-->

Perjalanan Panjang Saya Bersama Sanggar Basmalah (1)

Awalnya Sanggar Pelangi
Waktu itu tahun 2003, sekira pertengahan bulan Maret. Saya dan empat teman saya, Ach. Faisol, Imam S. Arizal, dan Khairul Umam bincang-bincang kecil tentang seni secara umum. Obrolan yang tak dinyana itu lalu menjadi serius ketika salah satu dari kami mengusulkan suatu ide. Katanya, “bagaimana kalau kita membuat sebuah sanggar seni?” Kami tiba-tiba terseret semacam magnet. “Ide bagus itu!” kata seorang lagi. Dan begitupun berlanjut hingga yang lainnya setuju semua. Mereka akan membentuk sebuah komunitas seni. Belum ada kesepakatan waktu itu tentang apa orientasi dari sanggar ini, apakah ke dunia tulis menulis atau lebih ke teater.
Senyatanya, kelahiran ide itu lebih karena “iri”, namun kami selipkan alasan-alasan idealis yang berusaha menutupi perasaan itu. Iri karena satu-satunya komunitas seni di PP. Annuqayah Lubangsa Selatan yang lebih dulu didirakn prestasinya sudah bisa diperhitungkan dan mulai pentas (sendiri dan kolaborasi) ke mana-mana. Kami mencoba menguji diri kami sendiri, apakah kami bisa seperti mereka atau tidak? Sanggar inilah bukti eksistensi kami.
Saat itu kami bersepakat mengatur jadwal pertemuan yang pas untuk membahas lebih lanjut. Kami tak ingin ide itu hanya berhenti di bibir. Ia harus berwujud nyata agar bisa dinikmati manfaatnya. Maka, disepakati malam pertemuan itu, tapi saya lupa malam apa dan tanggal berapa tepatnya. Kami memang tidak pernah mencatat hari dan tanggal kapan kami bermusyawarah, bahkan munculnya ide pembentukan sanggar ini tidak sempat kami catat. Mungkin karena tak kami anggap penting waktu itu. Toh ide ini lahir dari suasana yang santai, belum pernah direncanakan, tak istimewa untuk dicatat. Baru pada beberapa bulan selanjutnya, karena ada sesuatu mendesak dan mengharuskan tanggal kelahiran ada, maka kami mulai mencatatnya. Untunglah ada beberapa dari yang empat teman kami ingatannya cukup kuat. Jadi, masih ada yang tahu kapan sanggar ini berdiri.
Malam yang ditentukan itu kami berkumpul, tapi tak lagi berempat. Pesertanya bertambah setelah seorang kawan mengajak teman-teman sekamarnya ikut andil membesarkan sanggar ini dengan cara membengkakkan personel. Mulailah salah seorang kawan angkat bicara. Dia mengutarakan banyak hal mulai dari munculnya ide mengumpulkan teman-teman sampai harapannya ke depan. Malam itu juga menentukan apa nama yang pas untuk komunitas ini. Satu-satu kami mengusulkan, ada beberapa nama yang masih saya ingat; Kodhemel, Malate Sato'or, Manyang, Pelangi, dll. Dari nama-nama yang kami sebutkan itu akhirnya kami sepakat pada satyu nama, yaitu Pelangi. Manyang yang saya ajukan juga tidak masuk! Hehe... Mengapa Pelangi? Alasan teman yang mengajukan, karena pelangi itu memiliki beragam warna dan indah dipandang mata. Itu alasan sederhana yang ternyata diterima oleh kami yang memang masih buta tentang sastra dan seni secara umum.
Malam itu juga kami menetukan siapa yang berhak menjadi ketua komunitas ini. Imam S. Arizal yang kami pasrahi, karena kami anggap dia yang paling mampu mengemban tugas ini. Reputasinya memimpin beberapa organisasi, termasuk OSIS di sekolahnya, membuktikan bahwa ia bisa diserahkan tugas ini.
Demikianlah, malam itu bincang-bincang kecil itu berjalan lancar dengan sekian keputusan yang kelak kami laksanakan. Malam berikutnya kami mulai menjalani rutinitas. Dalam ruitnitas itu kegiatan-kegiatan yang kami lakukan sangatlah sederhana. Misalnya, salah satu diantara kami diminta untuk membaca puisi. Masing-masing kami menyimak dengan seksama. Bila sudah selesai gantian kami coba memberi komentar terhadap penampilan teman itu. Kapasitas masing-masing kami memang terbatas, masih sama-sama balita dalam hal seni dan sastra. Maka, kometar-komentar yang kami sampaikan cukup sederhana dan boleh dibilang sangat minim sekali. Waktu itu memang tidak ada “Funding Father” yang diperisapkan membimbing kami lebih mendalam. Kami bergerak dengan sendirinya berbekal kapasitas intelektual yang pas-pasan.
Ada satu kebiasaan yang sangat menarik dan agak lucu dalam tradisi sanggar Pelangi. Pada malam terakhir menjelang liburan pondok pesantren kami berbondong-bondong ke bukit lancaran, berkumpul melepas kepergian masing-masing karena untuk beberapa hari selanjutnya kami tidak lagi berkumpu. Jadi, malam sebelum liburan itulah momen yang pas untuk bertemu terakhir kali sebelum nanti berkumpul kembali setelah liburan. Yang menarik dalam acara itu adalah kegiatan yang diisi dengan makan-makan. Kami sumbangan membeli nasi bungkus di kantin dengan harga yang murah. Lalu setelah kami selesai membaca puisi dan diskusi kami mulai makan-makan.
Saya tidak tahu, apa ada kaitan antara makan dengan sanggar seni. Tetapi, dikemudian hari saya merasa ada efek positif yang kami dapatkan, yaitu unsur kebersamaan. Makan bersama adalah pekerjaan sederhana yang bila dilihat sepintas tak ada apa-apanya. Bahkan terkesan jelek bila disangkut pautkan dengan dunia sanggar seni. Bisa jadi kita membuat komentar seperti ini, ke sanggar kok cuma buat makan! Tapi setelah saya pikir panjang dengan rasa geli yang saya tahan, ternyata tradisi itu sangat berpengaruh terhadap kebersamaan. Kita tahu, bahwa kebersamaan dalam suatu komunitas itu harga mati, tak bisa ditawar-tawar lagi. Kebersamaan itu misalnya mereka wujudkan dengan membagi sebagian minuman kepada mereka yang tidak kebagian. Atau juga cara mereka mengorganisir teman-teman untuk mewujudkan acara itu. Ini sekelumit contoh dari kebersamaan yang ditimbulkan dari tradisi unik sanggar kami.

0 Response to "Perjalanan Panjang Saya Bersama Sanggar Basmalah (1)"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel