Dini Hari
Ketika catatan ini ditulis, aku sedang duduk sendirian di kamar. Teman-teman yang biasanya menemani malamku dengan alunan dengkur mereka tak kelihatan. Mereka memang sedang berlibur untuk suatu keperluan tertentu. Anehnya, mereka pulang bersama-sama, sehingga kamar ini hanya berpenghuni seorang saja: ya, aku.
Sengaja kudekatkan tubuhku ke kolong jendela karena ingin menikmati suasana luar ketika dini hari menjelang. Suasana di halaman lebih tentram ketimbang di dalam. Ingin sekali kubawa tubuhku ke teras depan, tapi dingin begitu menusuk. Sayup-sayup angin menembus celah kecil lubang daun jendela. Kupererat balutan jaketku. Kuedarkan pandangan ke halaman samping untuk mendapatkan sesuatu yang lain dari sekedar suasan sepi dan dingin. Kupandangi lekat lampu jalan tepat di dekat jendela yang menyala temaram, seperti dalam film-film horor Indonesia. Tapi, lampu itu tak mengesankan ia sebagai suasana pemanggil kuntilanak maupun pocong keliling. Ia lebih sebagai benda yang menghadirkan masa lalu. Ah, masa itu. Aku takkan menceritakannya.
Pada suasana sepi macam begini, kau mungkin bisa memanggil masa lalu dari benda-benda yang kau saksikan. Ada suara jangkrik yang tiba-tiba mengisi pendengaranmu. Dengannya, kau bisa membayangkan masa lalu tentang kegemaranmu menindas kaum mereka dengan cara mengadunya semena-mena. Kau membuat makhluk nahas itu menjadi kelimpungan ketika lawannya memiliki tubuh yang kekar dan cangkang yang mengerikan. Tapi kau memaksanya melawan jangkrik itu, walau kau sendiri bahkan tidak yakin akan kemenangan jangkrik yang kau pegang.
Ya, kau bisa mengambilnya dari apa pun di sekitarmu. Dalam hal ini, Erich Fromm mungkin tidak salah bila mengatakan bahwa semua benda memiliki ruh. Selain jangkrik itu, kau masih bisa mencontohkan tentang benda yang kau lihat di dalam laci kemarin sore. Benda itu tiba-tiba menautkan pikiranmu ke masa lalu. Kau telah menaruhnya bertahun-tahun untuk suatu keperluan yang tak pasti. Maksudku, kau hanya ingin menyimpannya saja demi merawat segala kenangan yang bertautan dengan benda tersebut. Dan itu membuatmu tak mengerti mengapa kau harus menyimpannya. Kau hanya tahu bahwa benda tersebut memiliki lorong yang akan mengantarmu dengan cepat ke masa lalu, tempat kau memancang sebuah peristiwa.
Dalam keadaan hening, kau lebih bisa memunculkan kenangan demi kenangan. Mungkin karena sedikitnya gangguan yang tertangkap inderamu. Pada siang hari, kau merasa sangat sulit memanjakannya karena kenangan bisa sangat lambat datang tersebab kegiatan keseharian yang sering tumpang tindih. Dan kau hanya mengingat sekali-kali dengan kilasan-kilasan yang cepat.
Tentu yang diinginkan orang adalah kenangan manis, atau pahit yang berubah manis. Maksudku, dengan mengingatnya kau tak lagi merasa sakit. Orang cenderung menghadirkan kenangan yang bisa membuat mereka tersenyum, bukan kesakitan masa lalu. Bahkan, untuk yang kusebut terakhir, orang lebih suka memendamnya, walau kadang ia lebih menguasai pikiran ketimbang kenangan-kenangan indah. Dan cara yang sering dilakukan orang adalah dengan angslup dalam kegiatan yang padat dan membutuhkan kerja fisik yang keras. Hiruk-pikuk akan membantu orang menghijrakan diri dari perasaan tertekan.
Ahad, 26 Juni 2011
Sengaja kudekatkan tubuhku ke kolong jendela karena ingin menikmati suasana luar ketika dini hari menjelang. Suasana di halaman lebih tentram ketimbang di dalam. Ingin sekali kubawa tubuhku ke teras depan, tapi dingin begitu menusuk. Sayup-sayup angin menembus celah kecil lubang daun jendela. Kupererat balutan jaketku. Kuedarkan pandangan ke halaman samping untuk mendapatkan sesuatu yang lain dari sekedar suasan sepi dan dingin. Kupandangi lekat lampu jalan tepat di dekat jendela yang menyala temaram, seperti dalam film-film horor Indonesia. Tapi, lampu itu tak mengesankan ia sebagai suasana pemanggil kuntilanak maupun pocong keliling. Ia lebih sebagai benda yang menghadirkan masa lalu. Ah, masa itu. Aku takkan menceritakannya.
Pada suasana sepi macam begini, kau mungkin bisa memanggil masa lalu dari benda-benda yang kau saksikan. Ada suara jangkrik yang tiba-tiba mengisi pendengaranmu. Dengannya, kau bisa membayangkan masa lalu tentang kegemaranmu menindas kaum mereka dengan cara mengadunya semena-mena. Kau membuat makhluk nahas itu menjadi kelimpungan ketika lawannya memiliki tubuh yang kekar dan cangkang yang mengerikan. Tapi kau memaksanya melawan jangkrik itu, walau kau sendiri bahkan tidak yakin akan kemenangan jangkrik yang kau pegang.
Ya, kau bisa mengambilnya dari apa pun di sekitarmu. Dalam hal ini, Erich Fromm mungkin tidak salah bila mengatakan bahwa semua benda memiliki ruh. Selain jangkrik itu, kau masih bisa mencontohkan tentang benda yang kau lihat di dalam laci kemarin sore. Benda itu tiba-tiba menautkan pikiranmu ke masa lalu. Kau telah menaruhnya bertahun-tahun untuk suatu keperluan yang tak pasti. Maksudku, kau hanya ingin menyimpannya saja demi merawat segala kenangan yang bertautan dengan benda tersebut. Dan itu membuatmu tak mengerti mengapa kau harus menyimpannya. Kau hanya tahu bahwa benda tersebut memiliki lorong yang akan mengantarmu dengan cepat ke masa lalu, tempat kau memancang sebuah peristiwa.
Dalam keadaan hening, kau lebih bisa memunculkan kenangan demi kenangan. Mungkin karena sedikitnya gangguan yang tertangkap inderamu. Pada siang hari, kau merasa sangat sulit memanjakannya karena kenangan bisa sangat lambat datang tersebab kegiatan keseharian yang sering tumpang tindih. Dan kau hanya mengingat sekali-kali dengan kilasan-kilasan yang cepat.
Tentu yang diinginkan orang adalah kenangan manis, atau pahit yang berubah manis. Maksudku, dengan mengingatnya kau tak lagi merasa sakit. Orang cenderung menghadirkan kenangan yang bisa membuat mereka tersenyum, bukan kesakitan masa lalu. Bahkan, untuk yang kusebut terakhir, orang lebih suka memendamnya, walau kadang ia lebih menguasai pikiran ketimbang kenangan-kenangan indah. Dan cara yang sering dilakukan orang adalah dengan angslup dalam kegiatan yang padat dan membutuhkan kerja fisik yang keras. Hiruk-pikuk akan membantu orang menghijrakan diri dari perasaan tertekan.
Ahad, 26 Juni 2011
0 Response to "Dini Hari"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.