Subhan (2)
Di lain waktu, ia menjelma teman bagi saya. Hal yang paling nampak adalah ketika saya ingin mengambil buah kelapa muda. Saya yang tak pandai memanjat tentu saja harus meminta bantuan orang lain. Dan tak ada orang lain untuk hal ini kecuali Subhan. Ia memang pandai betul kalau disuruh memanjat. Cuma yang tak disenangi orang adalah karena ia terlalu lambat, tidak seperti kebanyakan pemanjat kelapa di desa kami yang gesit menjalari pohon. Orang-orang butuh pekerja cepat karena hitungan upah bagi mereka ada yang bergantung waktu, setengah atau satu hari dibayar sekian. Nah, bagi yang bekerja lambat seperti Subhan tentu saja merugikan orang yang mengupah karena hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan upah yang diberikan.
Saya yang memang hanya bermodal gratisan, tentu saja tak usah banyak menuntut kepadanya. Saya hanya butuh bersabar menunggu ia menjatuhkan kelapa-kelapa muda itu. Kadang coba mengecek apakah cocok untuk dimakan atau sudah terlalu tua. Itu saja pekerjaan saya.
Sehabis mengambil kelapa muda, biasanya kami juga berhenti di toko dekat sekolah untuk membeli susu sebagai campurannya. Saya menyukai minuman ini, apalagi kalau dicampur dengan es. Enak rasanya, tentu saja kalau diminum pada musim kemarau. Musim hujan mana enak minum es.
*****
Saya tidak tahu persis kejadiannya seperti apa. Teman-teman hanya mengatakan bahwa dia tampil dalam sebuah pertunjukan di sekolah. Kalau tidak salah itu adalah kegiatan OSIS di sekolahnya, sekolah saya dulu. Saya tidak ikut karena saya sudah alumni. Dan saya jarang pergi ke acara-acara di sana.
Dalam acara tersebut, katanya dia tampil dengan membawakan sebuah shalawat, seni yang memang menjadi kegemarannya. Oh, iya, dia juga menjadi tukang azan di tempat saya belajar mengaji. Nah, urusan tarik suara dia memang gemar betul. Namun, pada sore itu, sehabis tampil dia langsung bersujud dan meminta maaf kepada pemandu acara. Teman-temannya yang melihat itu heran bukan main. Sebab, tak biasanya ia melakukan hal itu.
Sejak saat itulah ia disebut gila oleh orang-orang. Seringkali ia bicara sendiri dan ngamuk-ngamuk. Kadang ia sembuh dan kambuh lagi. Begitulah sampai sekarang.
Pernah suatu kali ia memperlihatkan casing ponsel kepada saya dan teman-teman. Ketika itu ia kami anggap waras karena memang beberapa hari sebelumya kondisinya membaik. Ia amat girang bisa membeli casing ponsel itu. Entah apa yang ada di pikirannya. Sementara di pikiran kami sudah tertanam kesan lama bahwa ia baru sembuh dari sakit jiwa. Mungkin ada sisa-sisa dari sakitnya itu, kataku dalam hati.
Dia pun tetap dalam kegirangannya sambil berkata, “Setelah ini saya akan membeli mesinnya.” Ia berkata serius tapi kami terpaksa tersenyum karena menyadari ia tak mungkin bisa membelinya. Pikiran kami sederhana saja, karena ia memang tergolong miskin seperti kami. Dan sulit sekali rasanya bisa memegang ponsel yang harganya sangat mahal ketika itu.
Kampung Halaman, 2011
memiliki kenangan manis masa kecil sangat membahagiakan sob.. :)
ReplyDelete@Tonnys Betul sekali, Mas. Ada banyak cerita dan pelajaran yang bisa ditulis. :-)
ReplyDeleteSweet Child O'Mine
ReplyDeleteNice Posting
@MharjipesThank's, Sob. :-)
ReplyDelete