-->

Subhan (1)

Tiba-tiba saya teringat Subhan, tetangga saya sekaligus teman bermain. Setelah mondok, lama nian saya tak bertemu dengan lelaki penuh tonjolan urat-urat yang membaluti tubuhnya, menandakan ia seorang pekerja berat. Terakhir kami berjumpa waktu liburan Ramadhan kemarin. Dia sekarang sakit jiwa.

Terkadang, selain sebagai teman, ia juga menjelma lawan bagi saya. Saya masih ingat betul ketika saya sembunyikan sepasang sandalnya saat dulu kami belajar mengaji sehabis Maghrib di mushalla kampung. Hal itu saya lakukan karena dia seringkali membuntuti ketika saya membaca Al-Quran, meniru-niru saya yang lebih terdengar sebagai keinginan untuk bersaing, bahwa ia lebih pandai membaca daripada saya. Sebenarnya saya ingin tangan ini melayangkan gamparan ke mukanya. Tapi saya tahu itu hanya akan mencelakai saya sendiri. Ayah yang mengajari kami mengaji pasti akan memukul saya dengan sejadah. Maka, selesai mengaji saya pura-pura pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudlu, padahal hanya untuk menaruh sepasang sandal itu ke dalam tumpukan genting yang dijajar di halaman.

Sehabis shalat Isya, buru-buru saya keluar mushalla karena tak ingin melihat ia bingung mencari sandalnya. Sesampai di rumah yang tak jauh dari mushalla, saya hanya mendengar suaranya yang lantang menangis. Ibunya sibuk mencari tahu sebab-musabab ia menangis. Akhirnya, kedua anak beranak itu sama-sama mencari sepasang sandal yang saya sembunyikan.

Di waktu yang lain, ia selalu hadir di bawah pohon-pohon kelapa utara rumah lebih awal dari saya. Seringkali pagi masih belum sempurna. Keadaan itu membuat saya jengkel karena saya hanya mendapati jejak kakinya, sementara ia membawa banyak kelapa yang jatuh semalam. Karena sering dipecundangi, untuk selanjutnya saya selalu bangun lebih awal ketimbang dia. Habis shalat Subuh langsung meluncur. Meski demikian, kadang masih saja dia menyalip saya. Berkat kompetisi itu saya jadi lebih rajin bangun pagi ketimbang hari-hari sebelumnya.

Kebiasaan ini saya lakukan ketika terobsesi membeli game watch. Di kampung kami, gadget macam ini memang booming ketika saya masih kelas empat MI (Madrasah Ibtidaiya—setara SD--tahun 90-an). Sepupu saya sudah mahir menggunakannya, sementara saya belum memiliki bahkan tombolnya sekalipun (eh, buat apa kalau cuma tombol?). Saya coba meminta kepada orang tua, tapi tak dipenuhi. Saya jengkel sebenarnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena kami memang miskin. Jalan satu-satunya adalah dengan mencari kelapa kering yang jatuh dari pohonnya. Kelapa-kelapa itu akan saya jual kepada tetangga saya yang memang pengasong kelapa. Namun, setelah saya jual semua, hasilnya tetap tak mencapai target. Saya putus asa dan memilih tidak lagi berangan-angan membeli game watch.

Ada satu kejadian yang masih kuingat betul sampai sekarang, yaitu ketika suatu kali kami bermain pohon pisang. Kami sama-sama mengulitinnya untuk mengambil hati pohon tersebut. Saya menggunakan celurit tumpul untuk mencabik-cabik tubuh pohon pisang itu. Benda tersebut akan kami buat mainan lampu stroking dan keripik-keripikan.

Membelah menggunakan tangan memang agak sulit. Maka saya menggunakan celurit itu meski tumpul. Ketika selesai dan melihat Subhan kesulitan menguliti, saya coba berikan celurit tersebut kepadanya. Saya lemparkan begitu saja benda itu. Namun, di luar dugaan, ia memantul dari tanah. Saya agak keras melemparkannya. Akibatnya, benda itu mengenai dahinya.

Perlahan-lahan darah berceceran. Saya takut betul. Terbayang saya akan dihukum, meringkuk dalam tahanan. Dia menangis sejadi-jadinya. Orang-orang berhamburan demi mendengar jeritannya. Saya sembunyi ke dalam rumah. Pada sore hari baru saya keluar. Saya melihat dia sudah bermain-main. Di dahinya terlihat perban melintang. Saya mendengar semua biaya pengobatannya ditanggung oleh orang tua saya. Termasuk yang membelikannya roti terkenal waktu itu, roti sisir bikinan keluarga Aburizal Bakrie.

Bagaimanapun, kejadian waktu itu sungguh menyita pikiran saya. Meski tanpa sengaja, sungguh saya merasa bersalah. Masih membekas di ingatan bagaimana ia merunduk sambil menutupi luka itu. Tangannya belepotan darah. Ketika itu saya masih berumur belasan tahun. Dan penjara sungguh menjadi momok yang menakutkan. Untunglah apa yang saya khawatirkan tak terjadi. Saya tak disel. (bersambung)

2 Responses to "Subhan (1)"

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel