Dan Mereka Sudah Melupakannya
Angin yang melambat seperti manandai Natal yang hikmat sore itu. Sebuah mobil Verosa disusul beberapa mobil berplat luar Madura memijak bumi tanpa acuh. Dengan suara mendesis dan bodi mengilap benda kebanggaan manusia modern itu berhenti. Berpasang-pasang kaki menambah pijakan kian utuh di atas permukaan tanah yang agak basah. Lapisan tipis pasir di atas paving menggambar pijakan sepatu dan alas kaki mereka. Pantai Slopeng menyambutnya dengan ramah. Sebuah harmoni baru yang tiba-tiba merambat di batok kepalaku.
Beberapa anak keluar dari dalam mobil. Dengan berbagai alat bantu renang mereka berlari ke tepi pantai, tak sabar ingin mencebur ke dalam lautan. Ombak yang semakin mengganas karena siang sudah kian renta, hampir digantikan oleh malam, memaksa mereka serba waspada. Laut selalu menarik manusia ke dalam tubuhnya tanpa terlebih dahulu mengabarkan pada khalayak, kaum-kerabat, atau mereka yang dicintai dan mencntai.
Itulah laut. Misterius dan bisu. Namun, justru karena kebisuannya itu manusia mencintainya. Jika laut bisa bicara dan memiliki mulut, maka eksotisme menjadi barang obralan. Laut tak lagi mengandalkan tubuhnya untuk bicara. Digantikan mulut yang serba bebas tanpa aling-aling membongkar keindahannya sendiri. Naifnya, jika mulut sudah tak terkontrol, ia mudah lepas kendali. Apa yang dikatakannya tak lagi sesuai dengan realitas tubuhnya sendiri. Lambat-laun manusia akan menjauhi dan hijrah dari lautan. Untung Tuhan menciptakannya dengan satu kekurangan, mulut.
Beberapa orang tua yang mendampingi anak-anak itu masih sibuk dengan penjaga pantai untuk mambayar karcis masuk. Setelah selesai mereka pun menyusul anak-anaknya. Mereka memberi instruksi kepada anak-anak itu untuk tak terlalu jauh dari pantai, karena ombak tergolong besar untuk ukuran barmain dan berenang. Namun, anak-anak itu seperti tak terlalu prihatin akan bahaya yang mengintainya. Dan mereka kelihatan acuh tak acuh terhadap peringatan orang tuanya tadi. Terbukti mereka tetap menantang ombak. Byur…byur… berceburan..
***
Ya, mungkin mereka memang telah lupa. Atau karena dikalahkan oleh antusiame dan eksotisme laut yang memikat, lalu meminggirkan sesuatu yang amat mengharukan. Apa yang pernah ditorehkan dalam sejarah maritim kita, belum terlalu jauh tertimbun dalam ingatan. Tahun 2003, bulan Desember, tanggal 26, kisah itu meneror anggota tubuh kita. Adalah Nangroe Aceh Darussalam yang porak-poranda karena Tsunami telah menelan korban sebanyak 173.981 jiwa. Tak hanya di tanah air, di Phuket Thailand korban jiwa sebanyak 5 ribu orang.
Bagi yang merasakan secara langsung dampak musibah ini, tentu mengemis air mata sudah amat sulit, karena seringnya menangis. Trauma terhadap keganasan laut membuat jiwa mereka terguncang. Ada yang depresi, stress, bahkan gila karena sanak keluarga hanya dalam hitungan menit telah lenyap. Parahnya lagi mereka menyaksikan sendiri tubuh sanak keluarga itu terseret air laut, terpelanting, lalu terhempas berbaur dengan sampah-sampah busuk. Sungguh sangat menyakitkan.
Di mana-mana orang takut pada laut. Laut yang ramah tiba-tiba menjadi pemangsa yang ganas. Pasca Tsunami, orang ketar-ketir untuk liburan ke pantai. Meskipun secara geografis posisi pantai tidak masuk dalam peta rawan bencana. Namun, melihat bahaya yang diluar dugaan mereka lalu mengeralisir bahwa semua pantai memiliki tingkat kerawanan yang sama. Prediksi Badan Meteorogi dan Geofisika (BMG) mentah. Mereka lebih percaya pada apa yang telah mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Maka, di mana-mana turis yang berkunjung ke pariwisata pantai menjadi berkurang. Omzet lahan bisnis ini melandai. Apa boleh buat! Segala sesuatu bisa terjadi.
Kejadian itu memang bisa dibilang telah jauh dari hidup kita saat ini. Telah enam tahun berselang. Sebagian mereka sudah sembuh dari beragam penyakit jiwa yang menimpanya. Perlahan-lahan NAD mulai pulih. Mulai berdiri bangunan-bangunan sisa dari korupsi pejabat yang menelikung bantuan khusus bencana. Beberapa waktu lalu, Jawa Pos menurunkan beritanya mengenai kehidupan beberapa masyarakat Aceh yang tegar bertahan dalam hidup serba kekurangan. Mereka terus berbenah dan dengan keteguhannnya lambat laun usaha-usaha kecil yang mereka rintis pasca Tsunami kian besar penghasilannya.
Banyak yang mengambil faidah dari musibah itu dan banyak pula yang melupakannya. Terutama yang tidak mengalami langsung musibah tersebut. Ditambah lagi dengan stereo tipe yang menyudutkan masyarakat NAD. Sebagian orang meyakini NAD adalah pusat produksi dan beredarnya barang haram shabu-shabu. Anggapan ini diperkuat dengan dalil agama yang salah mereka tafsirkan. Dalam kitab suci memang dijelaskan ada balasan adzab bagi mereka yang berbuat salah. Dalam hal ini, konteks pembicaraannya diselewengkan. Mereka telah mencap secara generalitatif bahwa semua masyarakat NAD adalah pemroduksi barang-barang itu. Padahal yang mereka lihat hanya segelintir saja. Nah, asumsi ini membangun image negatif dari segi sosial. Orang yang awalnya prihatin lalu berbalik menyerang mereka dengan tuduhan bahwa itu adalah adzab yang harus mereka terima. Mereka lalu enggan untuk bersimpati apalagi membantu.
Semua yang terjadi selalu mengirim anasir pelajaran. Tuhan menurunkan musibah tentu menginginkan ada sesuatu yang lebih bermakna dari sekedar bergelimpangannya mayat-mata itu. Dan ternyata terbukti benar, banyak orang yang keyakinannya akan kebesaran Tuhan kian teguh karena mendapat musibah. Ya, terkadang orang memang harus melalui suatu momen yang tak bisa dinalar dengan akalnya untuk bisa menjadi dirinya sendiri.
Tsunami telah berlalu. Orang-orang mulai lupa. Kini, banyak lagi wisatawan-wisatawan yang mengunjungi pantai untuk menghabiskan liburan Natal, Tahun Baru Hijriyah, Tahun Baru Masehi, dll.
Manusia cepat sekali lupa, karena laut memang pandai menggoda…
Beberapa anak keluar dari dalam mobil. Dengan berbagai alat bantu renang mereka berlari ke tepi pantai, tak sabar ingin mencebur ke dalam lautan. Ombak yang semakin mengganas karena siang sudah kian renta, hampir digantikan oleh malam, memaksa mereka serba waspada. Laut selalu menarik manusia ke dalam tubuhnya tanpa terlebih dahulu mengabarkan pada khalayak, kaum-kerabat, atau mereka yang dicintai dan mencntai.
Itulah laut. Misterius dan bisu. Namun, justru karena kebisuannya itu manusia mencintainya. Jika laut bisa bicara dan memiliki mulut, maka eksotisme menjadi barang obralan. Laut tak lagi mengandalkan tubuhnya untuk bicara. Digantikan mulut yang serba bebas tanpa aling-aling membongkar keindahannya sendiri. Naifnya, jika mulut sudah tak terkontrol, ia mudah lepas kendali. Apa yang dikatakannya tak lagi sesuai dengan realitas tubuhnya sendiri. Lambat-laun manusia akan menjauhi dan hijrah dari lautan. Untung Tuhan menciptakannya dengan satu kekurangan, mulut.
Beberapa orang tua yang mendampingi anak-anak itu masih sibuk dengan penjaga pantai untuk mambayar karcis masuk. Setelah selesai mereka pun menyusul anak-anaknya. Mereka memberi instruksi kepada anak-anak itu untuk tak terlalu jauh dari pantai, karena ombak tergolong besar untuk ukuran barmain dan berenang. Namun, anak-anak itu seperti tak terlalu prihatin akan bahaya yang mengintainya. Dan mereka kelihatan acuh tak acuh terhadap peringatan orang tuanya tadi. Terbukti mereka tetap menantang ombak. Byur…byur… berceburan..
***
Ya, mungkin mereka memang telah lupa. Atau karena dikalahkan oleh antusiame dan eksotisme laut yang memikat, lalu meminggirkan sesuatu yang amat mengharukan. Apa yang pernah ditorehkan dalam sejarah maritim kita, belum terlalu jauh tertimbun dalam ingatan. Tahun 2003, bulan Desember, tanggal 26, kisah itu meneror anggota tubuh kita. Adalah Nangroe Aceh Darussalam yang porak-poranda karena Tsunami telah menelan korban sebanyak 173.981 jiwa. Tak hanya di tanah air, di Phuket Thailand korban jiwa sebanyak 5 ribu orang.
Bagi yang merasakan secara langsung dampak musibah ini, tentu mengemis air mata sudah amat sulit, karena seringnya menangis. Trauma terhadap keganasan laut membuat jiwa mereka terguncang. Ada yang depresi, stress, bahkan gila karena sanak keluarga hanya dalam hitungan menit telah lenyap. Parahnya lagi mereka menyaksikan sendiri tubuh sanak keluarga itu terseret air laut, terpelanting, lalu terhempas berbaur dengan sampah-sampah busuk. Sungguh sangat menyakitkan.
Di mana-mana orang takut pada laut. Laut yang ramah tiba-tiba menjadi pemangsa yang ganas. Pasca Tsunami, orang ketar-ketir untuk liburan ke pantai. Meskipun secara geografis posisi pantai tidak masuk dalam peta rawan bencana. Namun, melihat bahaya yang diluar dugaan mereka lalu mengeralisir bahwa semua pantai memiliki tingkat kerawanan yang sama. Prediksi Badan Meteorogi dan Geofisika (BMG) mentah. Mereka lebih percaya pada apa yang telah mereka lihat dengan mata kepala sendiri. Maka, di mana-mana turis yang berkunjung ke pariwisata pantai menjadi berkurang. Omzet lahan bisnis ini melandai. Apa boleh buat! Segala sesuatu bisa terjadi.
Kejadian itu memang bisa dibilang telah jauh dari hidup kita saat ini. Telah enam tahun berselang. Sebagian mereka sudah sembuh dari beragam penyakit jiwa yang menimpanya. Perlahan-lahan NAD mulai pulih. Mulai berdiri bangunan-bangunan sisa dari korupsi pejabat yang menelikung bantuan khusus bencana. Beberapa waktu lalu, Jawa Pos menurunkan beritanya mengenai kehidupan beberapa masyarakat Aceh yang tegar bertahan dalam hidup serba kekurangan. Mereka terus berbenah dan dengan keteguhannnya lambat laun usaha-usaha kecil yang mereka rintis pasca Tsunami kian besar penghasilannya.
Banyak yang mengambil faidah dari musibah itu dan banyak pula yang melupakannya. Terutama yang tidak mengalami langsung musibah tersebut. Ditambah lagi dengan stereo tipe yang menyudutkan masyarakat NAD. Sebagian orang meyakini NAD adalah pusat produksi dan beredarnya barang haram shabu-shabu. Anggapan ini diperkuat dengan dalil agama yang salah mereka tafsirkan. Dalam kitab suci memang dijelaskan ada balasan adzab bagi mereka yang berbuat salah. Dalam hal ini, konteks pembicaraannya diselewengkan. Mereka telah mencap secara generalitatif bahwa semua masyarakat NAD adalah pemroduksi barang-barang itu. Padahal yang mereka lihat hanya segelintir saja. Nah, asumsi ini membangun image negatif dari segi sosial. Orang yang awalnya prihatin lalu berbalik menyerang mereka dengan tuduhan bahwa itu adalah adzab yang harus mereka terima. Mereka lalu enggan untuk bersimpati apalagi membantu.
Semua yang terjadi selalu mengirim anasir pelajaran. Tuhan menurunkan musibah tentu menginginkan ada sesuatu yang lebih bermakna dari sekedar bergelimpangannya mayat-mata itu. Dan ternyata terbukti benar, banyak orang yang keyakinannya akan kebesaran Tuhan kian teguh karena mendapat musibah. Ya, terkadang orang memang harus melalui suatu momen yang tak bisa dinalar dengan akalnya untuk bisa menjadi dirinya sendiri.
Tsunami telah berlalu. Orang-orang mulai lupa. Kini, banyak lagi wisatawan-wisatawan yang mengunjungi pantai untuk menghabiskan liburan Natal, Tahun Baru Hijriyah, Tahun Baru Masehi, dll.
Manusia cepat sekali lupa, karena laut memang pandai menggoda…
0 Response to "Dan Mereka Sudah Melupakannya"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.