Pelabuhan Dungkek
Serial Perjalanan Tidak Penting (2)
Setelah beristirahat agak lama, pada sore harinya kami pergi ke pelabuhan Dungkek. Inilah perjumpaan pertama dengan laut dalam perjalanan kali ini. Pelabuhan itu termasuk kecil, bukan pelabuhan peti kemas. Memang, yang menggunakan jasa perahu di sana hanya sedikit dan hanya untuk mengangkut kebutuhan-kebutuhan tertentu semisal beras dan minyak. Sampan-sampan di sana menempuh jalur ke Poday, Giliyang dan Raas.
Sore itu kami berdiri di pinggir pelabuhan. Memandang ke arah timur, bola mata saya disuguhi pemandangan kepulauan Giliyang. Saya selalu terpukau dengan pemandangan seperti itu, apalagi ketika malam menjelang. Saya bisa melihat lampu-lampu yang dipantulkan seperti manik-manik gemerlapan membias dari gerimbunan hutan belantara, hutan yang dipagari langsung oleh lautan luas.
Tak saya temukan ombak di sana, tak seperti pada saat saya berkunjung beberapa tahun lalu, dimana saya yang kurus seperti akan diterbangkan deru angin yang ganas. Ombak menghempas-hempas dinding pelabuhan. Saya tidak bisa duduk di atasnya seperti pada sore sekarang karena ombak memercik sampai ke atas pelabuhan.
Sekian meter dari pelabuhan, saya melihat beberapa sampan ukuran besar ditambatkan. Sampan-sampan itu diberi tali ke pinggir pelabuhan agar tidak terbawa angin. Saya bertanya kepada teman, kenapa kok modelnya lebih besar ketimbang sampan biasa yang berada di sampingnya? Ia mengatakan bahwa sampan-sampan itulah yang digunakan orang untuk mengantarkan barang dan orang ke pulau seberang. Sementara untuk sampan-sampan yang kecil, ia hanya digunakan untuk mencari ikan. Ada juga sampan yang tidak bermesin. Untuk model yang terakhir biasanya digunakan buat memindahkan barang-barang dari darat ke sampan besar. Sebab, sampan besar tidak bisa ke pinggir pelabuhan karena terlalu dangkal.
Model-model sampan besar berbeda dengan model sampan kecil. Di bagian atasnya diberi atap meniru bentuk kapal air. Desain seperti itu barangkali untuk melindungi penumpang dari sengatan matahari maupun guyuran hujan. Tidak jelas orang-orang yang berada di dalamnya karena di bagian pinggir juga dikasi dinding kayu. Hanya tersisa beberapa lubang. Saya bertanya kepada teman, apakah sampan model begitu juga memuat sepeda motor. Tidak, kata teman saya.
Saya menyesal tidak membawa kamera. Momen-momen seperti ini selalu membangkitkan naluri fotografi saya. Saya memang tak pandai soal fotografi, namun melewatkan momen-momen seperti ini terasa eman. Saya merasa bahwa ini bukan hanya soal mencetak objek menjadi gambar, tapi ia juga berfungsi mengingatkan saya akan objek-objek yang tak tertangkap oleh mata dan ingatan saya.
Sebagai seorang yang mudah lupa, saya akan sangat terbantu dengan adanya gambar. Namun, sore itu saya tak membawa kamera, hanya kamera ponsel yang tak bisa berbuat apa-apa jika waktu sudah menginjak sore seperti itu. Akhirnya, saya diamkan saja ponsel jadul dan kampungan tersebut.
Ketika berjumpa dengan objek bagus saya ingin sekali punya kamera. Tapi, hanya sebatas keinginan saja. Saya tidak punya uang untuk membelinya, bahkan untuk (hanya) model kamera poket sekalipun. Akhirnya, objek-objek yang menarik terlewati begitu saja.
Objek menarik yang saya temui di sana adalah anak-anak yang menyelam dan melompat ke dalam air, seorang nelayan yang sedang memperbaiki mesin diesel sampannya, pulau Giliyang, sampan-sampan besar, dan seorang bocah yang sedang merokok di atas sampan. Bagi saya, itu memiliki keunikan yang tak bisa saya gambarkan dalam bentuk tulisan. Misalnya, cara menggambarkan seorang bocah yang begitu nikmat menghisap rokoknya.
Setelah merasa cukup berada di tempat itu, kami pun pulang. Di beberapa mushalla dan masjid sepanjang jalan, Adzan maghrib menggema. Anak-anak yang tadi mandi di laut pun naik dan pulang. Sampai di rumah teman, kami shalat maghrib, makan, dan shalat isya. (bersambung)
sumber foto http://mim.yahoo.com/cahaya_cinta/p/SpbvZPf/?noredir=1&.mo=0
0 Response to "Pelabuhan Dungkek"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.