Aku dan Sakit Gigi
“Lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati”
Bagi sebagian orang, ungkapan ini menjadi amat sangat sederhana, terkesan mengada-ada dan bahkan kontradiktif, terutama bagi mereka yang sudah merasakan bagaimana nyeri-pedihnya sakit hati. Bagaimana mungkin sakit hati yang kadang membuat orang gelap mata bisa dipunggungkan dengan sakit gigi? Jauh sekali kiranya medan yang harus ditempuh karena dua dimensi sakit dalam diri manusia itu berbeda jauh. Satunya bersifat fisik, sementara yang satu lagi bersifat psikis.
Ungkapan di atas tentulah sangat subjektif sifatnya. Perlu ditanya lebih mendalam apa gerangan motif lahirnya? Baiklah, kuberikan jawabannya. Kenapa lahir ungkapan itu? Karena aku belum pernah sakit hati. Jika belum pernah merasakan sakit hati, mana bisa membandingkannya. Hehe…
****
Sakit gigi dalam beberapa tahun terakhir ini seringkali hinggap di mulutku. Jika masuk angin, maka sasaran empuk untuk menjadi biang keladi rasa nyeri adalah gigi. Gigi graham bagian bawah tepatnya. Bila sakit gigi mendera, gusi rasanya seperti ditusuk-tusuk, entah apa.
Kejadian yang paling membuatku terpuruk adalah saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) beberapa bulan lalu. Kondisi geografis daerah yang kutempati agak berdekatan dengan laut, sehingga memaksa ketahanan tubuhku limbung. Jika malam, suhu udara sungguh sangat dingin menusuk dan jika siang panas bukan main. Dan anehnya, selalu pada malam hari sakit gigiku kambuh.
Siang hari, jika akan sakit gigi, terasa sudah ada gejalanya. Nyeri-nyeri sedikit di gusi dan di samping tenggorokan bagian kanan. Aku biasanya langsung mengoleskan minyak angin atau menambalnya dengan Salonpas. Namun, seringkali dua obat itu tidak mempan. Selesai Isya’, mulailah sakit gigi itu mecekik-cekik gusi dan tenggorokanku. Hingga puncaknya pada dini hari. Sakit tak kepalang hingga kadang membuatku ingin mencabutnya kedokter namun selalu kuurungkan. Sakit itu baru berakhir setelah matahari tampak di ufuk timur. Entahlah, apakah sakit gigi ada hubungannya dengan hantu yang takut matahari?
Kejadian di tempat KKN itu pas hari pertama aku sampai di sana. Rasa sakit tersebut bercampur-baur dengan rasa tak kerasan yang menghantam-hantam perasaan. Tubuh yang letih dan awam keadaan desa memaksa tubuhku terpuruk di tempat tidur. Tak ada petunjuk ke mana mau berobat. Untunglah ada kawan yang mau berbaik hati membelikanku obat. Rasa sakit itu akhirnya bisa dinetralisir.
Kejadian keduakalinya juga di tempat KKN. Kejadian ini yang paling membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain meratapi nasib. Dalam semalam aku menghabiskan empat lembar Salonpas ukuran besar dan satu pil sakit gigi. Semua obat itu kampretnya dianggap angin lalu oleh rasa sakitku. Tak ada yang mempan meski sudah banyak kuhabiskan. Hanya meratap dan berdoa itulah jalan terakhir yang kulalui malam itu. Dan seperti biasa, sakit gigi itu mulai sembuh ketika matahari sudah terbit.
Di pondok, aku juga sering merasakan sakit gigi. Namun, di sini lebih mudah merawatnya. Jika terasa gigi sudah mau sakit, maka kupersiapkan diri ini untuk bisa mencegahnya. Aku akan meminta bantuan seorang kawan untuk mengerok punggungku atau membeli obat masuk angin.
Di rumah, liburan Ramadhan kemarin, aku juga disambagi makhluk sialan ini. Semalam suntuk aku tertungging-tungging di ranjang. Aku malas yang mau membangunkan Ibu-Bapak dan Adik-adikku. Akhirnya, malam itu aku tersiksa sendirian. Aku pindah dari ranjang ke kamar depan. Tidur di bawah tak beralas apa-apa. Sungguh malang. Waktu sahur sakit gigiku baru hilang dan muncul lagi keesokan malamnya. Ibu kemudian mengerokku dan aku tertidur pulas hingga datang waktu sahur lagi.
Setelah kejadian berkali-kali itu, kurasakan kerokan adalah senjata paling ampuh untuk menumpas sakit gigi keparat itu. Aku semakin yakin bahwa ada keterkaitan antara masuk angin dengan sakit gigi. Namun secara medis aku masih belum berjumpa dengan penjelasan seperti ini. Hanya seorang kawan pernah mengatakan kepadaku, bahwasanya sakit gigi itu ada hubungannya dengan lambung. Katanya, ada masalah dengan lambungku sehingga jika masuk angin sakitnya akan bertumpu di gigi. Entah, apakah benar keterangan seperti ini? Aku tidak tahu.
Dari sekian kejadian itu, anehnya gigiku tak pernah berlubang. Lain dengan dulu, ketika aku masih di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kala itu, aku sering merasakan sakit gigi ketika ada makanan yang menyumbat gigi yang berlubang tersebut. Dengan hanya mencongkel sisa makanan yang menyumbat tersebut aku sudah tidak merasakan sakit lagi.
*****
Mungkinkah jika sakit gigi punya hubungan secara genetis? Aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah keluargaku memiliki riwayat sakit gigi yang sama. Menurut cerita Ibu, Bapak adalah orang yang menderita sakit gigi paling parah dalam keluarga kami. Pipinya sampai bengkak sehingga memaksa Bapak mencabutnya ke seorang dokter di Pamekasan. Pulang dari mencabut gigi itu, darah dan nanah muncrat dari liang gigi yang dicabut itu. Handuk yang dibawanya penuh oleh warna merah.
Sakit gigi juga pernah melanda saudara-saudaraku. Kakak Perempuanku yang nomer dua lebih parah dari saudara-saudaraku yang lain. Dia pernah hampir semaput gara-gara sakit ini. Berbagai macam obat didatangkan tapi tak mempan. Dari yang biasa sampai yang menjijikan, seperti air bekicot. Sakit giginya baru bisa sembuh setelah gigi itu dicabut kepada seorang dokter.
Saudaraku yang nomer tiga dan nomer enam juga sering memiliki pengalaman yang sama. Saudaraku yang nomer tiga pernah mengalami bengkak dan mencabut giginya ke dokter. Dan saudaraku yang nomer enam sering mengalami sakit gigi berlubang walau belum pernah mencabutnya ke seorang dokter.
Saudaraku yang sepertinya belum pernah mengalami sakit gigi adalah saudara tertua dan saudara nomer lima. Mungkin mereka mengikuti gen ibu yang memang belum pernah sakit gigi.
Bagi sebagian orang, ungkapan ini menjadi amat sangat sederhana, terkesan mengada-ada dan bahkan kontradiktif, terutama bagi mereka yang sudah merasakan bagaimana nyeri-pedihnya sakit hati. Bagaimana mungkin sakit hati yang kadang membuat orang gelap mata bisa dipunggungkan dengan sakit gigi? Jauh sekali kiranya medan yang harus ditempuh karena dua dimensi sakit dalam diri manusia itu berbeda jauh. Satunya bersifat fisik, sementara yang satu lagi bersifat psikis.
Ungkapan di atas tentulah sangat subjektif sifatnya. Perlu ditanya lebih mendalam apa gerangan motif lahirnya? Baiklah, kuberikan jawabannya. Kenapa lahir ungkapan itu? Karena aku belum pernah sakit hati. Jika belum pernah merasakan sakit hati, mana bisa membandingkannya. Hehe…
****
Sakit gigi dalam beberapa tahun terakhir ini seringkali hinggap di mulutku. Jika masuk angin, maka sasaran empuk untuk menjadi biang keladi rasa nyeri adalah gigi. Gigi graham bagian bawah tepatnya. Bila sakit gigi mendera, gusi rasanya seperti ditusuk-tusuk, entah apa.
Kejadian yang paling membuatku terpuruk adalah saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) beberapa bulan lalu. Kondisi geografis daerah yang kutempati agak berdekatan dengan laut, sehingga memaksa ketahanan tubuhku limbung. Jika malam, suhu udara sungguh sangat dingin menusuk dan jika siang panas bukan main. Dan anehnya, selalu pada malam hari sakit gigiku kambuh.
Siang hari, jika akan sakit gigi, terasa sudah ada gejalanya. Nyeri-nyeri sedikit di gusi dan di samping tenggorokan bagian kanan. Aku biasanya langsung mengoleskan minyak angin atau menambalnya dengan Salonpas. Namun, seringkali dua obat itu tidak mempan. Selesai Isya’, mulailah sakit gigi itu mecekik-cekik gusi dan tenggorokanku. Hingga puncaknya pada dini hari. Sakit tak kepalang hingga kadang membuatku ingin mencabutnya kedokter namun selalu kuurungkan. Sakit itu baru berakhir setelah matahari tampak di ufuk timur. Entahlah, apakah sakit gigi ada hubungannya dengan hantu yang takut matahari?
Kejadian di tempat KKN itu pas hari pertama aku sampai di sana. Rasa sakit tersebut bercampur-baur dengan rasa tak kerasan yang menghantam-hantam perasaan. Tubuh yang letih dan awam keadaan desa memaksa tubuhku terpuruk di tempat tidur. Tak ada petunjuk ke mana mau berobat. Untunglah ada kawan yang mau berbaik hati membelikanku obat. Rasa sakit itu akhirnya bisa dinetralisir.
Kejadian keduakalinya juga di tempat KKN. Kejadian ini yang paling membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain meratapi nasib. Dalam semalam aku menghabiskan empat lembar Salonpas ukuran besar dan satu pil sakit gigi. Semua obat itu kampretnya dianggap angin lalu oleh rasa sakitku. Tak ada yang mempan meski sudah banyak kuhabiskan. Hanya meratap dan berdoa itulah jalan terakhir yang kulalui malam itu. Dan seperti biasa, sakit gigi itu mulai sembuh ketika matahari sudah terbit.
Di pondok, aku juga sering merasakan sakit gigi. Namun, di sini lebih mudah merawatnya. Jika terasa gigi sudah mau sakit, maka kupersiapkan diri ini untuk bisa mencegahnya. Aku akan meminta bantuan seorang kawan untuk mengerok punggungku atau membeli obat masuk angin.
Di rumah, liburan Ramadhan kemarin, aku juga disambagi makhluk sialan ini. Semalam suntuk aku tertungging-tungging di ranjang. Aku malas yang mau membangunkan Ibu-Bapak dan Adik-adikku. Akhirnya, malam itu aku tersiksa sendirian. Aku pindah dari ranjang ke kamar depan. Tidur di bawah tak beralas apa-apa. Sungguh malang. Waktu sahur sakit gigiku baru hilang dan muncul lagi keesokan malamnya. Ibu kemudian mengerokku dan aku tertidur pulas hingga datang waktu sahur lagi.
Setelah kejadian berkali-kali itu, kurasakan kerokan adalah senjata paling ampuh untuk menumpas sakit gigi keparat itu. Aku semakin yakin bahwa ada keterkaitan antara masuk angin dengan sakit gigi. Namun secara medis aku masih belum berjumpa dengan penjelasan seperti ini. Hanya seorang kawan pernah mengatakan kepadaku, bahwasanya sakit gigi itu ada hubungannya dengan lambung. Katanya, ada masalah dengan lambungku sehingga jika masuk angin sakitnya akan bertumpu di gigi. Entah, apakah benar keterangan seperti ini? Aku tidak tahu.
Dari sekian kejadian itu, anehnya gigiku tak pernah berlubang. Lain dengan dulu, ketika aku masih di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kala itu, aku sering merasakan sakit gigi ketika ada makanan yang menyumbat gigi yang berlubang tersebut. Dengan hanya mencongkel sisa makanan yang menyumbat tersebut aku sudah tidak merasakan sakit lagi.
*****
Mungkinkah jika sakit gigi punya hubungan secara genetis? Aku tak tahu. Yang kutahu hanyalah keluargaku memiliki riwayat sakit gigi yang sama. Menurut cerita Ibu, Bapak adalah orang yang menderita sakit gigi paling parah dalam keluarga kami. Pipinya sampai bengkak sehingga memaksa Bapak mencabutnya ke seorang dokter di Pamekasan. Pulang dari mencabut gigi itu, darah dan nanah muncrat dari liang gigi yang dicabut itu. Handuk yang dibawanya penuh oleh warna merah.
Sakit gigi juga pernah melanda saudara-saudaraku. Kakak Perempuanku yang nomer dua lebih parah dari saudara-saudaraku yang lain. Dia pernah hampir semaput gara-gara sakit ini. Berbagai macam obat didatangkan tapi tak mempan. Dari yang biasa sampai yang menjijikan, seperti air bekicot. Sakit giginya baru bisa sembuh setelah gigi itu dicabut kepada seorang dokter.
Saudaraku yang nomer tiga dan nomer enam juga sering memiliki pengalaman yang sama. Saudaraku yang nomer tiga pernah mengalami bengkak dan mencabut giginya ke dokter. Dan saudaraku yang nomer enam sering mengalami sakit gigi berlubang walau belum pernah mencabutnya ke seorang dokter.
Saudaraku yang sepertinya belum pernah mengalami sakit gigi adalah saudara tertua dan saudara nomer lima. Mungkin mereka mengikuti gen ibu yang memang belum pernah sakit gigi.
guluk-guluk, 22 september 2010
Lebih Baik Sakit gigi dari pada sakit hati :D
ReplyDelete