Tutus
Dulu, ketika saya masih kecil, Ibu sering bilang, “Usa tutus be’na, Cong, ma’le ta’ cengkal” (Kamu harus di-tutus, Nak, biar tidak nakal). Ucapan itu lahir dari kebiasaan saya yang begitu mudah memecahkan kaca lemari maupun daun pintu ketika sebuah keinginan tidak bisa dipenuhi oleh kedua orang tua saya.
Telah banyak korban berjatuhan. Dinding salah satu lemari yang sobek masih bisa saya saksikan sampai sekarang. Lemari kayu itu dulunya tempat menyimpan pakaian dan perabotan rumah tangga. Namun, sekarang ia sudah turun tahta menjadi tempat persembunyian benda-benda purbakala semacam kaos seragam TK saya yang norak, tas gendong bergambar robot terbang, dan peralatan elektronik peninggalan saya waktu masih suka mempreteli radio National AM/SW milik bapak.
Kebiasaan memecah-belah bangsa, eh, memecah kaca lemari dan daun pintu ini lahir dari kekesalan demi kekesalan. Salah satunya adalah ketika saya tidak dibelikan Game Watch oleh orang tua. Benda sialan ini memang booming waktu itu. Sepupu saya yang lebih sialan dari benda tersebut makin memanas-manasi dengan cara meminjamkannya sebentar kepada saya. Saat sedang asyik-asyiknya main, benda tersebut dia minta. Saya tahu itu adalah cara terburuk menjadi iklan gratis dari produk luar negeri tersebut.
Melihat sejumlah perkara kriminal yang saya lakukan, sering kali Ibu berkata bahwa saya harus menjalani ritual tutus. Dalam tradisi Madura, ritual ini diyakini dapat menekan angka kriminal seseorang.
Tutus dipraktekkan kepada seorang anak lelaki yang sendirian. Maksud saya, ia tak punya saudara lelaki lagi. Kebetulan, saudara-saudara saya yang berjumlah lima orang semuanya adalah perempuan. Karena saya hanya lelaki satu-satunya, maka saya disebut pandhaba. Nah, pandhaba inilah yang harus di-tutus agar tidak nakal.
Sebenarnya, ritual tutus bukan hanya untuk mencegah orang dari sifat nakal. Namun, ada makna lebih universal dari semua itu. Orang-orang Madura di desa saya meyakini bahwa ritual tersebut bisa membuat seseorang lebih mandiri. Mereka tidak lagi bergantung kepada saudari-saudarinya.
Saya belum pernah menyaksikan ritual ini secara langsung karena di desa saya sudah agak jarang dilakukan. Menurut cerita orang tua saya, mereka yang melakukan ritual ini harus memakai kain kafan, bertongkat tusukan serabi, dan menyunggi penai. Penai tersebut berisi air dan uang. Mereka berjalan dari rumahnya ke tapa dangdang atau pertigaan jalan. Sesampai di sana, penai tersebut dipukul di atas kepalanya. Dan tumpahlah air titu ke tubuh orang tersebut.
Saya sangat takut mendengar kata kafan waktu itu. Maka, ketika ibu bilang saya harus di-tutus, saya gemetaran mendengarnya. Dan obat itulah yang menghentikan kriminal-kriminal yang saya lakukan. Tapi hanya sesaat. Esoknya beraksi lagi. :-)
Telah banyak korban berjatuhan. Dinding salah satu lemari yang sobek masih bisa saya saksikan sampai sekarang. Lemari kayu itu dulunya tempat menyimpan pakaian dan perabotan rumah tangga. Namun, sekarang ia sudah turun tahta menjadi tempat persembunyian benda-benda purbakala semacam kaos seragam TK saya yang norak, tas gendong bergambar robot terbang, dan peralatan elektronik peninggalan saya waktu masih suka mempreteli radio National AM/SW milik bapak.
Kebiasaan memecah-belah bangsa, eh, memecah kaca lemari dan daun pintu ini lahir dari kekesalan demi kekesalan. Salah satunya adalah ketika saya tidak dibelikan Game Watch oleh orang tua. Benda sialan ini memang booming waktu itu. Sepupu saya yang lebih sialan dari benda tersebut makin memanas-manasi dengan cara meminjamkannya sebentar kepada saya. Saat sedang asyik-asyiknya main, benda tersebut dia minta. Saya tahu itu adalah cara terburuk menjadi iklan gratis dari produk luar negeri tersebut.
Melihat sejumlah perkara kriminal yang saya lakukan, sering kali Ibu berkata bahwa saya harus menjalani ritual tutus. Dalam tradisi Madura, ritual ini diyakini dapat menekan angka kriminal seseorang.
Tutus dipraktekkan kepada seorang anak lelaki yang sendirian. Maksud saya, ia tak punya saudara lelaki lagi. Kebetulan, saudara-saudara saya yang berjumlah lima orang semuanya adalah perempuan. Karena saya hanya lelaki satu-satunya, maka saya disebut pandhaba. Nah, pandhaba inilah yang harus di-tutus agar tidak nakal.
Sebenarnya, ritual tutus bukan hanya untuk mencegah orang dari sifat nakal. Namun, ada makna lebih universal dari semua itu. Orang-orang Madura di desa saya meyakini bahwa ritual tersebut bisa membuat seseorang lebih mandiri. Mereka tidak lagi bergantung kepada saudari-saudarinya.
Saya belum pernah menyaksikan ritual ini secara langsung karena di desa saya sudah agak jarang dilakukan. Menurut cerita orang tua saya, mereka yang melakukan ritual ini harus memakai kain kafan, bertongkat tusukan serabi, dan menyunggi penai. Penai tersebut berisi air dan uang. Mereka berjalan dari rumahnya ke tapa dangdang atau pertigaan jalan. Sesampai di sana, penai tersebut dipukul di atas kepalanya. Dan tumpahlah air titu ke tubuh orang tersebut.
Saya sangat takut mendengar kata kafan waktu itu. Maka, ketika ibu bilang saya harus di-tutus, saya gemetaran mendengarnya. Dan obat itulah yang menghentikan kriminal-kriminal yang saya lakukan. Tapi hanya sesaat. Esoknya beraksi lagi. :-)
Madura, 6 Januari 2012
Medeni banget. Ditutus aja mas sampeyan, trus diposting di blog ahahaha. *kabuurrr*
ReplyDelete@Ulla von Wieben Coba aja kalo berani. :-D
ReplyDeletehehe..pengen juga ditutus.. :D, di kampung saya lain lagi mas Rozi, ni sekedar sharing budaya ya mas..ini lebih banyak ke masalah mistik gitu, jadi klo ada anak nakal sering dimandiin ma dukun biar gak nakal, efeknya memang dashyat, anak gak berani keluar rumah, celakanya kalo sang dukun keburu meninggal terus mantranya gak dipulihkan, bisa2 seumur hidup anak itu gak berani keluar rumah hehe...syukurlah sekarang jarang yang ambil cara seperti itu :D
ReplyDelete@Tonnys Hahaha... Betul sekali. Di rumah juga begitu, Mas. Sudah jarang ritual-ritual seperti itu dilakukan karena orang-orang sudah makin rasional.
ReplyDeleteTerima kasih sharingnya, Mas. Sangat bermanfaat sekali. :-)
mending lihat karapan sapi mas hehehe
ReplyDeletesalam. . .
@Kaito Kidd Pernah lihat kerapan sapi langsung? :-)
ReplyDeletesejujurnya aku gak ngerti fahrur, ditutus itu diapain? setiap anak laki-laki mesti ditutus ya? kalau enggak?
ReplyDeletedi tutus di apainya, apa kudu anak laki- laki, dan yang pasti anak laki- laki kudu di sunat, lho kox g nyambung...hehheehhe mantap sob...
ReplyDelete@Nurmayanti Zain Tutus itu ritual yang diyakini dapat meminimalisir kenakalan anak, Mbak. Ritual ini khusus hanya kepada anak lelaki yang tidak punya saudara lelaki. Artinya, ia adalah lelaki satu-satunya sesaudara.
ReplyDeleteTidak semua anak harus menjalani ini. Hanya anak tertentu saja.
@goyang pattah-pattah Hihihi... Ini kok nyambungnya langsung ke sunat? Belum disunat tah kang? :-D
ReplyDeleteIya, Tutus memang hanya untuk anak laki-laki yang tidak punya saudara laki-laki.
nice Cerita sob... hadir kembali sobat... maaf baru bisa mampir ada halangan tadi... ehhe :)
ReplyDelete@Black Angel Syndicate Terima kasih atas kunjungannya, Sob. Salam persahabatan. :-)
ReplyDeleteMas Rozi, kayaknya aku mesti di tutus nie :D
ReplyDelete@Tonnys Betul banget, Mas. Biar tak selalu ikut truknya Ko' Hery. :-D
ReplyDeletewaah tradisi yang unik...
ReplyDeletepatut di pertahankan...
:)
ijin follow ya....
kalau berkenan saya tunggu follow baliknya....
:)
@zone Iya, Mas. Tapi orang-orang berpikirnya serba rasional. Mereka makin meminggirkan tradisi macam begini.
ReplyDeleteSaya sudah follow back, Mas. :-)
kalo ada gambar ritual tutusnya, bisa gemeteran ketakutan kali saya. eh di madura ada tuh penyair terkenal timur raja, namanya. bulan lalu ke lombok soalnya setelah dari bali. salam kenal
ReplyDelete@rusydi hikmawan Hihi... saya kurang tahu juga persisnya kayak apa ritual itu, Mas. Soalnya sekarang sudah sangat jarang.
ReplyDeleteMas R. Timur Budi Raja ya? Dia orang Bangkalan, Mas. kabupaten paling barat di Madura. Dulu sering sekali dia ke tempat saya. Ada banyak teman-teman saya kenal sama dia. Saya tidak akrab. Cuma sering menjumpainya di acara-acara sastra.
wahh..ceritanya elo itu nakal ya sob..
ReplyDeleteklo sekarang masih nakal gk?
@binkbenk Dikit aja kok, Sob. Sekarang udah sembuh. :-P
ReplyDelete@Fahrur Roziwkwkwkwk...
ReplyDelete@Fahrur Rozi ohh begitu...
ReplyDeleteritual? hmm. hmm.. kalau nggak ditutus?
@Nurmayanti Zain Ya, ritual. Kalau nggak ditutus katanya anak tersebut tidak mandiri, atau hidupnya terus numpang kepada saudari-saudarinya.
ReplyDelete