Alhamdulillah, Saya Pernah Jatuh Cinta
Saya sedang mendengarkan musik Kenny G. ketika catatan ini dibuat. Sebenarnya saya agak malas untuk menulis, tapi musik yang memukau ini menuntun imajinasi saya. Imajinasi itu masuk ke hati, kemudian meminta otak untuk mendedahkannya dalam bentuk kata-kata. Okelah, kata otak saya kepada perasaan yang tampak memelas. Perasaan saya seperti tak ingin permohonannya ditolak. Otak saya lalu memberi instruksi kepada tangan dan anggota tubuh lainnya untuk segera mengabulkan permintaan perasaan tadi. Tapi, kemudian otak saya menjadi bingung, apa yang akan ditulisnya. Diajukannya prihal kebingungan itu kepada perasaan. Kepada otak, perasaan tak memberi patokan jelas apa yang mesti ditulisnya. “Tulislah yang kamu mau”, kata perasaan saya.
Otak saya akhirnya berfikir sejenak kira-kira apa yang ingin ditulisnya. Jawaban perasaan tadi bukannya memberikan jalan keluar, malah makin membuatnya bingung. Tapi, pikir otak lagi, kalau ditentukan mungkin malah makin membuat bingung. Kalau begitu, sediakan waktu sejenak untuk merenung. Dibantu perasaan, akhirnya otak bisa merenung dan mulai menulis sesuatu…
****
Saya ingin menulis sesuatu yang indah malam ini. Tapi saya masih bingung, apa sebenarnya yang indah dalam hidup ini. Apalagi, keindahan itu sangat subjektif sifatnya. Bila saya katakan ini indah mungkin malah lebih banyak dari kalian yang tidak setuju. Tapi tak apalah, ini kan saya yang menulis. Saya hanya berharap otak kalian berfikir bahwa tiap keindahan itu memiliki tempat dan wilayahnya sendiri pada masing-masing orang.
Saya ingin berbicara sesuatu yang menurut saya indah; cinta. Apa itu cinta? Silahkan Kalian cari sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Saya sedang asyik menikmati lagunya Kenny G. dan tak ingin diganggu. Lagi pula saya sedang berada di kantor, sementara KBBI yang saya ketahui berada di perpustakaan pondok saya. Jaraknya berada sekitar 30 meter dari tempat saya duduk saat ini. Bila tak ingin membantu saya mencarikan arti kata tersebut, minimal untuk diri kalian sendiri.
Saya juga tak ambil pusing mengenai definisi kata tersebut, biarlah itu menjadi urusan yang berwenang. Entah itu dosen asmara, pakar cinta, konsultan cinta, dan entah apalagi namanya. Yang teramat penting dan paling enak adalah merasakannya. Jika kalian berhadapan dengan saya dengan maksud ingin menguliahi mengenai tema yang satu ini, sementara setelah saya tanya, apakah kalian pernah merasakan cinta? lalu kalian menjawab “belum”, maka jangan harap saya akan mendengarkan kuliah kalian. Percuma saja. Lebih baik kalian menjual jamu di pasar loak atau menjadi jurkam parpol gurem pada musim kampanye. Itu lebih efektif dan prospektif terhadap masa depan. Selain itu, jurkam tidak membutuhkan keterampilan lebih dan biaya yang banyak, cukup bisa menjual kata-kata. Dan sepertinya kata-kata masih banyak stok di dunia ini. Jadi, jangan khawatir kalian akan kehilangan bahan baku. Yang krusial sebenarnya hanyalah menjaga mulut agar kalian terhidar dari sariawan, bibir pecah-pecah, dan sakit gigi. Kesemua itu akan sangat mengganggu dalam menjaga reputasi seorang jurkam.
Wah, terlalu jauh pembahasannya. Baiklah saya kembali ke soal cinta. Saya dulu pernah jatuh cinta kepada seorang perempuan. Tapi saya tak akan sebut siapa orangnya. Saya hanya memberi sedikit bocoran bahwa dia memakai kacamata (Eh, kalian yang pakek kacamata kok misem-misem, ada apa? Yang pakek kacamata di dunia ini bejibun jumlahnya). Dia cantik, tentu saja menurut saya, entah menurut kalian. Saya tak ambil pikir. Itu urusan kalian. Menurut tulisan yang pernah saya baca tentang konsep cantik menurut orang-orang barat, dia tidak masuk dalam kategori cantik. Tubuhnya agak tambun dengan tinggi badan lebih rendah dari saya sekitar satu jengkal.
Saya mengenalnya dalam sebuah acara diklat kira-kira tahun 2007 lalu. Waktu itu, saya masih duduk di kelas III Sekolah Menengah Atas. Dalam hal jenjang kelas, dia lebih tinggi dari saya. Kala itu dia sudah kuliah semester satu pada sebuah perguruan tinggi swasta. Persoalan beda kelas ini tak membuat saya risih. Apa yang bisa menghalangi cinta, apalagi hanya sebuah jenjang kelas.
Saya mengakui bahwa cinta yang melekat pada saya saat itu hanyalah cinta lokasi. Dua hari dalam acara tersebut telah membuat perasaan baru tumbuh terhadap perempuan itu. Memang selama acara berlangsung, banyak sekali lelaki yang mendekati bahkan menggodanya. Artinya ia memang bukan sembarang perempuan. Selain cantik, dia juga tidak banyak gerak, alias tidak suka neko-neko. Pada waktu istirahat ia gunakan untuk sembahyang dan selebihnya adalah jalan-jalan di sekitar tempat acara bersama teman-temannya yang juga perempuan.
Mungkin sikap itu yang membuat banyak perserta diklat mendekatinya. Sikap dingin perempuan tersebut malah makin membuat misteri dalam dirinya kian mengukuh. Ada ragam ekspresi yang mereka suguhkan untuk menarik perhatian si perempuan. Dari yang minta nomor HP sampai mengirim salam dan mempersembahkan sebuah lagu untuk perkenalannya dengan perempuan tersebut. Saya tersenyum saja ketika menyaksikan ulah mereka. Aneh dan lucu.
Meski menyimpan perasaan, saya tidak melakukan apa-apa. Sesekali hanya menimpali guyonan teman saya yang duduk sebangku dengan perempuan itu. Setelah kuteliti saat usai acara ternyata dia juga menyimpan perhatian yang sama padanya. Saya memang sejak awal sudah memprediksi itu. Gerak dan tingkahnya berbeda. Pada saat acara, kami lebih banyak membanyol, tidak memperhatikan materi yang disampaikan oleh penyaji, kami juga ingin menarik perhatiannya. Tapi saya tidak terlalu over, sehingga kesan yang timbul saya hanya melengkapi atau mengimbangi banyolan teman saya itu.
Setelah acara usai dan saya kembali ke habitat semula, pondok, perasaan seperti diaduk-aduk. Tiap saat ingatan hanya tertuju padanya. Mata saya penuh oleh wajah dia. Kebanyakan wajah itu dalam action tersenyum. Mungkin perasaan saya yang menyuruhnya tersenyum. Atau otak saya punya sensor kamera khusus yang hanya memotretnya dalam keadaan tersenyum.
Selain malu, saya juga sangat tidak pantas mengatakan cinta padanya. Ia terlalu agung untuk bersanding dengan saya yang …. (gitu deh…hehe…). Akan ada banyak orang yang menggugat nantinya. Terlebih lagi, dia pasti tidak mau menerima saya. Hal terakhir inilah sebenarnya yang paling pokok dan menguasai otak saya.
Saya tidak pernah katakan tentang kondisi perasaan saya kepada kawan tadi, karena nampaknya dia lebih parah. Dia terbuka untuk masalah ini, tidak seperti saya yang menyimpannya hingga menjadi sesak dalam dada. Apa yang berkecamuk dalam pikirannya ia dedahkan tanpa rasa malu. Dan memang sebenarnya apa yang bisa membuatnya malu dengan membicarakan hal itu?
Terus terang, waktu itu saya pertamakali merasakan hati disayat-sayat oleh semacam belati, eh bukan, lebih ganas dari belati. Saya tidak tahu, apakah waktu itu saya merasakan sakit atau memang ada istilah lain untuk kondisi demikian. Apakah juga dikatakan sakit untuk suasana hati? Sepertinya, kata tersebut tidak mewakili. Sakit terlalu dangkal untuk merepresentasi bahasa kalbu.
Saya agak malas melukiskan kondisi saya saat itu. Saya tidak percaya kata-kata juga diri saya mampu melukiskannya dengan sempurna. Saya takut, karena dituliskan, ia akan jatuh menjadi sesuatu yang hambar. Ini sangat disayangkan sementara saya menikmatinya dengan berjuta rasa. Lalu apa artinya kata-kata itu kemudian?
Ah, lebih baik tak kuceritakan semuanya kepada kalian. Sungguh saya khawatir, karena itu pengalaman yang tak dapat saya lupakan. Apa yang saya tulis di atas hanya segelintir dari keseluruhan yang saya rasakan saat itu. Bahkan ia tak seberapa bila dibandingkan kedahsyatan perasaan saya. Pokoknya, saya tak sanggup lagi.
Akhirnya, saya tak berhasrat meneruskan tulisan ini. Lebih baik saya tidur dan tolong bangunkan esok kalau saya kesiangan…
guluk-guluk, 15 februari 2010
0 Response to "Alhamdulillah, Saya Pernah Jatuh Cinta"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.