-->

[Sambungan] Cerita dari Gubuk Lancaran #3

Bukit Lancaran berada di arah selatan gedung Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Posturnya yang landai dengan batu-batu menghampar membuat kawasan itu menjadi tempat nongkrong yang nyaman. Nyaman karena bersih tanpa harus ada yang menyapu. Itu karena posisinya yang landai sehingga sampah-sampah tidak ada yang nyangkut di tubuh batu itu. Selain itu, bentuknya yang menghampar dengan diameter yang cukup lebar mampu menampung beberapa gerombolan santri yang duduk di atasnya.
Hamparan batu yang paling besar berada di sebelah barat. Tempat itu sangat favorit karena pada sore hari sinar matahari disaring oleh dedaunan yang berada di sebelah baratnya. Otomatis hamparan batu itu dipayungi oleh pohon-pohon tersebut.
Di lereng bukit Lancaran kita bisa melihat keindahan alamiah. Ke arah utara, pandangan dipertemukan dengan jalianan keindahan yang teronce dari julangan bukit hijau nan bergelombang. Ke arah barat, senja berangkat ke balik bukit-bukit Berekas. Pada pagi hari, dari arah timur matahari muncul dari dahan-dahan jati, terkadang dari balik tembok bangunan. Hanya dari arah selatan kita tak bisa menyaksikan apa-apa selain rumah-rumah penduduk, pepohonan dan ladang.
Dari sekian tempat yang tersebar di bukit itu aku lebih suka berlama-lama di sebuah gubuk yang berada di atas Bukit Lancaran. Sebuah gubuk yang ringkih dengan atap daun kelapa yang dianggit. Gubuk ini dibangun oleh masyarakat sebagai tempat berteduh pada musim kemarau, alias musim tanam tembakau. Gubuk tersebut digunakan sebagai tempat istirahat bila mereka selesai menyiram tembakau. Pada musim tersebut pastilah gubuk itu mengalami perbaikan. Namun sebaliknya, pada musim penghujan ia seperti sakit-sakitan. Tak ada yang coba merawatnya.
Gubuk itu banyak menyimpan cerita tentang kehidupanku. Mulai dari cerita sedih, kurang ajar, ceria, patah hati, kasmaran dan lainnya. Aku tidak tahu apakah gubuk itu masih menyimpan rahasia-rahasiaku atau ia tak ambil peduli karena tak ada yang menarik baginya. Terlebih lagi, ada banyak cerita heroik yang lebih mengesankan dari pada ceritaku, didapatinya dari mereka yang berkunjung ke situ.
Suatu sore aku pernah ke gubuk itu bersama seorang kawan. Kebetulan di gubuk tak ada yang menempati, maka di sanalah tujuan kami. Kabanyakan teman-teman memilih tempat di lereng bukit. Mereka bergerombol di utara dan barat. Aku hanya berdua dengan kawan itu. Kami mulai mengobrol. Dia mengeluarkan dua bungkusan dari dalam tas karton. Aku tidak tahu isinya apa.
Satu bungkusan dibuka, isinya ternyata camilan. Dan bungkusan lain yang berbentuk persegi panjang belum ia sentuh. Dia menolah-noleh ke sana ke mari. Aku bertanya-tanya dalam hati karena nampaknya ia memastikan sesuatu tak akan terjadi saat bungkusan itu dibuka. Setelah memastikan aman kota itu ia buka. Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan isi kotak itu. Kotak persegi empat itu adalah sebuah radio National lapuk yang penutup batereinya sudah tanggal. Dia cengar-cengir lalu tolah-toleh lagi dan mulai memutar tombol tuning. Perlahan-lahan radio mengalunkan lagu India kesukaannya, lamat-lamat sambil sesekali ditimpali oleh suara kemerosok. Mungkin kabelnya sudah ada yang aus. Volumenya ia atur sedemikian rupa agar tak terdengar oleh siapapun kecuali kami berdua. Sebab, bila ketahuan oleh kawan-kawan lain apalagi pengurus, bisa-bisa radio itu menjadi keping-keping bahan bakar untuk menanak. Pada sore hari, selain hari olah raga, dipondokku ada larangan menghidupkan radio dan alat elektronik lainnya.
Kami terus berbicang banyak hal. Dia lebih banyak berbicara tetang elektronik hasil rangkaiannya. Banyak sekali istilah asing yang muncul dari kata-katanya sehingga kadang aku hanya sanggup mengiyakan. Dia bercerita tentang ampliver rancangannya. Bahan-bahan eletronik ia beli di pasar Ganding dengan uang kirimannya. Ia mengaku harus berpuasa sekitar seminggu untuk menutupi lubang keuangannya karena sudah dicomot untuk membeli alat-alat itu.
Setrum besar yang dibutuhkan untuk menghidupkan alat-alat elektronik tersebut tentu tak gratis. Tapi ia punya cara tersendiri untuk mengatasi masalah yang satu ini. Dia menggali dinding pondoknya untuk kemudian diselusupi kabel. Galian itu memanjang dari bawah ke atas. Pada unjung kabel bagian atas ia sambungkan dengan jalur listrik lampu pondok. Sementara untuk ujung bawahnya ia sambungkan pada sebuah adaptor yang ditutupi dos tempat mie instan, sehingga tak terlihat ada kabel dari dalam tembok. Kemudian bekas galian tembok yang berisi kabel itu ia lapisi dengan semen putih sehingga tak terlihat ada bekas galian di sana.
Melalui pencurian yang sangat sederhana ini ia bisa menikmati mimpinya untuk menjadi seorang ahli elektronik. Pada malam hari ia menyambungkan arus listrik melalui adaptor langsung ke radio dan amplinya, namun pada siang hari ia menyambungkannya dengan Aki kering yang sudah dia setrum pada malam harinya. Listrik untuk menghidupkan lampu pondok pada siang hari sengaja dipadamkan.
Itulah salah satu kisah rahasia yang diceritakannya padaku. Aku lihat ia tak merasa berdosa karenanya, justru ia bangga bisa merakit alat elektronik sendiri. Aku pun tak berusaha menasihati karena aku bukan orang suci dan terlebih aku bukan pengurus. Satu yang membuatku bangga darinya adalah ketekunan dalam bekerja dan belajar untuk bidang elektronik ini.(bersambung)

0 Response to "[Sambungan] Cerita dari Gubuk Lancaran #3"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel