Sering Diserang Rasa Bosan
Kawan, aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal. Apa saja yang kau lakukan bila mendapati diri didera rasa bosan yang sangat? Apa yang paling berarti dalam hidup ini bila kau berada dalam zona yang sungguh tak enak itu? Lalu, apa yang bisa membuat rasa bosanmu hilang?
Aku tidak tahu dari mana akan memulai tulisan ini. Saat akan menulis, rasa bosan sudah memuncak di ubun-ubun. Jangan ditanya penyebabnya, aku sendiri juga tidak tahu. Persis seperti yang terjadi pada waktu-waku yang lain dimana aku selalu gagal mencari akar masalah yang membuatku diserang rasa bosan. Mencari akar masalah saja sulitnya minta ampun apalagi mencari solusi. Sungguh rasa bosan adalah sebuah suasana imajiner yang kacau.
Bila rasa bosan ada kaitannya dengan “zona tak nyaman”, tentulah hal ini yang singgung oleh Efek Rumah Kaca (ERK) beberapa waktu lalu. ERK sebuah Band yang mengusung genre berbeda dari mayoritas band tanah air. Saat tampil dalam rubrik Kompas Kita, mereka mengokkang satu idealisme; kami selalu merasa harus berada di luar zona nyaman, bagitu kira-kira inti dari perkataan mereka. Bagi ERK, zona nyaman membuat selera manusia menjadi seragam dan mandul kreatifitas. Seperti halnya musik tanah air yang kebanyakan mengusung tema cinta dengan nada melayu yang mendayu-dayu. Dan celakanya, mereka tidak mengeksplorasi genre mereka sehingga yang nampak adalah keseragaman.
ERK berani tampil beda. Itu kreatifitas dan sekaligus tantangan tersendiri. Kita memang selalu jenuh dengan sesuatu yang tampil nyaris tiap hari dengan format yang sama walau pelakonnya berbeda. Faktanya, timbul tenggelamlah band-band tanah air, nama-nama yang muncul lalu menghablur entah ke mana sekaligus bermunculan band-band baru yang coba mengusung kembali aroma musik band yang sudah tenggelam sebelumnya. Tak bertahan lama, mereka juga tenggelam. Dan begitu seterusnya.
Menjadi berbeda dari jamaah memang membutuhkan tantangan. ERK harus berani mempertahankan idealismenya. Nuansa kritik sekaligus penggunaan bahasa berat yang banyak memenuhi larik-larik lagunya tentu menjadi modal mereka dalam mengusung perbedaan. Namun, itu semua bukan berarti mudah untuk ditawarkan.
Pengakuan mereka, band-band yang memancang idealisme kebanyakan tidak laku. Produser rekaman emoh bekerja sama dengan mereka. Alasannya klasik, lagu-lagu seperti itu tidak laku di pasaran. Sangat mudah ditebak orientasi produser rekaman kita; penjualan yang melimpah yang berarti pula banyak uang yang didapat. Benar-benar klasik memang tapi ia tetap menjadi acuan. Bila demikian, jalan satu-satunya adalah dengan mengusung produser indie (independen).
Tak hanya dari produser, selera pendengar sudah terlalu jauh dikooptasi oleh band-band konvensional. Produser memang banyak berjibaku disini untuk membantu memasarkan album-album mereka. Sementara untuk band indie dengan warna berbeda perlu pontang-panting untuk mendapatkan penggemar. Selain karena mengusung tema baru yang tak mudah diterima, promosi untuk band-band seperti ini sangat sulit karena kebanyakan tidak punya biaya.
******
Belajar dari ERK ada satu titik terang apa kira-kira yang membuat diriku mengalami kebosanan. Ini memang sebatas spekulasi karena pandangan ini sifatnya begitu subjektif. Apa yang kuutarakan mungkin berbeda jauh dengan apa yang kau alami. Untuk masalah ini aku harap kau bermurah hati untuk sedikit mendengar keluhanku.
Seperti kata ERK bahwa kebosanan berawal dari keseragaman, aku kok menemukan pembenaran dalam diriku. Mendengar itu aku begitu mudah menuduh kehidupanku sangat monoton setidaknya bila ditilik lebih jauh mengenai rutinitas keseharianku. Sungguh sangat datar dan tak ada yang bisa dibanggakan. Aku terbiasa menghabiskan hari-hariku hanya untuk ngobrol ini-itu, duduk di depan komputer, baca koran, tidur, sms-an, makan, dll. Apa yang bisa diharapkan dari pekerjaan itu? Adakah sesuatu yang besar berangkat dari kerja keseharian yang sungguh sangat remeh-temeh dan monoton? Aku yakin kau akan mengatakan, tak ada!
Ketika berpikir tentang sesuatu yang besar, aku selalu diliputi rasa menyesal. Perasaan terlambat untuk berproses telah menguasai pikiranku. Berhamburanlah kata “seandainya” dari otakku; seandainya dulu aku suka mengembara, seandainya di sela-sela perjalanan jauh aku selalu meluangkan waktu untuk sekedar membaca beberapa buku, seandainya aku suka mencatat dan suka bertanya, seandainya aku…. Begitulah, kata-kata itu mengaung dan terus berulang merajam otakku. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa selain hanya mendesah.
“Anak muda harus punya mimpi-mimpi”, demikian Andrea Hirata dalam sebuah acara yang diselenggarakan Harian Kompas beberapa waktu lalu. Aku berpikir tentang kata-kata itu. Akhirnya aku mengerti, bermimpi ternyata juga untuk mengusir rasa bosan. Tentu saja mimpi yang bersinergi dengan optimisme untuk merealisasikannya. Sebagaimana Ikal, dalam tetralogi Laskar Pelangi, menjumpai mimpi-mimpinya di Prancis untuk menapaki University de Sorbonne.
Bila aku membaca buku yang berbicara tentang petualangan, kadang aku tergerak untuk juga menarik tokoh dalam buku itu ke dalam diriku. Aku ingin menikmati bagaimana pahitnya menjadi seorang pejalan jauh (dalam bahasa Zen Rahmat Sugito). Bagaimana pengembaraan dari kota ke kota menjadi sesuatu yang mengasikkan karena ragam ilmu yang didapat. Bagaimanapun, alam adalah laboratorium ilmu pengetahuan. Darinya, manusia menemukan hal-hal baru yang kadang tak didapat dari membaca buku atau dari omongan orang-orang.
Akhirnya memang akan kembali hanya pada sebuah mimpi. Aku tahu diriku adalah seorang pengecut. Soal pengembaraan, itu hanya sebuah getaran dari efek buku yang dahsyat. Namun, efek itu tak begitu membuatku berinisiatif untuk merealisasikannya. Bila aku berkata padamu bahwa aku ingin sekali mengembara, kau jangan pernah percaya karena pada waktu itu juga aku sudah ragu-ragu pada diriku sendiri.
Mungkin kebosanan sudah memenuhi tiap rongga dalam kehidupanku sehingga kelak aku akan mati dengan kebosanan-kebosanan itu. Dan tentu saja dengan mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan. Sunggu sangat disayangkan hidupku ini!
guluk-guluk, 07 maret 2010
Aku tidak tahu dari mana akan memulai tulisan ini. Saat akan menulis, rasa bosan sudah memuncak di ubun-ubun. Jangan ditanya penyebabnya, aku sendiri juga tidak tahu. Persis seperti yang terjadi pada waktu-waku yang lain dimana aku selalu gagal mencari akar masalah yang membuatku diserang rasa bosan. Mencari akar masalah saja sulitnya minta ampun apalagi mencari solusi. Sungguh rasa bosan adalah sebuah suasana imajiner yang kacau.
Bila rasa bosan ada kaitannya dengan “zona tak nyaman”, tentulah hal ini yang singgung oleh Efek Rumah Kaca (ERK) beberapa waktu lalu. ERK sebuah Band yang mengusung genre berbeda dari mayoritas band tanah air. Saat tampil dalam rubrik Kompas Kita, mereka mengokkang satu idealisme; kami selalu merasa harus berada di luar zona nyaman, bagitu kira-kira inti dari perkataan mereka. Bagi ERK, zona nyaman membuat selera manusia menjadi seragam dan mandul kreatifitas. Seperti halnya musik tanah air yang kebanyakan mengusung tema cinta dengan nada melayu yang mendayu-dayu. Dan celakanya, mereka tidak mengeksplorasi genre mereka sehingga yang nampak adalah keseragaman.
ERK berani tampil beda. Itu kreatifitas dan sekaligus tantangan tersendiri. Kita memang selalu jenuh dengan sesuatu yang tampil nyaris tiap hari dengan format yang sama walau pelakonnya berbeda. Faktanya, timbul tenggelamlah band-band tanah air, nama-nama yang muncul lalu menghablur entah ke mana sekaligus bermunculan band-band baru yang coba mengusung kembali aroma musik band yang sudah tenggelam sebelumnya. Tak bertahan lama, mereka juga tenggelam. Dan begitu seterusnya.
Menjadi berbeda dari jamaah memang membutuhkan tantangan. ERK harus berani mempertahankan idealismenya. Nuansa kritik sekaligus penggunaan bahasa berat yang banyak memenuhi larik-larik lagunya tentu menjadi modal mereka dalam mengusung perbedaan. Namun, itu semua bukan berarti mudah untuk ditawarkan.
Pengakuan mereka, band-band yang memancang idealisme kebanyakan tidak laku. Produser rekaman emoh bekerja sama dengan mereka. Alasannya klasik, lagu-lagu seperti itu tidak laku di pasaran. Sangat mudah ditebak orientasi produser rekaman kita; penjualan yang melimpah yang berarti pula banyak uang yang didapat. Benar-benar klasik memang tapi ia tetap menjadi acuan. Bila demikian, jalan satu-satunya adalah dengan mengusung produser indie (independen).
Tak hanya dari produser, selera pendengar sudah terlalu jauh dikooptasi oleh band-band konvensional. Produser memang banyak berjibaku disini untuk membantu memasarkan album-album mereka. Sementara untuk band indie dengan warna berbeda perlu pontang-panting untuk mendapatkan penggemar. Selain karena mengusung tema baru yang tak mudah diterima, promosi untuk band-band seperti ini sangat sulit karena kebanyakan tidak punya biaya.
******
Belajar dari ERK ada satu titik terang apa kira-kira yang membuat diriku mengalami kebosanan. Ini memang sebatas spekulasi karena pandangan ini sifatnya begitu subjektif. Apa yang kuutarakan mungkin berbeda jauh dengan apa yang kau alami. Untuk masalah ini aku harap kau bermurah hati untuk sedikit mendengar keluhanku.
Seperti kata ERK bahwa kebosanan berawal dari keseragaman, aku kok menemukan pembenaran dalam diriku. Mendengar itu aku begitu mudah menuduh kehidupanku sangat monoton setidaknya bila ditilik lebih jauh mengenai rutinitas keseharianku. Sungguh sangat datar dan tak ada yang bisa dibanggakan. Aku terbiasa menghabiskan hari-hariku hanya untuk ngobrol ini-itu, duduk di depan komputer, baca koran, tidur, sms-an, makan, dll. Apa yang bisa diharapkan dari pekerjaan itu? Adakah sesuatu yang besar berangkat dari kerja keseharian yang sungguh sangat remeh-temeh dan monoton? Aku yakin kau akan mengatakan, tak ada!
Ketika berpikir tentang sesuatu yang besar, aku selalu diliputi rasa menyesal. Perasaan terlambat untuk berproses telah menguasai pikiranku. Berhamburanlah kata “seandainya” dari otakku; seandainya dulu aku suka mengembara, seandainya di sela-sela perjalanan jauh aku selalu meluangkan waktu untuk sekedar membaca beberapa buku, seandainya aku suka mencatat dan suka bertanya, seandainya aku…. Begitulah, kata-kata itu mengaung dan terus berulang merajam otakku. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa selain hanya mendesah.
“Anak muda harus punya mimpi-mimpi”, demikian Andrea Hirata dalam sebuah acara yang diselenggarakan Harian Kompas beberapa waktu lalu. Aku berpikir tentang kata-kata itu. Akhirnya aku mengerti, bermimpi ternyata juga untuk mengusir rasa bosan. Tentu saja mimpi yang bersinergi dengan optimisme untuk merealisasikannya. Sebagaimana Ikal, dalam tetralogi Laskar Pelangi, menjumpai mimpi-mimpinya di Prancis untuk menapaki University de Sorbonne.
Bila aku membaca buku yang berbicara tentang petualangan, kadang aku tergerak untuk juga menarik tokoh dalam buku itu ke dalam diriku. Aku ingin menikmati bagaimana pahitnya menjadi seorang pejalan jauh (dalam bahasa Zen Rahmat Sugito). Bagaimana pengembaraan dari kota ke kota menjadi sesuatu yang mengasikkan karena ragam ilmu yang didapat. Bagaimanapun, alam adalah laboratorium ilmu pengetahuan. Darinya, manusia menemukan hal-hal baru yang kadang tak didapat dari membaca buku atau dari omongan orang-orang.
Akhirnya memang akan kembali hanya pada sebuah mimpi. Aku tahu diriku adalah seorang pengecut. Soal pengembaraan, itu hanya sebuah getaran dari efek buku yang dahsyat. Namun, efek itu tak begitu membuatku berinisiatif untuk merealisasikannya. Bila aku berkata padamu bahwa aku ingin sekali mengembara, kau jangan pernah percaya karena pada waktu itu juga aku sudah ragu-ragu pada diriku sendiri.
Mungkin kebosanan sudah memenuhi tiap rongga dalam kehidupanku sehingga kelak aku akan mati dengan kebosanan-kebosanan itu. Dan tentu saja dengan mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan. Sunggu sangat disayangkan hidupku ini!
guluk-guluk, 07 maret 2010
0 Response to "Sering Diserang Rasa Bosan"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.