-->

Sastra Pesantren


Tidak bisa dipungkiri bahwa perjalanan panjang eksistensi pesantren dan sastra membentuk semacam sinergi. Barangkali integrasi. Semenjak kelahirannya, pesantren telah menentukan jalan terang bagi berkembangnya dunia intelektualisme dan kesusastraan. Dalam catatan K.M. Faizi di buletin Tera, STKIP edisi II/2008 berjudul ”Akar Kepengarangan dan Susastra Di Pesantren”, didedahkan bahwa akar kesusastraan pesantren telah tumbuh dan berkembang semanjak beberapa abad silam. Pernyataan ini bisa ditengara melalui adanya metode penyerapan maupun transformasi ilmu pengetahuan yang menggunakan bentuk Nadham (syair/puisi). Nyaris, dari sekian cabang ilmu yang diajarkan di pesantren selalu menggunakan model ini. Baik berupa Fiqih, Tauhid, Qawaid Fikih sampai yang paling masyhur, yaitu Barzanji (kumpulan pujian dan doa yang diperuntukkan kepada Nabi Muhammad SAW.)
Metode ulama terdahulu yang menggunakan nadham merupakan sebuah kreatifitas prestisius yang patut dipertahankan. Secara periodis, belum pernah tercatat dalam sejarah mengenai penyampaian ilmu pengetahuan melalui syair/puisi. Paling banter seorang ilmuan merepresentasikan gagasannya melalui bentuk prosa seperti yang dilakukan oleh Albert Camus dan Nietszche. Seperti dalam karya Zarathustra dan La Paste. Selebihnya mereka hanya menggunakan bentuk tulisan konvensional.
Nah, kalau dirunut secara kronologis berarti dunia pesantren telah mengenal sastra dari dalam ranahnya sendiri, bukan dari Barat atau luar Arab. Walaupun bangsa Arab dulu pernah menimba ilmu dari Barat, tapi mereka memformat dan membuat citra tersendiri. Sehingga, yang lahir adalah karya orisinil dan termaktub sebagai hasil karya orang Arab. Secara tekstual, belum banyak ilmuan yang meneliti masalah ini, karena memang pesantren untuk masa-masa sekarang sepertinya kurang berminat menjelajahi lanskap pemikiran para pendahulunya. Mereka seperti masih menunggu uluran tangan dari luar ranah mereka. Orang-orang pesantren masih suntuk berleha-leha dengan kitab-kitabnya. Dan mereka sudah merasa cukup percaya diri dengan semua itu. Walaupun ini “sepele”, penulis kira harus ada yang peduli dan memiliki inisiatif untuk turut urun-rembuk bagaimana memproyeksikan diri mencari kekayaan khazanah terpendam yang dimiliki oleh pesantren itu sendiri. Termasuk, dalam hal ini, meneliti sejarah bagaimana sebenarnya akar susastra dipesantren telah berkembang semenjak dahulu.
Seorang esais dan cerpenis asal Jombang, Fahruddin Nasrulloh, pernah berujar dihadapan beberapa penyair pesantren Annuqayah beberapa bulan lalu. Ia mewanti-wanti untuk membentuk sebuah tim yang bertugas mencari data mengenai para penulis pesantren serta mencatat bagaimana perkembangannya dari generasi ke generasi. Karena baginya, sejarah kepenulisan sebuah kelompok masyarakat (santri) merupakan peradaban adiluhung yang sebetulnya telah dikembangkan oleh para Ulama terdahulu. Karena itu, ia patut dijaga dan terus dilestarikan. Hal ini pula sebagai penyangkalan secara tekstual bahwa pesantren bukan kumpulan orang-orang udik, kuno, kolot, fanatik, marjinal, bahkan yang lebih ekstrim dituduh sebagi sarang teroris. Ya ampun! Melalui bukti tertulis itu publik akan menarik stigma yang kini berarak menghinggapi benak-benak para masyarakat yang tidak pernah tahu pesantren itu seperti apa dan bagaimana.

Baca Juga

Walaupun dalam aras historis belum banyak yang kepincut untuk mengembangkan secara tekstual sejarah sastra di pesantren, tetapi ghiroh untuk tetap menulis karya sastra sepertinya masih bisa diharapkan prospeknya. Terbukti dengan terbitnya tulisan S Yoga di Suara Karya, Sabtu, 7 April 2007 lalu. Dia coba mengangkat beberapa nama yang memungkinkan untuk melanjutkan kerja kreatif di dunia pesantren. Beberapa nama itu diantaranya; M. Faizi, M. zamiel El-Muttaqien, Abdul Hadi, Moh. Hamzah Azra, Edu Badrus Shaaleh, Juwairiyah Mawardi dan lain-lain (Beberapa nama saya tidak letakkan di sini karena mereka sudah berstatus alumni). Catatan S Yoga ini sebenarnya kurang begitu lengkap karena masih banyak penulis-penulis muda berbakat lainnya seperti A’yat Syafrana G. Khalili, Kholil Tirta Paseane, Lukman Mahbubi, Rahmatin dll.
Sudah banyak karya-karya yang mereka torehkan di media lokal dan nasional. Sebagian telah mengorbitkan namanya melalui sayembara penulisan karya sastra yang bertaraf nasional. Dalam beberapa kompetisi ternyata hasil yang mereka peroleh tidak mengecewakan, bahkan beberapa diantara mereka tak jarang mendapat juara pertama. Ini merupakan hasil jerih payah yang harus disikapi positif oleh semua pihak, baik dalam internal pesantren sendiri maupun dunia luar pesantren yang peduli akan keberkembangan dunia sastra.
Namun, sepertinya ghirah pesantren untuk mengembangkan dunia sastra masih belum begitu kentara. Barangkali bisa dikata kurang mendapat perhatian serius. Kebanyakan sastrawan muda itu menyusun puzzle ketenarannya dengan jerih payah sendiri. Mereka tidak memperoleh fasilitas untuk menunjang prosesnya dalam dunia kepenyairan. Seharusnya pesantren mulai melirik kekurangan ini, hingga kelak dapat memenuhinya.
Memang menjadi seorang penyair tidak harus tergantung pada siapapun. Namun, tidak boleh tidak, mereka membutuhkan support dari orang lain. Termasuk, dalam hal ini, adalah institusi yang menaunginya; pesantren. Karena kebesaran pesantren diukur oleh bagaimana alumninya bisa berkreatifitas dan menyuntikkan nilai-nilai positif ke dalam kehidupan masyarakat. Lalu, jika pihak pesantren apatis terhadap ketimpangan ini, maka dari mana alumninya bisa menjadi insan yang diperhitungkan?
Di Sumenep, khususnya PP. Annuqayah, kekurangan vital yang dihadapi adalah tersedianya bahan pustaka yang memadai. Dari beberapa pesantren yang berdiri di Kabupaten ini amat sedikit yang menyediakan buku-buku sastra berkualitas tinggi. Kebanyakan yang ada hanya buku-buku wacana keislaman yang belakangan menjadi trend hingga muncul ikon baru bagi generasi pesantren, yaitu “Santri Baru”. Sebuah generasi yang meneriakkan wacana-wacana progresif bahkan liberal dalam pemikiran Islam. Sementara dari kalangan peminat sastra hanya mendapat sedikit porsi. Keadaan demikian tak boleh berlarut-larut, sebab kebanyakan peminat sastra yang masih pemula kadang merasa minder karena ketiadaan bahan bacaan berkualitas yang disediakan oleh perpustakaan pesantren. Akhirnya, mereka tidak mau menyuntuki dunia sastra lagi.
Disamping itu, pesantren harus mulai membenahi kantong-kantong kesusastraannya. Misalnya menghidupkan kembali diskusi-diskusi, mengutus santri-santrinya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berbau kesusastraan, serta memfasilitasi kegiatan kompetisi kesusastraan. Sebab, selama ini kebanyakan santri masih gagap terhadap wacana-wacana baru yang berkembang di luar wilayah mereka. Santri selalu mendapat jatah terakhir menciduk gagasan-gagasan yang dilahirkan oleh pelaku sastra yang ada di luar dunia mereka.
Untuk mempersempit celah ini, saya kira saatnya pesantren membangun jaringan dengan alumni untuk senantiasa berkontribusi dalam pemenuhan kekayaan sastra yang ada di pesantren. Di beberapa media terkemuka, banyak sekali alumni pesantren yang telah menjadi seorang sastrawan yang diperhitungkan oleh jagad sastra nasional. Nah, dari mereka barangkali bisa diminta bantuan bagaimana juga turut andil membesarkan para sastrawan pesantren tempat mereka dahulu menimba ilmu.
Wallahu a’lam bi al-shawab

Related Posts

0 Response to "Sastra Pesantren"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel