Papan Penunjuk Arah yang Kudambakan
Apa yang bisa dicatat dari kolong mobil yang melaju cepat? Seperti teori puisi, ia adalah sepotong sajak haiku. Sitor Situmorang pernah menulis, “Malam lebaran/Bulan di atas kuburan.” Para kritikus banyak berteori dengannya. Diskusi-diskusi digelar, tulisan-tulisan bermunculan di media massa, hanya untuk mengungkap adakah nilai dari sepotong puisi tersebut. Puisi itu lalu menjadi gagah di tangan para kritikus.
Haiku adalah salah satu jenis puisi yang sarat makna dan sedikit kata-kata. Minimnya kata-kata inilah sebenarnya yang membuat ia memanggul beban makna cukup berat yang coba diselusupkan oleh para pembacanya. Konskuensi bagi penulis jalur puisi ini bila tak diteliti akan jatuh pada kekantangan. Dengan beban berat yang dipikulnya ia akan terhuyung sebelum sempat menghadirkan sesuatu yang berarti kepada pembaca.
Begitulah yang kualami dalam perjalanan menuju Pantai Lombang pagi itu, Jum’at 19 Februari 2009. Dari kaca mobil yang melaju agak kencang nyaris tak ada yang bisa dicatat oleh inderaku. Kekaguman yang gunung-gemunung pada apa yang kulihat di luar mobil hanya berhenti pada rasa penasaran. Untunglah ada imajinasi yang bisa membawanya lebih jauh dari sekedar seliweran-seliweran peristiwa. Aku bersyukur masih bisa menggunakan salah satu konten di tubuhku ini. Ia adalah barang berharga yang tidak bisa diberi label harga dengan sejumlah uang. Sejauh yang kuketahui, belum ada rumah sakit yang mencoba menyediakan cangkok imajinasi. Oleh karenanya, jagalah ia dengan menggunakannya sesering mungkin. Imajinasi yang tidak sering digunakan akan mengalami sakit.
****
Dalam perjalanan itu, mula-mula aku terbetik untuk berimajinasi tentang nama jalan. Di kanan-kiri jalan ada ratusan bahkan jutaan penunjuk arah. Yang ditunjuk bisa saja adalah lembaga pendidikan, kantor pemerintah, kios pasar, ruko, bengkel, rumah makan, sampai toilet dan mushalla. Petunjuk arah itu semata-mata untuk membimbing orang untuk tidak tersesat dalam perjalanan.
Tapi, niat baik itu menjadi sia-sia bila akhirnya terbukti orang masih tersesat. Penyebabnya bisa sangat sepele sekali, misalnya format tulisan yang tidak efektif. Yang sering kita lihat di dalam plang penunjuk arah itu nama lembaga atau yang lainnya lebih besar dari alamat lembaga itu berada. Biasanya, nama berada di tengah-tengah dengan gaya mencolok kemudian di bawahnya tulisan alamat dengan tubuh kecil-kecil yang nyaris tak bisa dilihat. Inilah awal persoalan bermula.
Kebetulan dalam perjalanan itu aku juga mencari sebuah nama desa. Jika aku mendapatinya aku akan bertemu seseorang yang selalu membuatku penasaran. Ah, entahlah! Aku tak ingin panjang lebar tentang ini. Ini rahasia perusahaan.
Dari dalam mobil aku melongok-longok, memastikan sebuah nama jalan akan kulihat pada papan penunjuk arah. Saat memasuki wilayah yang menjadi incaran, aku memasang mataku dengan frekuensi awas. Kutatap lekat-lekat sisi kiri jalan karena posisiku berada di jok kiri bagian belakang. Mataku hanya sedikit berjarak dengan kaca mobil. Jarak itu berfungsi mengantisipasi bila ban mobil menyeggol sesuatu yang bisa membuat tubuh mobil sedikit oleng dan membenturkan kaca itu ke mukaku.
Teman-temanku sepertinya asyik dengan lamunannya masing-masing. Terkadang kedengaran mereka berbicara dan selebihnya adalah mengantuk. Memang terlalu pagi untuk beranjak dari tempat tidur. Apalagi malamnya masih kami gunakan untuk membuat laporan akhir tahun yang masih belum rampung. Sepertinya, tidak terlalu istimewa perjalanan pagi itu.
Aku yang duduk sendirian di belakang masih setia memandangi tiap papan nama, barangkali ada sebuah nama yang menuntunku menemukan alamat yang kucari. Kawasan yang menjadi jujukanku sudah mulai ada titik terang. Kota kecamatan kini terlihat jelas, Batang-Batang. Setidaknya dari sekian papan nama yang terpampang aku belum rabun untuk membacanya. Tapi, Batang-Batang bukanlah kecamatan yang sempit. Ia mewakili sekian desa yang terbentang jauh yang sebagian berdekatan dengan pantai.
Mobil berjalan seperti semula, bahkan terasa makin kencang karena kondisi jalan desa yang lengang dan masih pagi. Jadi, mobil itu leluasa untuk melaju sekehendak sopirnya. Aku tetap mengawasi, kini tak lagi di bagian kiri, tapi juga kanan. Namun belum ada tanda-tanda nama sebuah desa kutemui. Rasa putus asa mulai menguasai meski harapan tentu saja masih besar. Jelas aku tidak akan meminta sopir untuk berhenti karenanya. Sebab, bukan desa itu tujuan kami.
Makin jauh mobil bergerak makin besar rasa putus asaku. Rentang jarak dan waktu dengan rasa putus asa seperti saling berlawanan arah. Sekian batas desa sudah dilalui, tapi belum juga ada tanda-tanda akan ketemu. Di kanan-kiri jalan plang-plang nama tak banyak memberi manfaat. Selain karena mobil berjalan cepat, plang yang dipasang sangat sedikit jumlahnya.
Aku mulai kecewa ketika pandangan mataku terantuk sebuah gerbang jalan raya dengan dua pintu masuk menghadap ke arah selatan. Aku tahu pencarianku kali ini gagal. Tak bisa banyak berharap karena aku tak akan melewati tempat itu lagi setelah pulang nanti. Aku dan rombongan akan melintasi jalan ke arah selatan di depan gerbong ini.
Kini, mobil memasuki kawasan pantai yang indah dengan julur-julur pohon cemara udangnya. Pantai Lombang memiliki eksotisme yang tak kalah dengan pantai-pantai lainnya (mengenai pantai ini aku pernah menulis pada blogku terdahulu). Di depan plang warna dominan hitam berbentuk kepala seekor ikan dan beruliskan “Wisata Pantai Lombang” kami berhenti. Kami menyebar untuk menikmati setiap inci dari keindahan pantai di kabupaten paling timur pulau Madura ini.
Di pantai kami menghabiskan waktu untuk berfoto-foto. Kami tak mandi karena memang tidak ada niat dari awal. Busana kami yang sebagian besar adalah busana pondokan jelas tidak baik bila dijadikan baju renang. Lucu dan aneh mungkin jadinya!
*****
Kegagalan itu membuat satu kesimpulan baru dalam otakku. Sebagaimana kutulis di atas, plang-plang yang berada di kanan-kiri jalan kebanyakan tidak berfungsi karena format penulisan yang salah. Mestinya alamat sebuah daerah dibikin lebih besar ketimbang nama lembaga atau lainnya. Kita akan merasa kerepotan mencari sebuah tempat bila hanya berpatokan pada sebuah nama. Misalkan kita mencari lembaga bernama “Attaqwa”di desa anu. Bisa dibayangkan betapa banyak nama “Attaqwa” dipakai oleh sekian lembaga.
Ini memang terlihat sederhana, namun terbukti membuatku kecewa. Karena kesalahan itu lalu membuat pencarianku gagal. Bila mereka menulis alamat dengan format huruf yang besar, tentu aku yakin kejadiannya tak akan seperti ini. Pastilah harapan pembuat plang untuk membantu orang tidak akan sia-sia.
Guluk-guluk, 02 maret 2010
0 Response to "Papan Penunjuk Arah yang Kudambakan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.