-->

[sambungan] Cerita dari Gubuk Lancaran #4

Perbincangan kami terus mengalir seperti tak ada yang dapat menghentikan. Tak terasa qiroah di masjid jamik sudah lama berkumandang. Kawan-kawan yang lain sudah bubar. Tanpa sadar kami telah melampaui waktu. Aku merasa was-was karena biasanya pada jam-jam seperti ini pengurus akan mengontrol. Ini adalah pilihan dilematis. Jika kami pulang ke pondok dalam keadaan terlambat, pastilah sejadah pengurus akan menghantam tubuh kami atau bahkan kami dipanggil ke kantor pesantren. Namun, jika tetap berada di sini pasti kena razia.
Dalam keadaan khawatir, dari bawah bukit aku melihat dua orang yang berjalan ke arah kami. Aku beritahu pada teman. Ia kaget dan buru-buru menyarungkan radionya ke dalam kotak karton tadi. Makin dekat makin jelas bahwa mereka memang betul pengurus. Dalam posisi jauh kami hanya mengenali mereka dari cara berjalannya. Secepat kilat kawan itu menarik tanganku, berlari ke arah selatan. Aku pontang-panting, tunggang-langgang. Temanku terseok-seok sambil menenteng dengan erat benda kesayangannya. Untunglah pada saat kami kabur dua pengurus itu tidak melihat karena ketutupan gundukan batu. Kami terus berlari takut mereka masih mengejar.
Aku memasuki tempat-tempat yang asing, aneh dan ganjil. Semak-semak menyesaki kawasan itu. Pada sore hari tak ada orang yang berani lewat di tempat tersebut. Kami berhenti sambil mengamati apakah sudah aman dari kejaran pengurus ataukah masih belum. Kawanku kelihatan dirasuki dua ketakutan; karena dikejar pengurus dan karena suasana asing yang mendera. Napas menendang-nendang lubang hidung kami.
Kami terus mendesak masuk. Jalan-jalan setapak dipenuhi semak-semak. Musim penghujan telah membangunkan mereka dari peraduan dalam tanah. Kaki-kaki kami berlepotan lumpur. Sarung-sarung terpercik. Setelah berjalan agak panjang ke arah timur lalu berbelok ke utara aku menemukan ada titik terang. Ya, aku melihat jalan beraspal memanjang dari arah timur ke barat. Aku tahu, itu adalah jalan akses ke pondokku. Kami girang karena bisa keluar dari semak-semak dan tidak lagi khawatir tersesat. Waktu itu aku berpikir ternyata ada banyak kawasan yang tak kuketahui meski itu sangat dekat. Petualangan ini adalah salah satu buktinya.
Setelah mengetahui jalan beraspal itu tujuan kami selanjutnya adalah sumber Daleman. Sebenarnya kami agak takut pergi ke sana pada malam hari. Pohon beringin besar dan semak-semak rimbun seperti menjadi tempat asyik masyuk para dedemit dan setan. Aku takut mereka marasa terganggu atas kedatanganku lalu mengamuk tanpa ampun. Selain itu, di sebelah timur sumber itu ada pemakaman. Benar-benar ngeri. Tapi kami tak punya pilihan lain kecuali tempat itu. Maka di sanalah kami akan menghabiskan malam sampai jam belajar usai.
Kami memasuki sumber Daleman. Suara orang mandi masih terdengar riuh. Ternyata banyak santri mandi di sana. Tentu saja mereka juga segerombolan santri kurang ajar seperti kami. Mereka rela menukar jamaah shalat maghrib dan isya dengan cebar-cebur di sumber itu. Kulihat dalam remang-remang ternyata mereka juga ada yang berasal dari pondokku.
Melihat keadaan sumber yang riuh lunas sudah kekhawatiran kami. Tak ada yang perlu ditakutkan. Oh, sebenarnya masih ada, yaitu kemungkinan kami dipanggil ke kantor nanti setelah pulang ke pondok.
*****
Itulah salah satu kisahku dari Gubuk Lancaran. Masih banyak kisah-kisah lain dan sebagian akan kutulis pada kesempatan lainnya. Aku berharap para pembaca tak banyak mengharapkan seseuatu yang berarti dari kisah-kisahku ini. Akusering katakan bahwa kisahku tidak heroik dan juga tidak unik. Itu saja!

guluk-guluk, 4-5 maret 2010

0 Response to "[sambungan] Cerita dari Gubuk Lancaran #4"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel