-->

Belajar Fotografi ke Pak Tedi


Dalam hal fotografi, saya hanyalah seorang penikmat. Untuk menjadi seorang fotografer handal saya harus banyak belajar dan berpraktek. Dan, yang tak kalah penting, saya harus punya bakat.

Kenapa bakat? Orang sering bilang bahwa bakat itu lima persen, 95 persen adalah kerja keras. Ya, dalam bidang yang lain saya masih mempercayainya. Namun, dalam hal fotografi, saya punya keyakinan sebaliknya. Bakat memotret adalah suatu keharusan bagi seorang fotografer. Bakat ini saya sebut sebagai naluri seni fotografi.

Bagi saya, fotografi sama halnya dengan mendesain sebuah tulisan atau gambar di CorelDRAW atau Photoshop. Ketiganya memiliki kesamaan dalam hal meramu komposisi, baik itu warna, posisi, bingkai, dst. Yang membedakan hanyalah teknik membuatnya, di mana fotografi hanya memindahkan sebuah objek ke dalam kamera, sementara CorelDRAW atau Photoshop membuat atau mengotak-atik sebuah objek menjadi gambar.

Orang yang paham CorelDRAW dan Photoshop mungkin banyak. Namun, tidak semua dari mereka bisa menghasilkan sebuah gambar yang bagus. Mereka memang paham fungsi-fungsi tools di dalamnya, namun karena tidak mahir meramu warna, mislanya, hasilnya malah hambar, tidak enak dilihat. Nah, inilah yang saya sebut sebagai sense of photography.

Entah mengapa, seperti halnya mendesain di CorelDRAW dan Photoshop, saya merasa tidak semua orang bisa memotret dengan bagus walaupun mereka rajin belajar motret dan mengerti fungsi tools-nya. Naluri menggambar yang bagus itu tidak dimiliki oleh semua orang.

Keyakinan demikian mungkin saja berdampak buruk ke dalam kehidupan saya. Ia meneror saya terus-menerus bahwa saya memang tidak punya bakat menjadi fotografer. Saya hanya bisa menjadi penikmat saja. Toh, menikmati lebih gampang dari pada membuat sendiri.

Keyakinan itu kian kokoh ketika saya belajar fotografi kepada Bapak Tedi Krisna Wardhana, salah satu instruktur di Darwis Triadi School of Photography, pada Kamis, 29 November 2012, di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Dalam praktek yang saya lakukan, hasilnya tampak sekali saya tidak punya bakat menjadi seorang fotografer. Tidak ada satu gambar pun yang saya hasilkan tergolong bagus.

*****

Sebagai instruktur, tentu saja Pak Tedi amat mahir dalam memotret. Namun, yang sangat saya kagumi adalah kelincahannya dalam memaparkan suatu hal tentang fotografi. Ia selalu menyelipkan humor-humor cerdas untuk memancing tawa peserta workshop kala itu. Misalnya, ia memberi contoh tentang kebiasaan orang-orang sekarang yang suka mengarahkan lensa kameranya kepada dirinya sendiri. Narsis, begitu istilah kerennya. Dengan ekspresi lucu, Pak Tedi berhasil memecah tawa para peserta.

Dalam kesempatan itu, pembicaraan tidak melulu hal yang bersifat teknis. Pak Tedi juga menjelaskan tentang hal-hal fundamental tentang fotografi. Menurutnya, beda antara objek di kamera dengan objek aslinya adalah persoalan batas. Kamera hanya bisa memperlihatkan sedikit saja objek, sementara mata bisa leluasa melihat sesuatu di sekitar objek tersebut. Hal lain lagi, foto juga sebagai proses menghentikan waktu. Ketika tombol klik dipencet, maka pada saat itulah waktu sudah menjadi beku dalam sebuah gambar.

Secara teknis, Pak Tedi memberikan beberapa tips cara mengambil gambar yang bagus. Untuk pemula, belajar fotografi tidak harus punya kamera. Latihannya adalah dengan cara melihat sebuah objek, lalu membikin garis imajiner. Umpamakan garis tersebut adalah garis tepi kamera yang membentuk segi panjang. Hal ini, menurutnya, akan melatih kepekaan dan mempermudah seseorang ketika ia sudah memegang kamera sungguhan.

Dalam memotret orang, ada persoalan teknis yang kerap dilanggar fotografer pemula, misalnya memotret setengah badan, namun ukuran bawahnya berada di atas pergelangan tangan. Sehingga, tangan menjadi terpotong. Dalam dunia fotografi, hal itu sangat dihindari. Jika tetap akan mengambil dengan posisi demikian, sebenarnya bisa disiasati dengan meminta objek untuk menyilangkan tangannya di dada. Hal tersebut lebih aman karena tangannya bisa kelihatan.

Contoh lain, orang yang duduk di belakang meja tangannya harus dinaikkan ke atas meja tersebut. Kalau tidak, hasil foto yang didapat adalah orang buntung. Ini sangat lucu apabila yang duduk di belakang meja tersebut adalah seorang direktur sebuah perusahaan.

Selain berbicara tentang teknis, Pak Tedi juga mengajak peserta untuk ikut praktek secara langsung. Di depan aula tempat berlangsungnya acara, dia memberikan tips bagaimana menghasilkan sebuah foto yang detail. Mula-mula ia memberikan contoh objek kursi. Bagaimana caranya kalau mislanya kita mau membuat sebuah foto kursi yang akan dijual? Tanyanya kepada peserta. Lalu ia mulai mengotak-atik kursi yang ada di hadapannya. Di sinilah saya tahu betul bahwa ia memang sangat teliti. Dengan mudah ia menghasilkan foto yang berbicara. Artinya, orang yang melihat foto tersebut sudah bisa melihat detail kursi. Dengan demikian, pembeli tidak terkecoh dalam membeli kursinya.

Setelah memberikan contoh, ia meminta peserta untuk memotret objek-objek yang di sukai. Saya meminjam kamera teman karena saya tidak punya. Namun, selain karena saya tidak punya sense of photography, kamera tersebut punya kemampuan rendah untuk menghasilkan foto bagus. Warnanya sangat kaku dan buram. Kian buruklah foto yang saya hasilkan.

Selesai praktek, peserta kembali ke dalam ruangan untuk menampilkan karya-karya masing-masing. Kalau saya lihat, sangat sedikit foto yang bisa dikategorikan bagus. Yang lebih banyak adalah foto yang mengundang tawa karena objek-objek yang lucu. Membandingkan foto tersebut dengan foto yang dihasilkan oleh Pak Tedi tentu saja tidak akur, mengingat kamera yang dipakai peserta kebanyakan adalah kamera pocket, sementara milik Pak Tedi adalah kamera DSLR. Tentu kualitasnya akan berbeda. Belum lagi kemampuan masing-masing.

Foto-foto peserta yang ditampilkan di slide dikomentari oleh Pak Tedi. Menurutnya, para peserta (yang kebanyakan santri) punya potensi di bidang fotografi. Ia berharap potensi itu dipupuk agar lebih baik. Ia juga mengusulkan PP. Annuqayah bisa membikin sebuah blog yang didalamnya memuat tulisan dan foto-foto pilihan hasil karya para santri.

Dalam sesi tanya jawab, saya mencoba bertanya soal foto jurnalistik. Kebetulan, sebelumnya juga disinggung tentang foto-foto jurnalistik yang dipampang di situs Wordl Press Photo. Saya bertanya tentang bagaimana jurnalistik (yang berbasis fakta) melihat foto jurnalistik yang kesannya didramatisir. Kesan tersebut seakan menampakkan sang jurnalis foto tidak taat kepada fakta.

Menurut Pak Tedi, tidak ada sebuah karya yang benar-benar objektif. Bahkan berita sekelas harian Kompas pun pasti membawa unsur subjektifitas. Pasti ada pemihakan-pemihakan tertentu walaupun kadang tidak terasa.

Demikianpun dengan dunia fotografi. Tidak ada foto yang benar-benar objektif. Subjektifitas selalu berkelindan dalam diri fotografer. Misalnya dalam suasana perang, apakah ia akan membuat suasana mencekam dalam fotonya atau malah sebaliknya. Nah, dalam hal ini, unsur-unsur subjektifitas memang sulit dihindari karena kadang sudut padang foto didorong oleh perasaan fotografernya.

Oleh karena itu, menurut Pak Tedi, semua kembali kepada nurani masing-masing fotografer.

Terima kasih, Pak Tedi.

Jum'at, 30 November 2012
[sumber foto: http://madaris3annuqayah.blogspot.com]

2 Responses to "Belajar Fotografi ke Pak Tedi"

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel