Di "Somber Gajam", Aku Pernah Tenggelam
“Kamu hampir saja kehilangan nyawa. Untung ada tetangga yang segera mengetahui saat tubuhmu sudah mengambang di atas empang.”
Kira-kira begitulah kalimat Ibu ketika menceritakan kejadian bertahun-tahun silam, saat saya masih baru belajar berjalan. Ibu sedang sibuk di dapur ketika itu dan saya segera menghilang dari pengawasannya. Seperti bocah pada umumnya, saya pun tentu saja tak tahu resiko apa pun dari perbuatan saya.
Orang-orang di kampung saya menyebutnya Somber Gajam. Somber (Bhs. Madura) artinya sumber. Namun, bahasa Indonesia punya nama lain yang lebih pas, yaitu empang. Empang ini berada tepat di sebelah barat laut rumah saya, hanya berjarak beberapa langkah dari dapur.
Sebagaimana empang pada umumnya, tentu ukurannya cukup kecil. Sebab, kalau besar biasanya disebut danau. Namun, ukuran itu menjadi besar bagi saya yang masih mungil kala itu. Dan, hal itu pula yang menyebabkan saya kecelakaan.
Saya berangkat ke sana sendirian setelah lepas dari pengawasan Ibu. Di empang tersebut tak ada orang sama sekali karena hari sudah tidak lagi pagi. Biasanya orang-orang berkerumun di sana untuk mandi dan mencuci pada pagi-pagi betul. Selepas itu mereka akan pergi ke sawah untuk mengurus tanaman atau mencari pakan ternak. Empang itu pun menjadi sepi.
Saat itulah petaka tersebut dimulai. Saya yang hanya sendirian dan tak bisa berenang akhirnya tenggelam ke tengah empang. Saya tak tahu berapa lama saya tenggelam (Kalau tahu pastilah saya termasuk dari golongan makhluk ajaib). Untunglah segera datang tetangga yang langsung menyelamatkan saya.
Kata Ibu, saya sudah tak sadarkan diri ketika itu. Kulit saya membiru. Dan banyak sekali air yang masuk ke dalam hidung dan mulut. Hal itu diketahui setelah adegan ajaib yang diperagakan oleh paman saya, yaitu menggotong tubuh saya dengan cara sungsang. Air tersebut mengucur perlahan dari dua lubang itu.
Menurut analisis tetangga yang menyelamatkan saya pertama kali, saya tenggelam karena mengejar buku dan pena yang tenggelam lebih awal. Sebelumnya, kata Ibu, saya memang pamit untuk bersekolah. Dan Ibu tidak menanggapi karena tentu saja saya masih belum bersekolah saat itu.
Empang tersebut sudah tak terpakai saat ini. Batu-batu sebagai dinding yang tersusun di pinggirnya banyak yang ambruk dan rumput-rumput bertumbuhan di mana-mana. Sejak orang-orang mengebor air di hulunya, empang ini tak lagi mendapatkan pasokan air. Dulu, pada musim kemarau pun empang ini masih kaya akan air. Namun, sekarang, pada musim hujan saja air tak kunjung datang. Akhirnya, empang tersebut tutup usia. #RIP
Di sebelah utara Somber Gajam ada sumber air yang biasanya kami sebut sebagai waduk. Ukurannya cukup kecil, tapi air mengalir dengan jernih. Waduk tersebut biasanya hanya dijadikan tempat mengambil air minum sekaligus mengalirkan air ke empang tadi.
Konon, waduk tersebut pernah disinggahi oleh Potre Koneng, salah satu keluarga kerajaan Sumenep. Si Putri pernah minum air di sana, katanya. Namun, saya belum punya data yang meyakinkan tentang hal itu, selain hanya desas-desus belaka. Kalaupun itu benar, bentuk waduk tersebut sekarang sudah tak keruan.
Konon pula, airnya dapat menyembuhkan penyakit mata. Entahlah, saya bukan dukun.
Kira-kira begitulah kalimat Ibu ketika menceritakan kejadian bertahun-tahun silam, saat saya masih baru belajar berjalan. Ibu sedang sibuk di dapur ketika itu dan saya segera menghilang dari pengawasannya. Seperti bocah pada umumnya, saya pun tentu saja tak tahu resiko apa pun dari perbuatan saya.
somber gajam |
Saya berangkat ke sana sendirian setelah lepas dari pengawasan Ibu. Di empang tersebut tak ada orang sama sekali karena hari sudah tidak lagi pagi. Biasanya orang-orang berkerumun di sana untuk mandi dan mencuci pada pagi-pagi betul. Selepas itu mereka akan pergi ke sawah untuk mengurus tanaman atau mencari pakan ternak. Empang itu pun menjadi sepi.
Saat itulah petaka tersebut dimulai. Saya yang hanya sendirian dan tak bisa berenang akhirnya tenggelam ke tengah empang. Saya tak tahu berapa lama saya tenggelam (Kalau tahu pastilah saya termasuk dari golongan makhluk ajaib). Untunglah segera datang tetangga yang langsung menyelamatkan saya.
Kata Ibu, saya sudah tak sadarkan diri ketika itu. Kulit saya membiru. Dan banyak sekali air yang masuk ke dalam hidung dan mulut. Hal itu diketahui setelah adegan ajaib yang diperagakan oleh paman saya, yaitu menggotong tubuh saya dengan cara sungsang. Air tersebut mengucur perlahan dari dua lubang itu.
Menurut analisis tetangga yang menyelamatkan saya pertama kali, saya tenggelam karena mengejar buku dan pena yang tenggelam lebih awal. Sebelumnya, kata Ibu, saya memang pamit untuk bersekolah. Dan Ibu tidak menanggapi karena tentu saja saya masih belum bersekolah saat itu.
Empang tersebut sudah tak terpakai saat ini. Batu-batu sebagai dinding yang tersusun di pinggirnya banyak yang ambruk dan rumput-rumput bertumbuhan di mana-mana. Sejak orang-orang mengebor air di hulunya, empang ini tak lagi mendapatkan pasokan air. Dulu, pada musim kemarau pun empang ini masih kaya akan air. Namun, sekarang, pada musim hujan saja air tak kunjung datang. Akhirnya, empang tersebut tutup usia. #RIP
Di sebelah utara Somber Gajam ada sumber air yang biasanya kami sebut sebagai waduk. Ukurannya cukup kecil, tapi air mengalir dengan jernih. Waduk tersebut biasanya hanya dijadikan tempat mengambil air minum sekaligus mengalirkan air ke empang tadi.
Konon, waduk tersebut pernah disinggahi oleh Potre Koneng, salah satu keluarga kerajaan Sumenep. Si Putri pernah minum air di sana, katanya. Namun, saya belum punya data yang meyakinkan tentang hal itu, selain hanya desas-desus belaka. Kalaupun itu benar, bentuk waduk tersebut sekarang sudah tak keruan.
Konon pula, airnya dapat menyembuhkan penyakit mata. Entahlah, saya bukan dukun.
0 Response to "Di "Somber Gajam", Aku Pernah Tenggelam"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.