Pantai Lombang
Serial Perjalanan Tidak Penting
Pada keesokan harinya, kami pergi ke pantai Lombang. Pantai ini merupakan pantai paling indah di kabupaten Sumenep. Ia memiliki ciri khas yang sulit ditemukan di pantai-pantai lainnya, yaitu pohon cemara udang. Pohon-pohon itu berjejer sepanjang garis pantai, mulai dari sebelah barat sampai ke arah timur.
Dari rumah teman saya itu, kami melewati jalan beberapa desa, di antaranya Lapa Taman. Di daerah ini ada kebiasaan unik masyarakat sekitar, yaitu membuat gubuk di samping rumah. Saya melihat hampir seluruh rumah yang berada di pinggir jalan di sampingnya selalu ada gubuk, tak peduli apakah rumah itu gemerlapan atau kumuh, memakai keramik atau gedek. Saya tidak tahu apa alasan orang-orang mendirikannya, karena saya hanya melihat dari atas sepeda motor dan belum sempat bertanya-tanya. Di rumah saya, hal itu dibangun di tengah sawah untuk tempat istirahat sehabis bekerja.
Beberapa menit saja kami sudah sampai di Pantai Lombang. Di pintu masuk pantai tak terlihat petugas loket karcis. Saya bertanya kepada kawan, kenapa meraka tak bertugas. Katanya, memang tidak ada untuk beberapa bulan terkahir. Saya menerka-nerka, mungkin ini ada kaitannya dengan konflik antara pemerintah dengan masyarakat sekitar beberapa tahun lalu. Konflik itu menyangkut perebutan lokasi pantai. Masyarakat yang memiliki tanah di daerah tersebut menggugat pemerintah sebagai pengelola karena dinilai merugikan mereka dengan cara mematok wilayah secara semena-mena. Konflik tersebut akhirnya dimenangkan oleh pemerintah. Orang-orang desa yang sudah banyak mengeluarkan uang untuk berperkara harus gigit jari.
Konflik tersebut cukup panjang masanya. Keputusan baru bisa diambil beberapa bulan lalu. Setelah saya sampai di pinggir pantai, saya tidak lagi melihat plang-plang dengan nama orang sebagaimana saya pernah melihatnya beberapa tahun lalu. Plang itu dipakai untuk menandai bahwa kawasan tersebut telah diserobot pemerintah.
Dulu, ketika konflik sedang memanas, saya pernah berkunjung ke sana. Kondisinya benar-benar tak terawat. Sampah di bawah pohon cemara menumpuk. Petugas tak terlihat berada di sana. Hanya beberapa penjual minuman dan mankanan yang masih bertahan di lokasi. Pagi menjelang siang itu, saya melihat lokasi pantai sudah agak bersih. Barangkali petugas sudah mulai aktif lagi. Agak jauh dari pantai, sebuah bangunan agak besar berdiri. Bangunan itu baru kali ini saya lihat. Saya kurang tahu untuk apa bangunan tersebut didirikan. Mungkin untuk penginapan, pikir saya.
Di pinggir pantai, saya mulai menikmati ombak yang bergerak lambat. Sepasang kekasih di sebelah timur terlihat bermanja-manja. Kamera ponsel merekam berbagai pose mereka. Ada yang di dekat pohon cemara, ada juga yang ber-backround pantai. Teman saya bilang, si cewek model Arab. Saya hanya tersenyum. Cukup lama juga mereka menghabiskan waktu dengan kamera.
Saya yang hanya bermodal kamera ponsel jadul tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, saya paksakan untuk merekam beberapa gambar. Saya harus mendokumentasikan momen ini, kata hati saya. Ini sebagai penambah bahan untuk tulisan saya nanti. Maka, meski dengan kadar kemampuan yang pas-pasan, kamera ponsel saya juga beraksi. Saya bergantian dengan teman untuk foto. Pose-pose narsis dan kadang aneh kami rekam. Kami sempat berfoto ala monyet, menggelantung ke dahan cemara.
Saya menyesal tidak membawa kertas sama sekali karena tiba-tiba saya ingin menulis banyak hal di sini. Untunglah ada ponsel. Saya coba mengetikan beberapa hal yang menarik bagi saya. Namun, tentu saja saya tak bisa berbuat banyak dengan ponsel itu. Saya hanya bisa menulis sedikit karena hanya sebegitu saja kemampuannya. Tapi tak apa-apa, yang penting saya bisa menulis. Saya membutuhkan itu karena saya pelupa parah. Menulis adalah laku yang sangat penting untuk menjaga ingatan.
Pengunjung kali ini sangat sedikit sekali. Saya hanya melihat dua pasangan kekasih dan seorang lelaki yang berkunjung. Dua orang lagi sales sebuah rokok. Sepasang kekasih yang datang belakangan tampak malu bermesraan karena dilihat terus oleh teman saya. Karena tak tahan dilihat, mereka pun pindah tempat ke sebelah timur. Di sana, mereka berdiam di bawah bangunan beratap tempat istirahat para pengunjung.
Kami berdiam di pantai Lombang lama sekali. Saya yang memang menggemari pantai (karena rumah saya di gunung dan jauh dari laut) masih betah menikmatinya. Dari barat daya, tiba-tiba awal menggumpal. Hujan akan datang, pikir saya. Saya menawarkan untuk pulang kepada teman. Dia bilang, tunggu saja sampai hujannya datang. Kalau tidak, kita bisa kehujanan di jalan. Apalagi, sehabis ini kami masih akan melanjutkan perjalanan ke rumah seorang teman, namanya Punawi, di Romben. Maka, kami berdiam lagi sambil menikmati pantai yang mulai menggelap. Awan yang menggumpal di barat daya tiba-tiba mencair. Sepertinya tak akan hujan. Kami pun melanjutkan perjalanan karena langit terang kembali. Hanya gerimis jatuh satu-satu di sepanjang jalan menuju pantai.
Pada keesokan harinya, kami pergi ke pantai Lombang. Pantai ini merupakan pantai paling indah di kabupaten Sumenep. Ia memiliki ciri khas yang sulit ditemukan di pantai-pantai lainnya, yaitu pohon cemara udang. Pohon-pohon itu berjejer sepanjang garis pantai, mulai dari sebelah barat sampai ke arah timur.
Dari rumah teman saya itu, kami melewati jalan beberapa desa, di antaranya Lapa Taman. Di daerah ini ada kebiasaan unik masyarakat sekitar, yaitu membuat gubuk di samping rumah. Saya melihat hampir seluruh rumah yang berada di pinggir jalan di sampingnya selalu ada gubuk, tak peduli apakah rumah itu gemerlapan atau kumuh, memakai keramik atau gedek. Saya tidak tahu apa alasan orang-orang mendirikannya, karena saya hanya melihat dari atas sepeda motor dan belum sempat bertanya-tanya. Di rumah saya, hal itu dibangun di tengah sawah untuk tempat istirahat sehabis bekerja.
Beberapa menit saja kami sudah sampai di Pantai Lombang. Di pintu masuk pantai tak terlihat petugas loket karcis. Saya bertanya kepada kawan, kenapa meraka tak bertugas. Katanya, memang tidak ada untuk beberapa bulan terkahir. Saya menerka-nerka, mungkin ini ada kaitannya dengan konflik antara pemerintah dengan masyarakat sekitar beberapa tahun lalu. Konflik itu menyangkut perebutan lokasi pantai. Masyarakat yang memiliki tanah di daerah tersebut menggugat pemerintah sebagai pengelola karena dinilai merugikan mereka dengan cara mematok wilayah secara semena-mena. Konflik tersebut akhirnya dimenangkan oleh pemerintah. Orang-orang desa yang sudah banyak mengeluarkan uang untuk berperkara harus gigit jari.
Konflik tersebut cukup panjang masanya. Keputusan baru bisa diambil beberapa bulan lalu. Setelah saya sampai di pinggir pantai, saya tidak lagi melihat plang-plang dengan nama orang sebagaimana saya pernah melihatnya beberapa tahun lalu. Plang itu dipakai untuk menandai bahwa kawasan tersebut telah diserobot pemerintah.
Dulu, ketika konflik sedang memanas, saya pernah berkunjung ke sana. Kondisinya benar-benar tak terawat. Sampah di bawah pohon cemara menumpuk. Petugas tak terlihat berada di sana. Hanya beberapa penjual minuman dan mankanan yang masih bertahan di lokasi. Pagi menjelang siang itu, saya melihat lokasi pantai sudah agak bersih. Barangkali petugas sudah mulai aktif lagi. Agak jauh dari pantai, sebuah bangunan agak besar berdiri. Bangunan itu baru kali ini saya lihat. Saya kurang tahu untuk apa bangunan tersebut didirikan. Mungkin untuk penginapan, pikir saya.
Di pinggir pantai, saya mulai menikmati ombak yang bergerak lambat. Sepasang kekasih di sebelah timur terlihat bermanja-manja. Kamera ponsel merekam berbagai pose mereka. Ada yang di dekat pohon cemara, ada juga yang ber-backround pantai. Teman saya bilang, si cewek model Arab. Saya hanya tersenyum. Cukup lama juga mereka menghabiskan waktu dengan kamera.
Saya yang hanya bermodal kamera ponsel jadul tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, saya paksakan untuk merekam beberapa gambar. Saya harus mendokumentasikan momen ini, kata hati saya. Ini sebagai penambah bahan untuk tulisan saya nanti. Maka, meski dengan kadar kemampuan yang pas-pasan, kamera ponsel saya juga beraksi. Saya bergantian dengan teman untuk foto. Pose-pose narsis dan kadang aneh kami rekam. Kami sempat berfoto ala monyet, menggelantung ke dahan cemara.
Pengunjung kali ini sangat sedikit sekali. Saya hanya melihat dua pasangan kekasih dan seorang lelaki yang berkunjung. Dua orang lagi sales sebuah rokok. Sepasang kekasih yang datang belakangan tampak malu bermesraan karena dilihat terus oleh teman saya. Karena tak tahan dilihat, mereka pun pindah tempat ke sebelah timur. Di sana, mereka berdiam di bawah bangunan beratap tempat istirahat para pengunjung.
Kami berdiam di pantai Lombang lama sekali. Saya yang memang menggemari pantai (karena rumah saya di gunung dan jauh dari laut) masih betah menikmatinya. Dari barat daya, tiba-tiba awal menggumpal. Hujan akan datang, pikir saya. Saya menawarkan untuk pulang kepada teman. Dia bilang, tunggu saja sampai hujannya datang. Kalau tidak, kita bisa kehujanan di jalan. Apalagi, sehabis ini kami masih akan melanjutkan perjalanan ke rumah seorang teman, namanya Punawi, di Romben. Maka, kami berdiam lagi sambil menikmati pantai yang mulai menggelap. Awan yang menggumpal di barat daya tiba-tiba mencair. Sepertinya tak akan hujan. Kami pun melanjutkan perjalanan karena langit terang kembali. Hanya gerimis jatuh satu-satu di sepanjang jalan menuju pantai.
0 Response to "Pantai Lombang"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.