-->

Menghukum Siswa

http://cybersulut.com
Mengajar bukanlah cita-cita saya. Maksudnya, mengajar di lembaga formal. Saya lebih tertarik sharing ilmu di kelompok-kelompok belajar non formal. Di sana saya merasa komunikasi lebih cair dan gap antara guru dan murid amat tipis. Lain dengan di lembaga pendidikan formal yang lebih sering membuat jurang mendalam antara siswa dengan guru.

Memang, hal itu bergantung sikap masing-masing guru. Di lembaga non formal pun bisa jadi ada guru yang membikin gap sendiri dengan anak didiknya. Namun, kemungkinan untuk membuat gap lebih banyak disumbangkan oleh pendidikan formal. Contoh kecilnya adalah posisi bangku di dalam kelas. Model warisan kolonial ini saya lihat secara psikologis memengaruhi kedudukan guru dan murid, atau murid dengan murid. Adanya bangku-bangku dan kursi membatasi gerak mereka. Ada jarak yang tegas antara satu murid dengan murid lainnya, antara guru dengan muridnya.

Mungkin saya terkesan membesar-besarkan masalah kecil ini. Cuma masalah bangku saja dibesar-besarkan. Oke, saya terima jika ada pembaca yang berpikiran demikian. Namun, saya tetap yakin ada pengaruhnya karena manusia punya ruang psikologis. Kadang apa yang kita pandang kecil bisa memberi pengaruh besar terhadap ruang psikis mereka.

*****

Meski kurang berminat mengajar di lembaga formal, namun saya tetap menerima permohonan salah seorang teman untuk mengajar di lembaga yang dikelolanya. Saya terima permohonan itu lebih karena didorong oleh keinginan untuk membantu. Kebetulan di sana minim tenaga pengajar. Maklum, lembaganya adalah rintisan.

Satu hal lagi yang membuat saya mau mengajar adalah gurunya boleh memakai sarung, tidak harus celana. Bagi saya, bercelana kadang kala adalah siksaan yang amat nyata. Sebagai orang udik dan kampungan, saya lebih enak memakai sarung. Sarung, bagi saya, adalah lambang efisiensi, pakaian informal yang mengesankan kesederhanaan.

Celana lebih sulit cara pakainya ketimbang sarung. Bahkan, dalam kondisi tertentu, celana malah menyiksa. Celana tidak bisa dilepaskan ke atas dari tubuh, tidak seperti sarung yang bisa dilepas dari bawah dan atas. Inilah simpelnya yang membuat saya suka.

Bila bepergian pun, saya kerap memakai sarung. Tentu, jika hal itu bukan untuk urusan formal. Kalau acara formal saya tetap memakai celana. Contohnya, ketika saya ke dinas-dinas di Sumenep, maka saya memakai celana untuk menghormati mereka. Lain halnya kalau hanya untuk nongkrong di Taman Adipura. Saya biasa sarungan, tidak seperti teman-teman lain yang kerap bernecis-necis ria. Padahal, orang sana sendiri lebih suka pakai celana pendek dan sandal jepit.

****

Selama mengajar, saya belajar banyak hal di dalam kelas. Kehidupan di dalamnya sungguh unik. Saya menemui berbagai masalah yang menarik untuk terus dikaji. Fenomena-fenomena tersebut mungkin juga ada di sekolah-sekolah lain, tidak hanya di tempat saya mengajar. Bisa jadi, hal itu merupakan produk pengajaran dan sistem di sekolah yang sudah berlangsung selama ini.

Pernah dalam sebuah kesempatan saya memberi tugas kelas kepada murid-murid. Saya meminta mereka membuat kalimat dengan memfungsikan kata-kata yang sudah saya tulis di papan. Saya sengaja membuat kata yang unik agar siswa bisa lebih keras berpikir dan berimajinasi. Mislanya, di papan saya menulis tiga kata: singa, makan, koran. Tiga kata tersebut harus mereka bikin sebuah kalimat yang nyambung dan logis. Dengan membuang tanda koma barangkali kata-kata tersebut sudah bisa menjadi kalimat. Namun, apakah itu logis? Belum tentu. Nah, di sinilah siswa dituntut berpikir mendalam untuk membuatnya menjadi kalimat yang nyambung dan masuk akal.

Saya meminta mereka mengacungkan tangan bagi yang ingin menjawabnya. Namun, dari keseluruhan siswa, tak tampak satu pun yang mengacungkan tangan. Lalu, saya coba bertanya, kenapa tidak ada yang berani menjawab. Beberapa di antara mereka bilang, “Takut salah, Ustadz”. Sampai di sini, kalimat tersebut berhasil mencuri perhatian saya. Saya terus bertanya-tanya dalam hati, kenapa mereka takut salah? Apa yang mereka takutkan? Apakah mereka akan dihukum kalau salah? Nyatanya saya tidak pernah menghukum fisik mereka.

Sampai jam pelajaran usai, saya masih terus berpikir kira-kira apa yang menyebabkan anak-anak itu menyimpan pikiran demikian. Saya lalu membuat sebuah kesimpulan kecil, bahwa ini adalah warisan pendidikan masa lalu yang keras. Saya kemudian ingat ketika belajar di sekolah dasar dulu. Ada sebagian guru yang memberdirikan murid-muridnya karena mereka salah mengerjakan soal.

Dengan asumsi yang demikian, maka tiap kali memberi tugas, saya selalu bilang bahwa saya tidak akan menghukum mereka walaupun menjawab salah. “Saya bukan polisi yang punya pentungan,” kata saya. Saya terus membujuk mereka agar berani. Saya bilang, lebih baik salah dari pada tidak mengerjakan. Minimal kalau sudah mengerjakan, kita sudah berusaha. “Kalau salah, kita akan perbaiki bersama-sama”.

Selain itu, saya juga mencoba mengubah cara “menghukum” siswa yang tidak mengerjakan tugas. Dulu, jika mereka tidak mengerjakan tugas harus berdiri, bahkan kadang sampai jam pelajaran berakhir. Saya mengubahnya menjadi sedikit berbeda, misalnya dengan meminta mereka mengerjakan tugas baru di dalam kelas. Tugas tersebut lebih berat ketimbang pekerjaan rumah yang sudah saya berikan sebelumnya. Namanya juga hukuman.

Setelah saya bilang hukumannya adalah seperti itu, mereka yang tidak mengerjakan malah ingin hukuman berdiri atau sanksi fisik lainnya. Saya tetap ngotot dengan hukuman mengerjakan tugas tersebut. Dan saya bilang kepada mereka, bahwa hukuman fisik itu tidak mencerdaskan. “Kalaupun kalian saya hukum berdiri di terik matahari, saya tidak yakin setelah itu kalian akan belajar,” kata saya. Walaupun belajar, mungkin motivasinya bukan lagi untuk memperoleh wawasan, tapi hanya agar terbebas dari hukuman berdiri. Jadi, mereka hanya takut saja, bukan karena merasa butuh belajar.

Yang juga coba saya ubah adalah masalah penilaian. Saya mencoba mengaplikasikan metode-metode yang pernah disampaikan oleh Rhenald Kasali. Saya tidak memberi mereka nilai angka, tetapi dengan kata-kata. Untuk tahap awal, saya memberi angka dan tulisan. Angka itu saya letakkan karena untuk menghargai mereka yang belum terbiasa dengan penilaian dengan kata-kata.

Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan itu benar atau salah. Saya berdoa saja, semoga itu adalah jalan terbaik untuk membuat para siswa lebih punya wawasan dan kepercayaan diri.

Saya suka mencoba hal-hal baru. Kebiasaan itu saya bawa ke dalam kelas. Namun, karena umur mengajar saya masih belia, saya belum menjumpai efek positif yang mereka dapat. Mengubah kebiasaan memang tidak bisa sekali jalan, harus bertahap dan kadang jalannya sangat lambat.

Masih banyak tugas yang harus saya kerjakan. Tantangan di masa depan jauh lebih rumit, Jenderal! 

madura, 02 desember 2012 

0 Response to "Menghukum Siswa"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel