-->

Merantau


Entah, tiba-tiba beberapa hari terakhir keinginan untuk merantau menjadi makin bergejolak dalam dadaku. Aku pun tak tahu apa sebenarnya motiv dari keinginan tersebut. Hal paling pokok barangkali hanyalah bahwa merantau kian membuatku banyak wawasan, paling minim adalah tahu tentang daerah-daerah nun jauh di seberang.

Tiba-tiba aku ingin cepat menyelsaikan skripsiku. Ia mungkin akan menjadi tiket bagi perjalanan panjangku ke rantau. Tapi, keinginan itu tetaplah menjadi hantu kepadaku. Sebab, semua keputusan ada di tangan orang tuaku. Merekalah penentu segalanya hidupku, juga penentu perjalanan kuliahku di jenjang S2.

Dulu, aku memang tak pernah menyatakan ingin keluar dari pondok walau keinginan itu membuncah di dalam dadaku. Selain karena mengerti keadaan ekonomi keluarga, pun kedua orang tuaku buru-buru mengatakan, “Tak usah kuliah ke luar. Cukup di pondokmu saja.” Aku tak berkutik dan diam saja karenanya.

Aku mencoba menebak-nebak alasan mereka melarangku. Faktor utama mungkin memang karena urusan finansial. Dan selanjutnya adalah karena di luar pergaulan sangatlah bebas. Dua keadaan itu cukuplah membuat nyaliku ciut untuk menyatakan keinginan kuliah di seberang.

Kejadian itu sudah empat tahun yang lalu. Kini, aku sudah melewati jenjang S1 di pondokku. Aku tak tahu apa yang selama ini telah kudapat dari menuntut ilmu selama itu. Yang kutahu hanyalah bahwa kampus sudah banyak perubahan dari semenjak aku masuk hingga akhir masa kuliah. Selain itu hanya kebosanan yang terus melandaku. Pangkal kebosasanan kukira karena jurusan perkuliahan yang tak menarik minatku. Dan juga karena aku memang phobia kelas mulai dulu.

Memasuki masa akhir di jenjang S1 membuat keinginan keluar dari pondokku mulai menggeliat lagi. Itu berangkat dari dorongan saudara-saudaraku yang memintaku melanjutkan kuliah S2. Mereka memang tidak memintaku keluar dari pondok. Namun, karena di pondokku kampus belum menyediakan pendidikan pascasarjana, itu artinya mereka juga mendorongku untuk keluar dari sana. Entah, Ibu sepertinya tetap mau membuatku bertahan di pondok. Menimpali dorongan dari saudara-saudaraku, beliau bertanya apakah di pondok tak ada kuliah S2. Kubilang tak ada. Menurut ibu, kuliahku tak boleh jauh-jauh dari rumah. Paling jauh mungkin hanya ke Surabaya.

Di lain waktu, ibu pernah menawarkan tentang pondok salaf kepadaku. Pondok salaf adalah pondok yang mayoritas pendidikannya berbasis agama. Ilmu-ilmu umum jarang diajarkan di sana. Dulu, aku memang pernah punya keinginan ke arah itu, namun kini keinginan itu mulai redup. Entah, di tengah pemahaman keagamaanku yang kerdil, keinginan mondok di salaf malah mengecil. Aku tak tahu apa alasannya. Namun yang pasti, saat ditanya ibu, aku tak menjawab apa-apa. Itulah caraku untuk mengatkan tidak pada apa yang tak kuminati.

Selain membicarakan kelanjutan pendidikanku, akhir-akhir ini ibu juga sering menanyai tentang skripsiku. Tiap kali beliau mengirimku ke pondok, selalu itu yang beliau tanya, sampai-sampai aku merasa tak enak. Padahal sudah kukatakan sejak awal, bahwa aku tak mungkin menyelsaikan wisuda tahun ini. Ibu terlambat mendorong skripsiku cepat selesai, karena beliau melakukan itu setelah sidang proposal tahap satu berlangsung. Memang masih ada waktu setelah itu, yaitu sidang proposal tahap dua. Tapi, karena karakterku yang tak bisa bekerja cepat, waktu yang singkat itu menjadi sulit untuk menampung pekerjaanku menyesaikan skripsi. Selain itu, skripsi adalah pekerjaan yang paling membuatku bosan. Ia adalah puncak kebosanan dari kebosanan-kebosanan lain yang ditimbulkan oleh makalah-makalah yang ditugaskan dosen.

Namun, ketika keinginan merantau makin memuncaki hasratku, tiba-tiba aku menyesal tidak menyelesaikan skripsi tahun ini. Mestinya, saat ini aku mulai mempersiapkan pengembaraan jika saja skripsi itu sudah usai. Oh, iya, selain skripsi, masalahku juga karena ada nilai yang belum diperbaiki. Dua mata kuliah harus ikut perbaikan. Sebenarnya, kalau memang serius mau wisuda sekarang, dua mata kuliah yang bermasalah itu bisa kuselesaikan saat ini juga. Tapi, karena aku pemalas, akhirnya ia tak kuselesaikan juga.

Soal keinginan merantau ini mungkin kudapat dari buku-buku yang sangat sedikit kubaca. Ada banyak buku-buku yang menjelasakan itu, dan ia tergolong buku bagus. Sekedar contoh, buku petualangan soal pendidikan adalah kerangan Andrea Hirata. Sebuah petualangan yang pada awalnya adalah mimpi. Bagiku mungkin terlalu berlebihan bila mau menghadirkan mimpi sejauh yang dijangkau Andrea. Mimpi itu butuh keberanian. Karakter dan juga pikiranku belum mampu menggapai ke arah sana. Aku memang seorang yang sangat penuh pertimbangan. Itu membuatku lamban dalam mengambil sikap. Padahal, mimpi Adrea butuh keputusan yang cepat dan pikiran yang cerdas. Setidaknya, itu yang bisa kupelajari dari pengembaraannya dari benua ke benua.

Buku lain yang masih berbicara tentang pengembaraan demi pendidikan adalah karya Habiburahma El-Shirazy. Buku “Ketika Cinta Bertasbih” yang kubaca mengisahkan tentang Azzam, tokoh utama, yang menjadi penjual bakso selain juga sebagai mahasiswa. Pilihan mengembangkan bisnis seperti itu adalah salah satu cara bagaimana menangkap peluang di negeri orang. Tak pelak, ia butuh keberanian untuk itu. Selain mengorbankan separuh waktu untuk kuliah, ia juga harus merelakan kuliahnya nunggak.

Selain dua buku-buku di atas, aku juga masih membaca satu buku karangan A. Fuadi. Buku tersebut juga tak lepas dari tema-tema di atas. Bahkan, buku itu juga banyak dibajak orang untuk menandai bahwa ia sukses di pasaran. Dari awal A. Fuadi sudah menerakan melalui sebuah kata-kata mutiara seorang ulama, bahwa inti dari novel tersebut adalah tentang pengembaraan demi pendidikan.Ia memberi judul buku tersebut “Negeri Lima Menara”. Aku belum membaca tuntas.

Dari sejumlah novel tersebut, kulihat ada banyak pernak-pernik kehidupan yang dilalui tokoh utama. Persoalan-persoalan yang timbul membuat kisah-kisah mereka menjadi menarik dan memunculkan keinginan, setidaknya dariku yang membacanya.
Ahad, 03 Juli 2011
Sumber foto: http://nurmionegranger.blogspot.com/2011/06/i-love-doing-these-part-i.html

2 Responses to "Merantau"

  1. Anda bisa menulis dengan runtut. Ini satu potensi positif yang mungkin tidak Anda sadari. Terus latih keterampilan ini dengan banyak menulis tentang apa saja yang diminati dan apa saja yang menarik di sekitar kita. Nggak usah jauh2 dulu merantau. Pengalaman yang terjadi di sekitar kita akan menjadi cerita menarik bila dikemas dengan apik.

    Merantau? Bukankah hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madina termasuk juga merantau. Merantau tentu tujuan hijrah untuk mecari penghidupan yang lebih baik. Kalau memang masih bersikukuh ingin merantau, persiapankan dari sekarang. Mungkin dalam bentuk menimba ilmu di jenjang pascasarjana di kota lain. Di situ baru mulai belajar memahami kehidupan di luar kehidupan yang sekarang.
    Semoga skripsi dan kuliah segera kelar.

    :) Salam,

    Mochammad
    http://mochammad4s.wordpress.com
    http://piguranyapakuban.deviantart.com

    ReplyDelete
  2. Terima kasih banyak, Mas Mochammad atas sharing dan doanya. Senang sekali berkawan dengan Anda. Saya akan coba terus menulis, Mas.
    Salam,

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel