Pantai Romben
Rumah Punawi hanya beberapa meter saja dari laut. Dari rumah itu saya bisa melihat perahu yang sedang ditambatkan dan beberapa anak kecil yang bermain di tepi pantai. Aroma laut yang amis begitu terasa di kawasan itu. Pun deru mesin pengering ikan teri terdengar dari arah tenggara.
Kami beristirahat beberapa saat. Sepiring mie instan dia suguhkan kepada kami. Dalam sekejap, makanan tersebut sudah tandas. Sehabis makan, saya tidak minum karena saya sangat tidak suka terhadap air asin. Di sana mungkin tak ada air tawarnya, sehingga kopi yang disuguhkannya pun berasa asin. Saya hanya minum sedikit karena terasa aneh ada kopi rasa asin.
Sehabis makan-makan, kami shalat dan kembali belajar tentang laut. Kami ke pantai di sebelah selatan rumahnya. Di sana bukanlah pantai yang terlalu asyik untuk sebuah hiburan melepas kepenatan. Sepanjang garis pantai, terlihat batu-batu karang bertonjolan. Juga bau kotoran manusia menguar. Punawi menunjukkan sebuah “hajat manusia” yang dibuang sembarangan. Saya berpaling karena merasa jijik.
Yang menarik, di laut ini ada budidaya rumput laut. Sayangnya saya hanya bisa menonton dari jauh karena rumput tersebut berada di atas permukaan air laut dengan kedalama sekitar 7-10 depa. Saya bertanya kepada Punawi, bagaimana cara menanamnya kalau berada di tengah laut begitu. Katanya, bambu tempat rumput diikatan pada tali dan ujung-ujung tali tersebut dikasi penahan dari nilon bekas yang diisi pasir. Nilon tersebut dibenamkan ke dalam laut untuk menahan laju bambu agar tidak dibawa ombak.
Dia juga mengatakan, untuk memperoleh kualitas rumput yang bagus, cara menanamnya harus telaten. Rumput tidak boleh terlalu dalam dibenamkan dan tidak boleh terlalu mengambang. Artinya, menurut dia, rumput itu harus juga diberi waktu untuk “bernafas”. Ketika ombak membubung tinggi, bambu akan mengangkat rumput-rumput tersebut untuk “menghirup udara”. Kalau terlalu dalam, kesempatan untuk “menghirup udara” itu tidak ada.
Selain itu, dia juga menyebut macam-macam rumput laut. Dia menerakan warna berbeda-beda untuk masing-masing jenis. Ada warna hijau dan merah. Yang paling mahal dan paling sulit dirawat adalah yang berwarna biru.
Setelah selesai mengamati budidaya rumput laut dari jauh, kami dibawa ke pabrik pengeringan ikan teri. Pabrik itu berupa bangunan besar mirip gudang. Saya melihat banyak perempuan tua di sana. Ada yang sedang mengaduk-aduk ikan yang sedang dimasak, ada yang memindahkannya dari tempat penyaringan ke dalam air mendidih untuk dimasak. Hanya terlihat bebeapa lelaki yang ada di sana.
Menurut Punawi, pabrik tersebut milik orang Prenduan. Tapi ia lupa siapa namanya. Katanya, dia pernah mencalonkan diri menjadi bupati. Saya tidak tahu, karena saya sangat abai terhadap pemerintahan. Saya sudah lupa siapa saja yang pernah mencalonkan diri menjadi bupati Sumenep. Bagi saya itu tidaklah terlalu penting. Toh meski saya ingat mereka, saya tak bakalan pernah diingatnya. Jadi, saya tetap tak bisa memulihkan ingatan Punawi.
Pabrik itu membuang limbahnya ke laut. Saya melihat air keruh yang dihasilkannya telah membuat pinggir pantai menghitam. Saya tidak tahu apakah limbah itu berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem laut di sana, karena di daerah tersebut rata-rata penduduknya menggantungkan hidup kepada kemurahan laut.
0 Response to "Pantai Romben"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.