Rencana Kecil
Masih ingat dengan tulisanku yang mengulas keinginan mengadopsi praktek Dewi Lestari dalam menulis? Tentu kalian tidak mengingatnya, karena aku memang belum pernah memberikan tulisan itu pada siapapun. Jika kalian mengatakan “iya” pastilah kalian berbohong. Tidak mungkin ada paparazi atau plagiat tulisanku, apalagi sampai mengotak-atik file-fileku di komputer. Wah, itu terlalu berlebihan.
Aku simpan baik-baik tulisan itu hanya untuk konsumsi pribadi. Minimal tiap aku jenuh dengan hidupku sendiri selalu ada yang bisa memberiku keceriaan lain dalam dunia yang lain pula. Sudah tahukah kalian bahwa aku sering diserang senewen? Yah, kalian tidak perlu tahu itu. Itu anugerah yang diberikan kepadaku, kecuali kalian mau mengadopsi kebiasaan buruk tersebut. Dengan senang hati aku akan memberikannya secara cuma-cuma.
Tiap kali aku dilanda senewen kalau tidak tidur biasanya aku pergi ke depan komputer, mengotak-atik sesuatu. Bila kutertarik membuka file tulisan lamaku, aku biasanya menghidupkan Media Player terlebih dahulu, meng-add beberapa lagu ke dalam daftar playlist. Diantara lagu-lagu yang paling kusuka adalah instrumen musiknya Kenny G. Nada-nadanya yang slow membuat imajinasiku bangkit, menarik masa lalu yang mulai terlelap. Perlahan-lahan jalaran imajinasi itu memberikan stimulasi untuk gairah menulisku. Aku mulai membaca tulisanku sambil ditemani musik itu.
Baiklah, aku kembali ke awal tulisan ini. Aku pernah menulis keinginan untuk mengadopsi cara memasarkan tulisan Dee. Novel Perahu Kertas-nya yang sangat populer itu sebelum dicetak menjadi buku, awalnya adalah pecahan-pecahan naskah yang ia bagikan secara berseri kepada orang-orang terdekatnya. Tiap beberapa hari Dee menjajakan tulisannya kepada mereka dengan tekun. Tulisan itu ternyata akhirnya menularkan bisa yang tidak bisa kawan-kawannya tolak. Ketika kemudian Dee terlambat membawakan tulisan, mereka mulai protes. Itu yang disebut Dee sebagai mereka telah termakan virus. Virus karyanya yang sungguh memukau.
Itulah Dee. Aku pernah ingin mencoba mempraktekkan kebiasaan demikian, tapi aku lebih dulu diserang tidak percaya diri. Niatku semata-mata hanya untuk sebuah intensitas menulis yang ternyata sangat mahal harganya. Aku berfikir, dengan menulis secara berseri intensitas menulis itu akan terdorong karena dipaksa untuk melayani pembaca. Nah, sampai di sini aku mentok oleh sebuah pertanyaan, bagaimana kalau mereka tidak tertarik dengan tulisanku? Melihat tulisanku yang pertama saja amburadulnya minta ampun, apalagi tulisan-tulisan selanjutnya. Mulailah semangatku mengendor. Lambat-laun kemungkinan-kemungkinan lain mulai bermunculan. Misalnya, bagaimana bila aku dianggap sok pintar, berani-berani mengasi tulisan, padahal tulisannya tidak bermutu. Huh!
Begitulah akhirnya. sampai saat ini aku belum berani mengobral tulisan-tulisanku kepada teman-teman. Untung aku tidak menayangkan tulisanku terdahulu yang membahas keinginanku itu. Jadi, mereka tidak tahu kalau aku punya rencana. Aku tidak perlu takut mereka bilang apa-apa tentang dunia menulisku.
Berfikir mencari jalan keluar, akhirnya aku sampai pada kesimpulan tetap menjajakan tulisan. Tapi tentu dengan format lain yang lebih terhormat dan terjaga dari intrik dan fitnah (hehe...segitunya). Apakah itu? Buletin! Persisnya, semacam Buletin. Tapi aku lebih suka menyebutnya selebaran. Aku mengajak seorang kawan untuk membuat selebaran itu dengan penulisnya kami berdua. Jumlah halaman kami batasi dengan hanya satu lembar saja. Itu sudah kami anggap cukup untuk tahap awal. Entah, bila nanti kami menginginkan yang lebih banyak kami bisa menambahnya seiring waktu berjalan. Kami tidak mau terlalu terbebani dengan halaman yang banyak, karena kami sama-sama masih penulis pemula. Intensitas yang tinggi adalah tujuan utama kami. Kekonsistenan yang perlu kami pertahankan. Kami takut dengan jumlah halaman yang banyak nantinya kami sendiri merasa kewalahan yang berakhir pada putusnya siklus terbit selebaran itu. Alangkah lebih baik bilamana kami memulai dari yang sangat kecil dahulu. Biar sedikit lama-lama akan menjadi bukit.
Mengapa harus berdua? Itu untuk menyelesaikan satu masalah yang menjadi pertimbangan bila aku hanya sendirian menulisnya. Kalau aku menulis bersama teman, hitung-hitung aku bisa nebeng popularitas bila tulisan kawan itu mendapat tempat di hati mereka, para pembaca. Artinya, mereka masih punya satu tulisan lagi yang bagus dan menambah wawasan setelah kecewa membaca tulisanku yang katroknya bukan buatan. Intinya, para pembaca tidak boleh kecewa. Kalau kecewa mereka tidak akan merindukan selebaran itu lagi.
Aku yang menggagas terbitnya selebaran itu bertanya kepada kawanku, apakah ini untuk idealisme atau bisnis? Dia menjawab, idealisme! Bagus, kataku. Banyak pertimbangan bila ini digiring ke bisnis. Dan aku sudah bisa menebak kalau selebaran ini tidak akan pernah laku. Karena prinsip bisnis yang paling nyata adalah barang bagus harga mahal. Selebaran ini bukan barang bagus, jadi tidak akan menarik konsumen. Percuma saja menawarkan barang tidak laku.
Terus, kalau begitu kenyataannya, selebaran ini biarlah menjalani kodratnya sebagai barang yang sederhana dan popularitas yang sederhana pula. Tapi, karena isi dari selebaran yang tidak statis maka tiap waktu pastilah mengalami peningkatan menuju kwalitas yang lebih baik. Okelah hari ini tulisan itu tidak laku, tapi suatu saat bila dijaga dengan konsisten pastilah akan ada yang menyukainya. Tulisan itu berproses.
Maka, untuk tahap-tahap awal kami berencana untuk menggratiskan selebaran ini, tapi tentu saja dengan jumlah yang sangat sedikit. Bila mereka tertarik kami suruh memfoto copy-nya sendiri. Kami pun tidak muluk-muluk, terserah apakah mereka meminta hanya buat kipas angin atau alas tempat makan tidak apa-apa. Bukankah sebuah karya tulis bila dilempar ke khalayak sepenuhnya adalah milik pembaca?
Sampai catatan ini aku tulis, banyak hal yang masih belum kami diskusikan. Apakah selebaran ini kelak diproyeksikan menjadi buletin? Apakah pengurusnya hanya berdua? Bolehkan pembaca juga menulis? Atau, bagaimana dengan halamannya, apa ada penambahan? Kami ingin memulai dulu. Biarkan semua mengalir semisal air.
26 Desember 2009
Aku simpan baik-baik tulisan itu hanya untuk konsumsi pribadi. Minimal tiap aku jenuh dengan hidupku sendiri selalu ada yang bisa memberiku keceriaan lain dalam dunia yang lain pula. Sudah tahukah kalian bahwa aku sering diserang senewen? Yah, kalian tidak perlu tahu itu. Itu anugerah yang diberikan kepadaku, kecuali kalian mau mengadopsi kebiasaan buruk tersebut. Dengan senang hati aku akan memberikannya secara cuma-cuma.
Tiap kali aku dilanda senewen kalau tidak tidur biasanya aku pergi ke depan komputer, mengotak-atik sesuatu. Bila kutertarik membuka file tulisan lamaku, aku biasanya menghidupkan Media Player terlebih dahulu, meng-add beberapa lagu ke dalam daftar playlist. Diantara lagu-lagu yang paling kusuka adalah instrumen musiknya Kenny G. Nada-nadanya yang slow membuat imajinasiku bangkit, menarik masa lalu yang mulai terlelap. Perlahan-lahan jalaran imajinasi itu memberikan stimulasi untuk gairah menulisku. Aku mulai membaca tulisanku sambil ditemani musik itu.
Baiklah, aku kembali ke awal tulisan ini. Aku pernah menulis keinginan untuk mengadopsi cara memasarkan tulisan Dee. Novel Perahu Kertas-nya yang sangat populer itu sebelum dicetak menjadi buku, awalnya adalah pecahan-pecahan naskah yang ia bagikan secara berseri kepada orang-orang terdekatnya. Tiap beberapa hari Dee menjajakan tulisannya kepada mereka dengan tekun. Tulisan itu ternyata akhirnya menularkan bisa yang tidak bisa kawan-kawannya tolak. Ketika kemudian Dee terlambat membawakan tulisan, mereka mulai protes. Itu yang disebut Dee sebagai mereka telah termakan virus. Virus karyanya yang sungguh memukau.
Itulah Dee. Aku pernah ingin mencoba mempraktekkan kebiasaan demikian, tapi aku lebih dulu diserang tidak percaya diri. Niatku semata-mata hanya untuk sebuah intensitas menulis yang ternyata sangat mahal harganya. Aku berfikir, dengan menulis secara berseri intensitas menulis itu akan terdorong karena dipaksa untuk melayani pembaca. Nah, sampai di sini aku mentok oleh sebuah pertanyaan, bagaimana kalau mereka tidak tertarik dengan tulisanku? Melihat tulisanku yang pertama saja amburadulnya minta ampun, apalagi tulisan-tulisan selanjutnya. Mulailah semangatku mengendor. Lambat-laun kemungkinan-kemungkinan lain mulai bermunculan. Misalnya, bagaimana bila aku dianggap sok pintar, berani-berani mengasi tulisan, padahal tulisannya tidak bermutu. Huh!
Begitulah akhirnya. sampai saat ini aku belum berani mengobral tulisan-tulisanku kepada teman-teman. Untung aku tidak menayangkan tulisanku terdahulu yang membahas keinginanku itu. Jadi, mereka tidak tahu kalau aku punya rencana. Aku tidak perlu takut mereka bilang apa-apa tentang dunia menulisku.
Berfikir mencari jalan keluar, akhirnya aku sampai pada kesimpulan tetap menjajakan tulisan. Tapi tentu dengan format lain yang lebih terhormat dan terjaga dari intrik dan fitnah (hehe...segitunya). Apakah itu? Buletin! Persisnya, semacam Buletin. Tapi aku lebih suka menyebutnya selebaran. Aku mengajak seorang kawan untuk membuat selebaran itu dengan penulisnya kami berdua. Jumlah halaman kami batasi dengan hanya satu lembar saja. Itu sudah kami anggap cukup untuk tahap awal. Entah, bila nanti kami menginginkan yang lebih banyak kami bisa menambahnya seiring waktu berjalan. Kami tidak mau terlalu terbebani dengan halaman yang banyak, karena kami sama-sama masih penulis pemula. Intensitas yang tinggi adalah tujuan utama kami. Kekonsistenan yang perlu kami pertahankan. Kami takut dengan jumlah halaman yang banyak nantinya kami sendiri merasa kewalahan yang berakhir pada putusnya siklus terbit selebaran itu. Alangkah lebih baik bilamana kami memulai dari yang sangat kecil dahulu. Biar sedikit lama-lama akan menjadi bukit.
Mengapa harus berdua? Itu untuk menyelesaikan satu masalah yang menjadi pertimbangan bila aku hanya sendirian menulisnya. Kalau aku menulis bersama teman, hitung-hitung aku bisa nebeng popularitas bila tulisan kawan itu mendapat tempat di hati mereka, para pembaca. Artinya, mereka masih punya satu tulisan lagi yang bagus dan menambah wawasan setelah kecewa membaca tulisanku yang katroknya bukan buatan. Intinya, para pembaca tidak boleh kecewa. Kalau kecewa mereka tidak akan merindukan selebaran itu lagi.
Aku yang menggagas terbitnya selebaran itu bertanya kepada kawanku, apakah ini untuk idealisme atau bisnis? Dia menjawab, idealisme! Bagus, kataku. Banyak pertimbangan bila ini digiring ke bisnis. Dan aku sudah bisa menebak kalau selebaran ini tidak akan pernah laku. Karena prinsip bisnis yang paling nyata adalah barang bagus harga mahal. Selebaran ini bukan barang bagus, jadi tidak akan menarik konsumen. Percuma saja menawarkan barang tidak laku.
Terus, kalau begitu kenyataannya, selebaran ini biarlah menjalani kodratnya sebagai barang yang sederhana dan popularitas yang sederhana pula. Tapi, karena isi dari selebaran yang tidak statis maka tiap waktu pastilah mengalami peningkatan menuju kwalitas yang lebih baik. Okelah hari ini tulisan itu tidak laku, tapi suatu saat bila dijaga dengan konsisten pastilah akan ada yang menyukainya. Tulisan itu berproses.
Maka, untuk tahap-tahap awal kami berencana untuk menggratiskan selebaran ini, tapi tentu saja dengan jumlah yang sangat sedikit. Bila mereka tertarik kami suruh memfoto copy-nya sendiri. Kami pun tidak muluk-muluk, terserah apakah mereka meminta hanya buat kipas angin atau alas tempat makan tidak apa-apa. Bukankah sebuah karya tulis bila dilempar ke khalayak sepenuhnya adalah milik pembaca?
Sampai catatan ini aku tulis, banyak hal yang masih belum kami diskusikan. Apakah selebaran ini kelak diproyeksikan menjadi buletin? Apakah pengurusnya hanya berdua? Bolehkan pembaca juga menulis? Atau, bagaimana dengan halamannya, apa ada penambahan? Kami ingin memulai dulu. Biarkan semua mengalir semisal air.
26 Desember 2009
0 Response to "Rencana Kecil"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.