Tentang "Madre"
Telah lama saya membaca buku ini, tetapi pada hari kemarin (Sabtu, 24 Maret 2012) saya baru bisa menyelesaikannya. Begitulah, seperti yang sering saya katakan, saya bukanlah pembaca yang taat. Ia hanya sebagai perintang waktu di masa senggang. Sebuah kebiasaan buruk yang terus saya pelihara hingga kini. Meski saya selalu merutuk untuk itu.
Saya pernah membaca “Perahu Kertas” karya Dewi Lestari. Dan saya jatuh cinta untuk pertama kalinya. Karya itu bergaya teenlit tetapi tidak jatuh kepada kecengengan dalam berbahasa. Maksud saya, Dee--panggilan perempuan itu—punya banyak cara mengikat pembacanya. Salah satunya dengan keluasan wawasan yang dia punya. Meski gaya berbahasanya terkesan sederhana, namun dia berhasil meramu dengan pengetahuan yang luas itu. Alhasil, cerita-cerita yang dia sampaikan selalu bergizi.
Sebenarnya, “Madre” adalah buku ketiga karya Dee yang saya baca setelah “Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh” dan “Perahu Kertas”. Tetapi, saya menganggap buku ini adalah yang kedua, karena membaca “Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh” saya tidak mengerti apa-apa. Maklum, bila bersentuhan dengan ilmu-ilmu eksak, kepala saya pusing tujuh turunan. Itu hal buruk lainnya yang tanpa sengaja terus saya pelihara.
“Madre” bukanlah buku yang tebal. Ia hanya menghabiskan 160 halaman. Tapi, setipis apapun sebuah buku, bila tidak dibaca, ia akan tetap sebuah misteri. Dan saya menyimpan misteri itu hingga beberapa hari. Padahal, bila mau taat, saya bisa menghabiskannya hanya dalam satu-dua hari. Pengalaman itu pernah saya lakukan ketika membaca buku “Sebelas Patriot” karya Andrea Hirata. Saya membacanya sehari semalam.
Saya membaca buku itu di rumah. Entah, saya sering kali menghabiskan lebih banyak buku di rumah ketimbang di pondok. Di sana saya bisa berlama-lama dengan buku. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Barangkali karena di sana tidak ada gangguan yang bisa memengaruhi kerja saya dalam membaca. Maka, biasanya pada liburan pondok, saya selalu menyempatkan diri membawa buku-buku tertentu.
Lain dengan “Perahu Kertas” yang berupa novel, “Madre” adalah sekumpulan kisah semacam novelet dan puisi. Tema yang diangkat di dalamnya juga beragam, meski sebagian besar memiliki benang merah yang sama, yaitu cinta. Tema-tema tentang cinta bisa dilihat dalam tulisan yang berjudul “Madre”, “Have Your Ever”, “Menunggu Layang-Layang”, “Semangkuk Acar untuk Cinta dan Tuhan”, “Guruji”.
“Madre” berkisah tentang seorang lelaki yang tinggal di Bali tiba-tiba terdampar di Jakarta. Ia berada di sana untuk sesuatu yang tidak masuk akal, mewarisi sebuah pabrik pembuat roti bernama Tan De Bakker. Pemiliknya, Tan Sin Gie, baru meninggal dan ia mewariskan pabrik roti itu kepada Tansen Roy Wuisan, nama lelaki itu. Mereka tak saling kenal. Sehingga bagi lelaki itu kejadian ini adalah misteri.
Misteri kian menyelubungi ketika ia bersama Pak Hadi, teman Pak Tan sekaligus keluarga besar Tan De Bekker, menyusuri pabrik roti berumur ratusan tahun. Pak Hadi mengenalkan Madre. Dalam bayangan Tan, Madre adalah seseorang, namun itu jelas salah karena benda tersebut adalah adonan biang pembuat roti yang terbuat dari perkawinan antara air, tepung, dan fungi bernama Saccharomyses exiguus.
Dan dari sinilah cerita Madre terus berkembang. Lambat laun misteri mulai terkuak satu per satu. Madre adalah biang yang membuat roti memiliki cita rasa berbeda dari produk pabrik lainnya. Ia adalah ruh sekaligus ciri khas yang dimiliki Tan De Bakker. Selain itu, Madre tenyata bukan hanya sebuah adonan biang, tetapi telah menjadi semacam keluarga yang menjaga kehidupan keluarga besar pekerja pabrik itu. Kini, para pekerja itu sudah jompo-jompo tetapi memiliki semangat baru karena adanya orang muda yang kini digadang-gadang menjadi ujung tombak perubahan di tubuh Tan De Bakker. Meski Tansen terus menolak karena soal keterampilan masak-memasaknya hanya mentok di mi instan. Bagaimana mungkin orang yang bahkan tak tahu sama sekali tentang roti bisa memimpin sebuah pabrik roti?
Untung ada Pak Hadi yang selalu membesarkan hati pemuda ini. Ia sangat telaten membimbing Tansen dalam mengenal lebih juah pabrik Tan De Bakker. Juga cara membuat roti kebanggaan pabrik ini. Tansen ternyata mewarisi kepiawaian Lhaksmi, nenek Tansen, yang rupanya adalah kekasih Tan. Mereka bedua dipisahkan oleh jenis ras yang berbeda, Laksmi keturunan India dan Tan Cina. Tetapi keduanya tetap memiliki hubungan yang erat hingga menjelang ajal.
Kisah tentang Madre terus menjauh dan mempertemukan Tansen dengan Mei, seorang perempuan pekerja keras yang juga mengembangkan bisnis roti. Dia bertemu Tansen berkat membaca tulisan-tulisannya di blog. Selain jalan-jalan, Tansen juga memiliki kegemaran menulis di blog. Mei langsung tertarik ketika Tansen memposting tulisan tentang Madre. Perkenalan keduanya membawa perubahan baru Tan De Bakker. Pabrik yang sudah tiarap sekian tahun ini mulai hidup kembali setelah Tansen mendapat order dari Mei. Pada akhirnya, bukan hanya order, tetapi pabrik tersebut telah menjadi bagian penting perusahaan Mei.
Dalam kisah ini juga terselip kisah-kisah cinta antara Tansen dengan Mei. Seseorang yang sebelumnya hanya kenal melalui ruang maya.
Sisi menarik tak hanya dikisahkan dalam “Madre”, tetapi Dee masih punya amunisi lain yang cukup ampuh membawa pembacanya pada semesta imajinasi. Ia juga berkisah tentang emosi seorang ibu ketika mengandung anaknya. Betapa mereka hanya dipisahkan kulit selapis saja. Dee meramu bahasa cukup lembut di sini, seakan ia seorang yang tengah menunggu anaknya lahir. Barangkali memang ia tulis dalam keadaan hamil, mengingat di bagian akhir tulisannya ada keterangan “untuk sahabat yang kukandung, Atisha”. Dee memberi judul kisah ini “Rimba Amniotik”
“Have Your Ever” adalah kisah yang sangat sulit saya cerna. Entah apa yang ingin disampaikan oleh Dee dalam cerita ini. Ketidakmengertian jelas bukan salah dia, tapi saya sendiri yang memang jongkok soal pengetahuan bahasa Inggris. Di dalamnya memang bertebaran dialog-dialog berbahasa Inggris.
“Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan” berisi tentang kebencian Dee tentang pertanyaan, Apa itu tuhan? Apa itu cinta? Jawaban itu ia ilustrasikan dengan menguliti bawang hingga tak ada yang bisa dikuliti. Mata mengurai air mata karena kupasan bawang tersebut. Dan Dee sampai pada kesimpulan, Tuhan dan Cinta bukan penjelasan dan tujuan, tetapi perjalanan dan pengalaman.
“Guruji” berkisah tentang seorang perempuan yang mencintai lelaki pengikut yoga hingga lupa kepadanya. Dia merasa kehilangan belahan hatinya. Dee meramu emosi yang begitu pahit dalam adegan ini. Bagaimana si perempuan berusaha mengikuti pelatihan yoga hanya untuk bertemu si lelaki yang kini telah berjuluk Guruji.
“Menunggu Layang-layang” berisi kisah tentang pergulatan cinta seorang lelaki yang tidak sadar bahwa kehidupannya sangat mekanis. Dia tak pernah jatuh cinta, tetapi terus disuguhi cerita-cerita percintaan temannya yang mudah gonta-ganti pacar. Keduanya diombangambingkan oleh persepsi masing-masing dan pada akhirnya memiliki kesimpulan yang sama: si lelaki kesepian dan menunggu, sementara si perempuan kesepian dan mencari. Mereka kemudian dipersatukan oleh rasa yang sama, cinta.
madura, 25 maret 2012
Ulasan buku yang sangat bergizi. Rozi, mator sakalangkong..
ReplyDelete