Sebuah Awal
dua gelandangan sedang beraksi :-)
Serial Perjalanan Tidak Penting (1)
Satu minggu terakhir adalah pekan dimana saya menghabiskan lebih banyak waktu di luar pondok. Ada beberapa kegiatan yang harus saya laksanakan, di antaranya mengisi bincang-bincang sastra dengan penulis muda di PP. Raudlah Najiyah, Lengkong, Bragung, Guluk-Guluk, Sumenep, pada Jum’at 18 November 2011, mengisi seminar keorganisasian di Madrasah Nurul Hidayah, Lanjuk, Manding, Sumenep, pada Minggu, 20 November 2011, dan kini keluyuran di Dungkek untuk membunuh kebosanan.
Dungkek adalah kecamatan paling timur di daratan Sumenep. Sebelah selatan, timur, dan utara berbatasan dengan laut. Kebetulan rumah teman yang saya tempati berdekatan dengan laut bagian timur. Jadi, pelajaran kali ini adalah tentang laut.
Saya berangkat pada Senin siang, 21 November 2011. Bersama Syamsuni, kawan saya, saya mengendarai sepeda motor. Siang yang agak panas memang kurang besahabat untuk melakukan perjalanan, namun karena teman masih harus menservis sepedanya di kota Sumenep, maka kami putuskan untuk berangkat lebih awal, tidak berangkat sore hari.
Di dealer Suzuki, Sumenep, kami berhenti. Beberapa sepeda motor di parkir di halaman. Kendaraan itu sebagian milik karyawan dan yang paling banyak adalah milik para pengunjung yang ingin menyervis kendarannya. Di dalam ruangan, sepeda motor baru dengan aneka model diparkir pada tiang besi penyangga. Ada sepeda Revo dan Repsol keluaran terbaru dipajang di sana.
Teman saya masuk dan menghampiri petugas. Seorang perempuan menyapa dan menanyakan keperluannya. Beberapa saat kemudian, teman saya memindahkan sepedanya ke tempat antre untuk diservis. Lalu dia menghampiri saya. “Harus antre,” katanya. Saya masuk dan duduk di tempat tunggu. Tas saya letakkan di kursi dan helm di meja.
Saya sudah menduga bahwa penungguan ini tidaklah sebentar. Itu terlihat dari banyaknya sepeda yang diparkir dan terlalu telatennya para teknisi. Dua keadaan itu memaksa saya untuk bersabar. Dan benar adanya, kami harus menunggu selama sekitar satu jam.
Dalam penungguan itu, sesekali kami mengobrol. Bicara apa saja hingga kami bosan sendiri. Para karyawan terlihat santai. Kadang melayani keperluan pengunjung. Hanya bagian teknisi yang benar-benar sibuk memperbaiki kendaraan. Mereka berjibaku menghadapi berbagai macam model sepeda motor.
Waktu itu, kondisi saya memang dalam keadaan kurang baik. Mata sebelah kanan yang sakit kian memerah karena diterobos angin selama perjalanan. Helm standart yang saya pakai tak mampu membendungnya. Sepanjang perjalanan mata saya berair sehingga saya harus sering-sering mengusapnya. Apalagi, angin yang menerobos membuat kelopak mata saya nyeri. Kejadian itu agak membuat saya kikuk karena setelah beristirahat di dealer tersebut saya harus sering mengusapnya. Tapi saya cuek saja.
Selain karena mata yang sakit, saya juga baru ingat kalau dari pagi hingga siang sebelum berangkat saya belum beristirahat sama sekali. Saya mengerjakan transkip wawancara untuk buletin Arus yang semestinya sudah lama saya selesaikan. Namun, karena saya malas dan sering keliling ke mana-mana, akhirnya tugas itu terbengkalai. Teringat akan ada jadwal keluyuran lagi, maka pagi itu saya kebut pekerjaan tersebut. Saya hanya sempat menyelesaikan dua transkip karena selain mengerjakan tugas itu saya masih diganggu oleh pekerjaan lain dari teman, yaitu disuruh memperbaiki makalah dan mendownload file. Selain dua hal tersebut, saya masih harus menemui tamu kantor karena kebetulan teman yang dibutuhkannya tidak ada. Maka saya yang menggantikan dia.
Pening kepala karena belum sempat istirahat mulai menyerang. Televisi yang berada di seberang dekat tempat petugas penerima pengunjung masih menayangkan pertandingan renang SEA Games di Jakabaring, Palembang. Sepanjang saya berada di situ, televisi tersebut tidak pernah diubah channel-nya. Saya tidak terlalu memperhatikan apa yang disodorkan televisi itu. Yang terlihat oleh saya hanya penampilan kontingen Malaysia. Televisi tersebut tak dapat menetralisir pening kepala saya, karena memang bukan obatnya. Tidur adalah obat utama.
Sekitar satu jam duduk di kursi, tiba-tiba seorang teknisi memindahkan kendaraan teman saya itu. Saya senang karena sebentar lagi kami akan melanjutkan perjalanan kembali. Apalagi, kendaraan teman saya itu hanya akan diganti olinya. Pekerjaan demikian tak akan memakan waktu lama. Memang benar, beberapa saat berselang, teknisi tadi mengembalikan sepeda teman saya ke tempat semula. Teman saya langsung ke tempat petugas untuk mengambil nota dan membereskannya di bagian administrasi.
Kami pun berangkat menuju Dungkek. Separuh perjalanan masih harus kami lakukan. Dari Guluk-Guluk ke Dungkek, Sumenep jaraknya berkisar 60 Km. Berarti, jarak yang akan kami tempuh masih sekitar 30 Km lagi. Lumayan kalau cuma untuk membuat tulang-tulang saya yang rapuh menjadi ngilu-ngilu.
Perjalanan itu akhirnya sampai juga. Jam menunjuk kira-kira pukul 15:00 WIB. Di rumah teman, saya kemudian disuguhi es campur. Sangat pas dengan dahaga yang saya rasa. Segar rasnya dua gelas es tersebut membasuh tenggorokan saya. Sambil meredakan lelah yang mendera, saya disuruh masuk ke dalam rumahnya. Di sana saya bisa istirahat sambil berbaring. (bersambung)
0 Response to "Sebuah Awal"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.