sambil diiringi musik saronen, biasanya para keluarga dan kerabat orang yang punya sapi mulai menyelipkan uang kertas sambil dikipas-kipasi mengikuti alunan musik etnik tersebut. Terkadang uang itu ada yang ditabur, sehingga siapapun boleh mengambilnya.
Kemudian mengenai Ludruk. Tiap pagi, di depan poskoku, posko 11, selalu ada rombongan penayub beserta tetabuhan berangkat ke arah utara, entah ke mana. Rombongan itu kata orang-orang mau menghadiri undangan. Aku heran, kenapa bisa sekerap itu undangannya. Hampir selama sebulan aku menyaksikan terus menerus rombongan itu pergi. Tiap pagi, mobil L300 dan mobil pick up tak pernah berubah. Mobil puck up untuk mengangkut tetabuhan dan alat lainnya, sementara mobil L300 untuk rombongan penayub. Kelompok Ludruk tersebut berasal dari desa Langsar, sebelah selatan desa yang kutempati. Putri Famili, demikian orang menyebut nama kelompok tersebut. Ketuanya adalah seorang haji benama Akbar. Aku tahu H. Akbar pimpinan Ludruk Putri Famili karena dia meninggal dunia beberapa hari setelah kami berada di sana. Banyak orang bertakziah, karena ia merupakan tokoh masyarakat yang disegani.
*****
Mengenai sisi relijiusitas, kehidupan mereka sungguh sangat kering kemerontang. Ada banyak aliran keagamaan; Persatuan Islam (Persis), Ahlus Sunnah, Manqul, dst. Aliran-aliran ini memiliki komunitas-komunitasnya tersendiri, juga peraktek keagamaan yang berbeda-beda.
Aliran Persis, misalnya, tidak menggunakan nida’ ketika shalat jum’at. Khotbahnya menggunakan bahasa Indonesia. Dan tiap kali selesai shalat tidak ada wiridan. Sementara Ahlus Sunnah melakukan praktek keagamaan sebagaimana orang NU pada umumnya. Lain lagi dengan Manqul. Aliran ini memiliki keyakinan bahwa sholat itu tidak harus memenuhi rukun yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah dan Persis. Dengan hanya mengingat Allah, mereka sudah merasa selesai bersholat.
Dan aliran ini beranggapan bahwa orang yang sudah meninggal diumpamakan seperti bangkai binatang, sehingga tidak perlu disholati, dikafani, dan kuburnya tak perlu dinding ari. Katanya juga, surga bisa dibeli dengan uang. Jadi, bagi orang yang sudah meninggal, surga bisa dibelikan oleh orang yang hidup dengan memberikan sejumlah uang kepada Kiyai.
Kekeringan spiritual juga tampak dari kehidupan anak muda di sana. Kebanyakan dari mereka, walau beragama Islam, mereka tidak pernah terlihat sembahyang. Salah satu pemuda bernama Agus mengatakan, sedikit sekali teman-temannya yang melakukan sholat. Dia sendiri mengaku sudah lupa bacaan tahyat karena lama tidak melaksanakan sholat. Ia meminta diajari kepada kawan-kawan bacaan tersebut.
Masih kata Agus, pergaulan bebas melanda anak muda di sana. Para perempuan kebanyakan sudah tidak perawan. Sulit sekali menemukan mereka masih menjaga kehormatannya. Mereka terutama yang masuk dalam klub-klub bola volly.
Kemudian masalah pendidikan. Di Desa Kebundadap Barat ini lembaga pendidikan sangat sulit ditemui. Yang paling dekat dengan posko tempat kami mangkal hanya satu SD. Sekolah SMP dan SMA tidak ada. Ini merupakan wujud fanatisme masyarakat yang berlebihan terhadap sekolah kota. Mayoritas mereka yang sudah lulus SD melanjutkan ke SMP dan SMA di kota Sumenep.
Mengenai sekolah ini, ada satu kebiasaan korup dan suap yang terjadi di masyarakat. Orang tua siswa berani membayar uang juta-an rupiah demi memasukkan anaknya ke sekolah kota tersebut. Memang dari sisi fasilitas, sekolah tersebut lebih mewah dari sekolah-sekolah lainnya. Akan tetapi, belum tentu fasilitas tersebut bisa menghasilkan lulusan yang cerdas jika proses perekrutan siswanya melalui praktek suap dan korup.
Pernah suatu kali salah satu orang tua siswa mengatakan kenapa anaknya ingin disekolahkan di kota. Dia berharap anaknya bisa berprilaku dan bersikap seperti layaknya orang kota. Aku yang mendengar hal itu hanya tersenyum dan ingin geleng-geleng kepala, tapi dibatalkan karena takut ia tersinggung. Soalnya dia mengatakan dengan sungguh-sungguh.
*****
Kebundadap Barat terdiri dari dua dusun; Dusun Kolla dan Dusun Gedding. Dusun Kolla berada di daerah utara dan Dusun Gedding berada di daerah selatan memanjang ke arah barat. Kalau dipetakan, Desa Kebundadap Barat seperti layar perahu. Puncak layar itu merupakan Dusun Gedding yang berbatasan dengan Desa Langsar dan Saroka. Sementara Dusun Kolla Berbatasan dengan Desa Kebundadap Timur dan Kalianget.
Diantara dua dusun tersebut ada perbedaan mencolok mengenai mata pencaharian masyarakatnya. Desa Gedding mayoritas masyarakatnya petani. Menggarap lahan adalah penghidupan mereka. Dan adakalanya mereka mencari penghasilan lain dengan menyelip batu menjadi pasir untuk bahan bangunan. Untuk yang terakhir ini daerah tersebut memang memiliki bebatuan khas yang baik untuk bahan bangunan.
Kehidupan masyarakat di dusun Gedding seperti kebanyakan masyarakat desa yang penuh gotong royong. Secara keagamaan di dusun ini lebih baik jika dibandingkan dengan dusun Kolla, terutama di daerah barat dayanya. Para siswa yang belajar di musholla-musholla tersebut lebih fasih mengaji ketimbang daerah-daerah lain disekitarnya.
Sementara Dusun Kolla mayoritas penduduknya adalah pegwai negeri. Daerah tersebut padat penduduk sehingga sedikit lahan yang bisa ditanami. Kalau tidak menjadi pegawai mereka biasanya membangun toko atau warung.
Kalau melihat rumah-rumah yang dibangun, Dusun Kolla lebih kaya dari Dusun Gedding. Dan kehidupan masyarakatnya lebih nge-kota. Pagi-pagi masyarakat di sana sudah bersiap-siap masuk kantor dan baru pulang pada sore harinya. Perilaku bergotong-royong menjadi amat sulit ditemukan di daerah sini karena memang sudah terikat dengan jadwal. Individualitas menjadi momok tersendiri bagi kami yang berusaha mengumpulkan mereka.
Dari sisi relijiusitas mereka lebih kering. Mesjid satu-satunya yang dibangun terisi penuh oleh jamaah hanya pada hari jum’at. Lain itu kosong melompong. K. Hamidi, salah satu Kiyai muda lulusan Pesantren Nurul Islam, Karang Cempaka, Bluto, mengatakan, minat orang-orang disekitar masjid masih sangat minim soal keagamaan. Yang berjamaah tiap waktu hanya berkisar lima sampai enam orang. Padahal, sekeliling masjid penuh sesak oleh rumah penduduk.
Di Desa Kebundadap ini ada satu kebiasaan yang kurang baik soal proses tranformasi nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak. Bagi anak yang sudah lulus SD mereka sudah tidak lagi ke mushalla karena mau menekuni pelajaran di sekolah. Kata mereka, SMP dan SMA pelajarannya semakin berat dan banyak. Orang tuanya yang meminta kepada pengelola mesjid atau mushalla untuk diberhentikan. K. Mura’ie, salah satu pengelola mushalla, menyesalkan kebiasaan ini. Namun beliau mengatakan tak bisa berbuat apa-apa karena masyarakat sudah menginginkan itu. Beliau juga mengatakan, untuk tahun ini anak didiknya hanya tinggal tiga orang dari awalnya yang berjumlah 18 orang.
Desa Kebundadap memang menarik untuk ditelusuri lebih jauh, terutama soal keagamaan dan geliat kehidupan masyarakat yang mulai mengadopsi pola hidup orang-orang kota. Banyaknya aliran keagamaan dan praktek-praktek keagamaan yang beragam merupakan pernak-pernik yang bisa menjadi khazanah kultur keagamaan khas lokal.

guluk-guluk, 20-21 september 2010

0 Response to "Yang tertinggal dari KKN"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel