-->

Kisah Teman-Teman Kecilku


Kini, kubenarkan pepatah lama yang mengatakan, mencari kawan lebih mudah ketimbang merawat perkawanan itu sendiri. Meski lawas, pepatah itu tetap memiliki relevansi dengan kejadian di masa kini.

Ya, setelah sepuluh tahun berlalu, efeknya baru terasa sekarang. Kawan-kawan masa kecilku, ada di mana kalian? Sudah punya anakkah? Bila iya, aku siap jadi menantu salah satu diantara kalian.

Sepanjang satu dasawarsa itu (mulai tahun 2001), komunikasiku dengan mereka makin jarang. Bahkan, ada yang tak pernah sama sekali. Terlebih, setelah mereka keluar dari sekolah dasar, ada sejumlah kawanku yang pergi merantau. Sebagian pergi mondok sepertiku. Hanya pada hari-hari besar mereka pulang kampung. Barangkali karena aku berada di pondok, komunikasi itu kian sulit terjalin.

Tapi, bila perkawanan mudah saja hilang, maka kenangan tentang mereka tentu lebih awet. Untuk menjaga agar kenangan itu tak juga raib, maka kutuliskan rekam masa lalu tentang mereka. Sekelumit saja, karena otakku tak cukup kuat menyimpan memori masa lalu. Maklumlah, sudah kepala lima alias pikun. Kuharap kalian bisa mengerti.

Baiklah, kutulisakan kisah mereka satu persatu, sekali lagi, yang masih kuingat.

Namanya Arsyi. Tubuhnya tinggi menjulang walau agak kurus. Lebih tinggi dariku, dan umurnya pun lebih tinggi, maksudku lebih tua. Kawan ini sangat kaya informasi ketika kuminta menceritakan siapa saja yang mencuri mangga Bhuk Sulama, tetanggaku. Entah, apakah dia ikut membantu operasi garong tersebut atau tidak, aku kurang tahu. Aku pun tak berusaha bertanya karena khawatir dia tak lagi mau bercerita. Kupikir, cerita-cerita action macam begitu sangat menarik karena menantang nyali. Terutama ketika para penggarong itu tercium ulahnya oleh pemilik kebun mangga. Batu-batu sebesar kepalan tangan melayang ke arah mereka. Mereka lari lintang-pukang. Jadi, sayang bila cerita seperti itu tak lagi kudengar dari mulutnya.
Meski suka berkawan dengan preman-preman mangga, kawan yang satu ini bersikap cukup baik padaku. Satu yang tak bisa kulupa, ia sering mentraktirku. Alhamdulillah. Kabar terakhir yang kudapat, ia kini merantau ke Sumatera dan sudah memiliki anak satu. Anak itu ia tinggal di rumah bersama isterinya yang cantik.

Kawan kedua, namanya Ali Fikri. Dia sepupuku. Bila mengingat masa lalunya, serasa aku ingin menjitak kepalanya. Tapi, jika itu kulakukan sekarang, tentu aku tak ubahnya anak kecil. Padahal sudah kepala lima walau belum punya isteri.

Dulu, kalau tidak salah, waktu masih kelas empat Madrasah Ibtidaiyah (MI), dia pernah menantangku mengadu layang-layang. Sore di musim kemarau, telah kupersiapkan segala hal untuk menerima tantangannya. Maka, berangkatlah aku ke tanah lapang sebelah utara rumahku. Di pundakku tersandang layang-layang, persis seperti jenderal kesiangan, eh, bukan, kesorean maksudku, menyandang senapan. Di sana ternyata dia sudah siap. Dia tidak sendirian, di sebelahnya ada kakak dan satu lagi temannya.

Layang-layang dia sudah mengambang di udara. Tak mau buang waktu, aku pun melepas layang-layangku. Tak lama, dua layang-layang itu saling mendekat. Pertengkaran pun dimulai. Udara serasa membara (halah, segitunya). Kadang, layang-layang itu menukik seperti ingin menerkam, kadang menjauh untuk mengambil ancang-ancang. Amarah kami untuk saling menjegal serasa mengikuti benang yang mengendalikan layang-layang itu. Muaranya ada pada layangan yang makin tampak beringas.

Jujur, dalam hal mengadu layang-layang, aku adalah jenderal yang katrok. Tak pernah tahu teknik bagaimana mengecoh lawan sehingga dia lengah. Atau, bagaimana menyiasati benang yang tiba-tiba kebablasan kena ulur. Yang aku tahu hanyalah mengulur benang terus-menerus. Pokoknya jangan didiamkan. Dan, jurus itulah yang aku pakai sore itu. Tapi, apa mau dikata bila Tuhan menghendaki, justru jurus katrok itulah yang memenangkan pertandingan. Layang-layang sepupuku putus. Tubuhnya terjungkal lunglai di udara, persis seperti manusia sedang patah hati. Sepupuku kulihat lebih patah hati karena layang-layang itu tak mau menuruti kehendak tuannya. Melayang jauh, layang-layang itu tertambat di pohon kapuk berbatang setinggi 100 meter. Pohon itu akhirnya menjadi tempat bersemayamnya hingga datang hari kiamat kelak.

Aku puas. Layang-layangku tersenyum di udara. Meliuk-liuk bangga. Aku merasa seperti seorang jenderal yang tak pernah katrok seumur hidup. Dua temanku yang datang terlambat bersorak-sorai. Kupingku tambah melar mendengarnya. Dua sepupuku, kakak beradik itu, serta teman yang satunya sudah raib entah ke mana. Mungkin dia merasa malu dikalahkan oleh sepupunya yang katrok ini (menurut dia, bukan menurutku).

Setelah merasa puas di udara, layang-layangku minta diturunkan. Dia mulai kelelahan setelah berperang cukup lama dengan layang-layang kafir. Dia harus istirahat. Hati-hati kuturunkan dari awang-awang. Sore sudah menyambangi kampungku. Matahari hanya sejengkal di atas bukit sebelah barat. Aku pulang.
Sesampai di rumah, aku langsung menuju tempat istirahat sejumlah layang-layangku. Di sebuah gang, layang-layang itu kugantung. Tapi, betapa kagetnya aku setelah sampai di sana. Dua layang-layangku yang lain sudah raib. Aku bertanya-tanya dan mencoba mengingat-ingat barangkali layang-layang itu kupindahkan dari sana. Tidak mungkin, layang-layang itu masih di situ ketika tadi aku mau berangkat.

Hilang sudah kebanggaan memenangkan pertandingan tadi. Kini berubah kesal. Kesal itu masih terbawa hingga ke mushalla setelah Ibu menyuruhku berangkat mengaji. Aku jadi curiga, jangan-jangan sepupukulah dalangnya. Biar tak berburuk sangka, kususun senuah siasat untuk menyelidikinya. Esoknya, aku pergi ke rumah Bibi bersama Ibu. Di sana, dua sepupuku kebetulan tak ada. Leluasa aku mengobrak-abrik tempat mereka. Dan, betapa kagetnya aku, dua layang-layang itu menggantung di dindingnya. Ia sudah ditambal-tambal untuk menghilangkan jejak. Tapi, tambalannya sangat janggal bagiku. Mudah benar mengetahui pemilik sah layang-layang itu, karena di kertas minyaknya sudah kutulis namaku dengan format kecil sekali, sehingga tak begitu kelihatan. Nah, itulah yang tak mereka deteksi.

Aku tak mengambil layang-layang itu kembali. Aku sudah merasa puas ketika bisa mengetahui siapa pencurinya. Dan, bila mengingat itu hari ini, serasa aku ingin menjitak kepalanya.

Wah, cerita ini sudah terasa panjang, padahal belum selesai. Baiklah, mungkin lain kali kuceritakan teman-temanku yang lain. Masih ada banyak cerita. Ada teman-teman perempuanku juga yang barangkali menarik untuk diceritakan. Salah satunya adalah Sa’diyah, perempuan primadona sekolahku. Alamak….

0 Response to "Kisah Teman-Teman Kecilku"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel