Pernikahan yang Mengejutkan
Kabar itu, menurut saya, datang terlalu cepat. Semalam, kata
seorang teman, ia masih tidur di kantor LPM Instika, membungkus erat tubuhnya yang
kedinginan dengan kain sarung. Tiba-tiba, siang kemarin (28 November 2012), ia menelepon saya dan
bilang telah menikah. Menikah?
Pada awalnya saya tidak percaya karena kerap ia berguyon.
Namun, menyadari bahwa nomer yang dipakainya adalah nomer si istri, saya lalu
yakin ia telah benar-benar menikah. Terlebih lagi, terdengar riuh rendah suara
si istri dan orang-orang yang ngobrol di sampingnya. Saya bertanya, “kapan
akadnya?” Ia bilang, “barusan”. Lalu ia tutup telepon karena kerabatnya akan
pamit. Ia berjanji akan menelepon saya kembali setelah orang-orang tersebut
pulang. Dan benar, ponsel saya kembali berdering. Dari dia.
Oh, ya. Sebelum dia menelepon pertama kali, seseorang telah
mengirim saya sebuah pesan, mengabarkan kalau dia memang akan menikah. Namun,
pesan tersebut tidak begitu saya percaya karena belum mengetahui dari sumber
aslinya. Baru setelah dia menelepon saya menjadi percaya meski masih terus berada
dalam keterkejutan dan seliweran tanda tanya.
Dalam obrolan kedua, dia bilang bahwa dulu sudah pernah
mengatakan kalau dirinya tidak lama lagi akan menikah. Kala itu saya memang tidak
menanggapinya karena tidak begitu yakin hal
tersebut akan terjadi. Tersebab, si perempuan masih semester lima dan si
laki-laki semester tujuh. Memang, tingkat pendidikan ini tidak ada kaitannya
dengan pernikahan, namun biasanya beberapa orang memilih menyelesaikan kuliah
lebih dulu sebelum mereka menikah. Saya juga kurang percaya atas pengakuan
tersebut karena si perempuan tidak pernah bicara tentang pernikahan ini,
padahal ia adalah teman akrab yang seakan-akan sudah menjadi keluarga saya.
Ia juga berjanji akan mengirim sesuatu kepada saya dan teman-teman
kampus. “Saya akan ke sana sebentar lagi, Nom. Tunggu di kampus ya?” katanya di
seberang. Saya mengiyakan sambil menerka-nerka apakah ia akan datang bersama
istrinya. Saya lalu berangkat ke kampus untuk menunggunya. Di sana saya bertemu
dua orang teman dan mengabarkan tentang pernikahan ini. Mereka terkejut dan
keheranan, seakan tak percaya apa yang telah terjadi.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya ia datang. Ternyata ia
benar-benar sudah menikah. Seorang perempuan ikut bersamanya. Dialah sang istri.
Perempuan itu membawa keponakan kecilnya.
Di kampus, ia ditanya macam-macam oleh teman-teman saya. Ada
yang bertanya serius dan ada pula yang hanya berguyon. Sambil mengemas
pakaiannya, ia kadang menjawab dan kadang hanya tersenyum. Saya dan teman-teman
masih dalam rasa keheranan yang belum usai. Tidak menyangka kalau mereka sudah
resmi menjadi suami istri.
Kepada si perempuan saya mengguyon, “Kamu menikah beneran
ya?” Dia hanya tersenyum.
Mereka berdua sangat akrab, seakan sudah menjadi suami istri
agak lama. Memang keduanya sudah agak lama saling kenal. Terlebih lagi, mereka
tidak menyimpan rasa canggung di hadapan saya dan teman-teman.
Kemesraan mereka membuat seorang teman bertanya, “Kak,
sampean tidak ngiri sama mereka berdua? Kalau ngiri ayo cepat nikah.” Saya
hanya tersenyum dan memilih tidak menjawab. Saya merasa belum siap walau ada
keinginan untuk itu. Hehe…
****
Bagi saya, ia termasuk orang yang berani. Setidaknya, secara
usia lebih muda dari saya. Lelaki seusia dia tentu harus diacungi jempol bila sudah
memikirkan banyak hal tentang kehidupan di masyarakat kelak. Saya sendiri belum
berani berpikir tentang itu, meski otak terus memproduksi ingatan-ingatan
tentangnya. Bagaimanapun, kehidupan dalam masyarakat banyak berbeda dengan
kehidupan ketika masih menjadi anak muda.
Mungkin ini hanya kekhawatiran saya menghadapi kehidupan
masa depan. Namun, saya kira, tak ada buruknya memikirkan hal itu jauh-jauh
hari sebelum benar-benar hidup dalam keluarga dan masyarakat. Toh, dengan
memikirkannya kita bisa membuat sebuah perencanaan tentang kehidupan yang lebih
baik. Saya yakin, kehidupan yang terencana jauh lebih baik dari pada yang
tidak.
Pernikahan, bagi saya, adalah pintu masuk menuju kehidupan yang
lebih realistis. Ia adalah akhir dari kehidupan masa muda yang lebih sering
main-main. Rencana-rencana di masa lalu tentu tidak harus semua terlaksana
ketika berada dalam kehidupan yang lebih realistis tersebut. Namanya juga
rencana, mesti ada sesuatu yang luput, tidak sesuai dengan dugaan-dugaan
terdahulu. Namun, pada saat itulah, kita akan belajar dari kegagalan-kegagalan
masa lalu.
****
Kepada kawan tersebut saya ingin menyampaikan turut
berbahagia karena telah menyempurnakan sunnah Rasul. Kehidupan kalian sudah
berubah. Tidak lagi hanya diisi dengan facebookan dan teleponan. Kehidupan masa
depan jauh dari sekedar situs jejaring sosial. Ada banyak tugas-tugas yang
mesti diemban. Kalian telah menjadi orang tua. Hehehe….
Barangkali saya tidak pantas mengkhotbahi mereka yang sudah
lebih berani ketimbang saya. Namun, sebagai orang yang sangat dekat dengan
keduanya, saya merasa terpanggil untuk berbagi dan saling berembuk demi sama-sama
menikmati hidup yang lebih baik di masa depan.
Pernikahan seakan-akan telah membikin batas yang tegas
antara masa muda dengan masa tua. Masa muda seakan telah jauh berada di masa
lalu, padahal ia hanya kemarin saja dilalui. Begitulah, pernikahan menuntut banyak
perubahan dalam hidup kita. Perubahan tersebut memberi garis yang lugas antara
kehidupan di masa lalu dengan masa depan.
Selamat menempuh hidup baru. Semoga cepat mendapat momongan.
Amin.
(Untuk pernikahan Isni
Habib dan Ummul karimah)
saya merasa harus bertanya: kenapa dia memilih menelponmu saat akad pernikahannya baru saja selesai dilaksanakan?
ReplyDeletesepertinya si penelpon hendak berkata "saya yang lebih muda dari kamu berani menikah, sementara engkau yang sudah berusia sarjana tapi tidak berani menikah"
hahahahahah
Nanti saya akan menikah juga. :D
Deletewah mas rozi malah belum menikah ya ....ayo buruan nyusul nikah...
ReplyDeleteiya, kapan-kapan saya juga akan menikah. Tenang saja. :D
Delete