-->

Di Tepi Pantai Padike Saya Tulis Surat Ini


Mi, apa kabarmu? Apa yang bisa saya perbuat selain bersabar untuk sebuah rindu yang membuncah? Jarak yang jauh telah kian dalam meninggalkan rasa kangen.

Ketika catatan ini saya tulis, jam menunjuk angka 09:01 WIB. Matahari bersinar cerah. Saya sedang duduk di sebuah bangunan tempat istirahat yang berdiri di dekat kuburan Buju’ Ponjuk Bere’, Padike, Talango, Sumenep. Bangunan tersebut tak berdinding, lantainya keramik dengan empat penyangga atap pada masing-masing sudutnya. Di samping saya duduk beberapa teman yang sedang asyik ngobrol. Sementara saya hanya menekuri buku kecil dan pena, menulis catatan ini. Sesekali saya menimpali obrolan mereka.

Sungguh ini pagi yang cukup indah, Mi. Memandang ke arah barat, mata saya dipertemukan dengan daratan Tanjung yang menjorok dari utara ke arah selatan. Terlihat jelas genting-genting rumah penduduk karena terkena sinar matahari. Sebelumnya, saya menyangka itu adalah kepulauan Giliraja, seperti yang dituturkan penduduk setempat. Tapi, kata teman saya, bukan. Itu adalah daratan Tanjung dan kepulauan Giliraja berada di sebaliknya. Saya baru yakin kebenaran ucapan teman karena saya melihat daratan itu memang bersambung dengan daratan kabupaten Sumenep. Dan di sebelah baratnya ada sebuah pulau, itulah Giliraja, katanya.

Saya memandang terus ke arah barat laut. Ada awan menggantung di angkasa. Hujankan di tempatmu? Bila benar, berarti berkebalikan dengan di sini, cerah sekali. Untunglah ada tempat berteduh yang nyaman, serta angin yang tak henti-henti dikirim dari laut. Meski terik memanggang tiada terasa panasnya. Keringat tak bercucuran.

Mi, saya melihat ombak berebut menciumi pantai. Karang-karang makin siang kian tenggelam oleh air. Pada pagi tadi, air berada jauh di arah selatan sehingga karang-karang itu terlihat. Beberapa teman pergi ke tengah laut untuk mencari ikan dan hewan-hewan lainnya. Saya tak berhasrat untuk ikut andil karena saya agak kurang suka dengan air laut yang bergaram. Dari cerita teman-teman, katanya mereka mendapat banyak aneka macam binatang laut. Saya melihat sebuah ikan cukup bagus seperti yang dijual orang sebagai ikan hias. Warnanya hitam. Sayangnya tak ada yang tahu apa nama ikan tersebut. Teman-teman juga bilang, ada banyak ikan yang lebih bagus dari itu, salah satunya ikan hias yang berwarna merah campur oranye. Namun, untuk mendapatkannya, beberapa teman harus rela kakinya kena gores batu karang.

Mi, di tengah laut saya melihat perahu bergerak ke arah utara. Layar berwarna biru mengembang, membawa sang nelayan dan perahunya entah ke mana. Mereka sepertinya mau menangkap ikan. Di sini, selain membudidayakan rumput laut, pekerjaan utama masyarakatnya adalah mencari ikan. Tak jelas apa yang dikerjakannya karena terlalu jauh jarak saya memandang. Tak lama berselang, dari arah selatan kembali sebuah perahu menderu-deru menuju arah barat.

Di arah barat, saya melihat ancak mengambang dengan bendera berkibar-kibar di atasnya. Ancak adalah tempat budidaya rumput laut. Ia terbuat dari bambu dengan membentuk segi empat. Pada masing-masing ujungnya dikasi tali sebagai perakit. Bendera berfungsi untuk menandai agar benda tersebut bisa dikenali oleh para nelayan yang sedang melaut. Khawatir kena takbrak sehingga rumput lautnya menjadi rusak.

Mi, menuliskan ini mungkin memang tak akan menghilangkan kerinduan saya kepadamu. Memang bukan itu tujuan saya. Saya hanya ingin bagaimana momen ini bisa terekam meski hanya lewat tulisan.
Ketika saya menulis, beberapa teman yang lain sedang istirahat. Dan sebagian sedang berlatih teater dan bermain musik. Di antara suara sumbang mereka, saya mendengar kicau burung di dahan-dahan pohon asam. Pohon tersebut menaungi makam Buju’ Ponjuk Bere’. Kuburan itu berada tepat di sebelah utara tempat saya duduk.

Ketika menikmati kicau burung tersebut, tiba-tiba sebuah perahu kembali meraung-raung dari selatan ke arah barat. Dinding perahu diberi cat berwarna biru. Bagian atasnya dikasi atap terpal. Perahu tersebut berputar ke arah utara.

Mi, saya sangat senang berada di sini. Tapi, lebih senang bila kamu bersama saya. Pantai ini sungguh indah meski letak keindahannya bukan pada pasir-pasir kekuningan dan deretan cemara semisal di pantai Lombang. Justru kontur tanahnya yang sungguh memukau. Pantai ini adalah sebuah daratan yang menjorok ke laut, dari arah timur ke barat. Saat ini saya berada persis di pinggir sebelah barat, sehingga saya bisa melihat laut sebelah selatan, barat, dan utara. Ini eksotisme yang ditawarkannya. Bila dibandingkan dengan dengan pantai-pantai lain di Madura, pantai ini tidak akan kalah saing. Jika pasirnya sebanyak di pantai Lombang, saya yakin orang akan lebih tertarik berkunjung ke sini.

Pantai ini memang sedikit pengunjung karena aksesnya masih sulit. Ia berada persis di ujung Desa Padike sebelah selatan. Yang terlihat ketika saya dan teman-teman baru sampai hanya beberapa anak muda yang bermain sepak bola. Kebetulan, sekian meter dari saya berdiam saat ini, terlihat sebuah lapangan sepak bola agak lebar, meski tak bisa disamakan dengan lapangan sepak bola resmi.

Dari tempat saya duduk, bola mata saya juga disuguhkan pemandangan kepulauan Giligenting. Pulau itu berada di sebelah barat daya. Bila malam menjelang, saya melihat lampu-lampu memantul dari sana. Seperti biasa, saya sangat takjub dengan pemandangan tersebut. Dan saya selalu mengulang-ulang ketakjuban itu kepada teman-teman. Saya yang orang gunung memang suka sekali dengan laut, apalagi dengan kepulauan yang dikepung laut semisal pulau Giligenting.

Di dekat Giligenting, sejumlah perahu ukuran besar terlihat samar. Saya belum sempat bertanya memuat apa saja perahu itu. Samakah dengan perahu besar di perairan Kalianget, Sumenep, yang biasa membawa sepeda motor? Atau itu hanya untuk menangkap ikan?

Mi, apa kabarmu? Kerinduan ini belum juga rapuh. Dan mungkin tak akan pernah. Tapi, saya akan mengakhiri tulisan ini. Sebentar lagi saya dan teman-teman akan berangkat ke Masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Bila masih ada waktu, kita akan berjumpa, entah di mana. Mungkin dalam sebuah pernikahan yang kita idam-idamkan. Semoga. :-)

Pantai Padike, Talango, Sumenep, 25 November 2011

8 Responses to "Di Tepi Pantai Padike Saya Tulis Surat Ini"

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel