Ingin Bisa Menulis? Putuslah Pacarmu!
Saya sempat ragu membahas masalah ini. Adakah kaitan antara menulis dengan pacaran? Ide ini muncul setelah seorang guru menulis saya mengatakannya beberapa tahun yang lampau. “Jika ingin menulis, putuslah pacarmu!” Begitu kalimatnya. Karena tak paham, waktu itu saya hanya melongo. Entah apa alasannya, biar saya berlatih berfikir atau agar saya larut dalam kebingungan, sang guru itu malah berlalu begitu saja dari hadapan saya. Saya tidak paham dan seingat saya, belum pernah sama sekali saya pacaran. Itu pula yang membuat kebingungan saya makin katrok!
Beberapa hari terakhir saya teringat kata-kata itu lagi. Seperti makhluk yang dikurung bertahun-tahun, ia meloncat secara tiba-tiba dari otak saya. Saya menangkapanya dan berusaha memecahkan misteri yang berahun-tahun telungkup di otak saya. Apa kaitan menulis dengan pacaran? Pertanyaan ini terulang dan membuka katup persoalan. Saya menggiringnya kapada berbagai hal; melangkolia pacaran, sejuta rasa, perkenalan karakter masing-masing, psikologi dan semacamnya. Namun, saya jatuh pada satu hal; rasa sakit! Ya, rasa sakit. Sakit karena putus cinta. Ahai!
Dari gerbang ini saya kemudian membawanya jauh melintasi bermacam-macam persoalan, tentu saja yang berkaitan dengan rasa sakit tadi. Saya menemukan banyak hal yang secara lambat-laun manjustifikasi pernyataan sang guru di atas. Adalah karya tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer yang mula-mula menguasai otak saya. Dilanjutkan dengan WS. Rendra dan beberapa penulis pemberontak (fisik/tulisan) lainnya. Saya tahu ada kesamaan nuansa di sana, rasa sakit!
****
Perjalanan hidup Pram (panggilan Pramoedya Ananta Toer) memang berliku. Kesulitan finansial membuat hidupnya kacau-balau. Pernikahan dengan isterinya yang pertama selalu diliputi perseteruan karena keuangan yang cekak. Dikemudian hari ia menikah lagi dengan seorang berada bernama Maemunah Thamrin yang konon ayahnya adalah pemilik puluhan rumah persewaan. Namun Pram pantang mengambil harta dari isterinya. Ia bahkan menghuni sebuah rumah petak di Bilangan Utan Kayu. Rumah itu sangat memprihatinkan dengan jendela kawat yang menurut Ajip Rosyidi lebih mirip kandang binatang. Ajip mengaku pernah didatangi Pram yang meminta nasi karena perutnya kosong sudah beberapa hari. Maemunah diungsikan oleh Pram ke rumah mertuanya karena keuangannya sudah tak bisa diharapkan lagi.
Dari sinilah awal kehidupannya yang banyak dikecam bermula. Ia masuk dalam kehidupan politik yang panas saat itu. Banyak dari kalangan musuh politiknya mengatakan bahwa Pram masuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dikembangkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih karena termakan bujukan dan janji finansial. Selama di Lekra kehidupannya memang tercukupi. Ia diserahi menggawangi rubrik “Lentera” di media Bintang Timoer. Media ini dipermak untuk menghantam pemikirian para sastrawan yang tidak searas dengan ideologi komunisme yang dianutnya. Bahkan Buya Hamka yang terhitung sebagai ulama terkemuka berusaha dijatuhkan dengan agitasi bahwa buku novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” adalah jiplakan. Untunglah HB. Jassin datang dengan pembelaan terhadap Hamka dan menyatakan karya itu bukan jiplakan tapi Hamka memang dipengaruhi oleh Musthafa Al-Manfaluthi. Selain itu, Pram juga disebut-sebut ikut membakar buku bersama anggota Lekra lainnya.
Setelah gagal Gestapu PKI/Kudeta 1 Oktober 1965 Pram kemudian ditahan sebagai tapol. Memang bukan pertama kali ia mendekam di penjara. Pada masa revolusi dua setengah tahun ia dipenjara, kemudian ditahan oleh tentara nasional kurang lebih setahun pada 1961 karena bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dan kurang lebih 14 tahun ditahan oleh rezim Orde Baru.
Beragam pula sel yang ditempatinya, mulai dari Bukit Duri hingga Pulau Buru. Di Pulau Buru inilah karya-karyanya mengalir deras. Diantaranya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Arus Balik, Arok Dedes, dll. Pada masa Orde Baru novel-novel tersebut diselundupkan dan mulai menyebar di luar negeri dan diterjemahkan ke dalam bahasa masing-masing negara. Sampai kini ada sekitar 40-an bahasa yang menterjemah karya Pram tersebut. Bahkan Malaysia memberi pelajaran khusus karya-karya Pram kepada anak didiknya.
Pram adalah pengarang yang sangat produktif dan paling giat. Ia sangat jeli dalam mengolah data. Karya-karyanya sangat jernih dengan data-data akurat. Ia memang terbiasa berlama-lama dengan buku, majalah atau koran untuk memungut data-data yang dibutuhkan dalam tulisannya. Bahkan, setelah ia dibebaskan dari penjara dan mulai tak banyak menghasilkan tulisan hidupnya lebih sering digunakan untuk membaca koran dan majalah yang kemudian diklipingnya. Ia tekun memilah hal-hal penting yang dijumputya dari koran dan majalah itu.
Pram adalah satu dari sekian sastrawan pemberontak. Nama-nama yang muncul setelahnya salah satunya adalah Rendra. Ia muncul terutama ketika Soeharto memegang tampuk pemerintahan dengan cara diktator. Ia harus dicekal pementasan-pementasannya karena mengritik pedas kebijakan-kebijakan pemerintah lewat teater dan pembacaan sajak-sajaknya. Beragam sel pernah ia huni. Namun, sel tak membuatnya surut untuk membela kepenting orang-orang kecil, orang-orang pinggiran. Seorang lagi yang juga getol mengritik pemerintah adalah Wiji Thukul. Akibat keberaniannya itu ia diculik dan tidak diketahui rimbanya hingga sekarang. Pemerintah bungkam dan tak berusaha mengetahui keberadaannya. Apa ia masih hidup atau sudah mati dibunuh? Tak ada kabar berita. Hanya janji pemerintah yang terus mengalir untuk pencarian orang-orang hilang.
Terlepas dari pemihakan Pram terhadap PKI dan serangannya kepada para sastrawan beda ideologi, ia adalah sastrawan terkemuka kebanggaan Indonesia. Penjara adalah tempat yang tepat dalam melahirkan karya-karya fenomenal yang hampir membawanya ke gerbang penghargaan Nobel. Satu statemen mengatakan bahwa salah satu yang juga menyebabkan Pram tidak kunjung memperoleh hadiah Nobel adalah karena sikap apatis pemerintah. Di negara lain yang salah satu warganya masuk nominasi hadiah Nobel pemerintah menyiapkan diri untuk mempromosikannya. Tapi Pram tak pernah dipromosikan untuk mendapat hadiah Nobel.
Taufik Ismail mengatakan, Pram mungkin tak akan seproduktif itu bila hidupnya tak pernah mengenyam pengapnya sel. Dia akan banyak melahirkan karya dalam keadaan hidup tertekan, terbukti waktu ia berada di Buru karya-karyanya deras mengalir. Dan dari situ pula orang banyak mengenalnya sebagai penulis novel berlatar sejarah yang sangat apik.
****
Bagi sebagian orang, menulis mungkin memang membutuhkan kesakitan-kesakitan. Dalam kesakitan-kesakitan itu muncul ragam persoalan dan kita berusaha mencari solusi untuknya. Masalah-masalah itulah kelak yang bisa membantu kita menulis. Saya yakin bahwa orang bisa menulis karena berangkat dari otak yang memiliki persoalan. Tak mungkin otak yang kosong bisa menghasilkan tulisan.
Apa yang dikatakan oleh guru menulis saya di atas mungkin hanya segelintir dari kesakitan-kesakitan yang bisa mendorong kita untuk menulis. Helvy Tiana Rosa mengaku belajar menulis setelah dia mengalami patah hati. Dia curhat dengan cara menuliskannya ke buku harian. Dari buku harian itulah ia mulai keranjingan menulis. Hingga akhirnya menjadi seorang sastrawan terkenal, bahkan membawa warna baru dalam peta sastra tanah air yang orang menyebutnya sebagai sastra islami. Aliran ini terus mengembangkan sayapnya lewat komunitas yang konon sudah memiliki banyak perwakilan di daerah dan luar negeri. Namanya, Forum Lingkar Pena (FLP).
Masih ingin bisa menulis? Segera putuslah pacarmu!
Beberapa hari terakhir saya teringat kata-kata itu lagi. Seperti makhluk yang dikurung bertahun-tahun, ia meloncat secara tiba-tiba dari otak saya. Saya menangkapanya dan berusaha memecahkan misteri yang berahun-tahun telungkup di otak saya. Apa kaitan menulis dengan pacaran? Pertanyaan ini terulang dan membuka katup persoalan. Saya menggiringnya kapada berbagai hal; melangkolia pacaran, sejuta rasa, perkenalan karakter masing-masing, psikologi dan semacamnya. Namun, saya jatuh pada satu hal; rasa sakit! Ya, rasa sakit. Sakit karena putus cinta. Ahai!
Dari gerbang ini saya kemudian membawanya jauh melintasi bermacam-macam persoalan, tentu saja yang berkaitan dengan rasa sakit tadi. Saya menemukan banyak hal yang secara lambat-laun manjustifikasi pernyataan sang guru di atas. Adalah karya tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer yang mula-mula menguasai otak saya. Dilanjutkan dengan WS. Rendra dan beberapa penulis pemberontak (fisik/tulisan) lainnya. Saya tahu ada kesamaan nuansa di sana, rasa sakit!
****
Perjalanan hidup Pram (panggilan Pramoedya Ananta Toer) memang berliku. Kesulitan finansial membuat hidupnya kacau-balau. Pernikahan dengan isterinya yang pertama selalu diliputi perseteruan karena keuangan yang cekak. Dikemudian hari ia menikah lagi dengan seorang berada bernama Maemunah Thamrin yang konon ayahnya adalah pemilik puluhan rumah persewaan. Namun Pram pantang mengambil harta dari isterinya. Ia bahkan menghuni sebuah rumah petak di Bilangan Utan Kayu. Rumah itu sangat memprihatinkan dengan jendela kawat yang menurut Ajip Rosyidi lebih mirip kandang binatang. Ajip mengaku pernah didatangi Pram yang meminta nasi karena perutnya kosong sudah beberapa hari. Maemunah diungsikan oleh Pram ke rumah mertuanya karena keuangannya sudah tak bisa diharapkan lagi.
Dari sinilah awal kehidupannya yang banyak dikecam bermula. Ia masuk dalam kehidupan politik yang panas saat itu. Banyak dari kalangan musuh politiknya mengatakan bahwa Pram masuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dikembangkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih karena termakan bujukan dan janji finansial. Selama di Lekra kehidupannya memang tercukupi. Ia diserahi menggawangi rubrik “Lentera” di media Bintang Timoer. Media ini dipermak untuk menghantam pemikirian para sastrawan yang tidak searas dengan ideologi komunisme yang dianutnya. Bahkan Buya Hamka yang terhitung sebagai ulama terkemuka berusaha dijatuhkan dengan agitasi bahwa buku novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” adalah jiplakan. Untunglah HB. Jassin datang dengan pembelaan terhadap Hamka dan menyatakan karya itu bukan jiplakan tapi Hamka memang dipengaruhi oleh Musthafa Al-Manfaluthi. Selain itu, Pram juga disebut-sebut ikut membakar buku bersama anggota Lekra lainnya.
Setelah gagal Gestapu PKI/Kudeta 1 Oktober 1965 Pram kemudian ditahan sebagai tapol. Memang bukan pertama kali ia mendekam di penjara. Pada masa revolusi dua setengah tahun ia dipenjara, kemudian ditahan oleh tentara nasional kurang lebih setahun pada 1961 karena bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dan kurang lebih 14 tahun ditahan oleh rezim Orde Baru.
Beragam pula sel yang ditempatinya, mulai dari Bukit Duri hingga Pulau Buru. Di Pulau Buru inilah karya-karyanya mengalir deras. Diantaranya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Arus Balik, Arok Dedes, dll. Pada masa Orde Baru novel-novel tersebut diselundupkan dan mulai menyebar di luar negeri dan diterjemahkan ke dalam bahasa masing-masing negara. Sampai kini ada sekitar 40-an bahasa yang menterjemah karya Pram tersebut. Bahkan Malaysia memberi pelajaran khusus karya-karya Pram kepada anak didiknya.
Pram adalah pengarang yang sangat produktif dan paling giat. Ia sangat jeli dalam mengolah data. Karya-karyanya sangat jernih dengan data-data akurat. Ia memang terbiasa berlama-lama dengan buku, majalah atau koran untuk memungut data-data yang dibutuhkan dalam tulisannya. Bahkan, setelah ia dibebaskan dari penjara dan mulai tak banyak menghasilkan tulisan hidupnya lebih sering digunakan untuk membaca koran dan majalah yang kemudian diklipingnya. Ia tekun memilah hal-hal penting yang dijumputya dari koran dan majalah itu.
Pram adalah satu dari sekian sastrawan pemberontak. Nama-nama yang muncul setelahnya salah satunya adalah Rendra. Ia muncul terutama ketika Soeharto memegang tampuk pemerintahan dengan cara diktator. Ia harus dicekal pementasan-pementasannya karena mengritik pedas kebijakan-kebijakan pemerintah lewat teater dan pembacaan sajak-sajaknya. Beragam sel pernah ia huni. Namun, sel tak membuatnya surut untuk membela kepenting orang-orang kecil, orang-orang pinggiran. Seorang lagi yang juga getol mengritik pemerintah adalah Wiji Thukul. Akibat keberaniannya itu ia diculik dan tidak diketahui rimbanya hingga sekarang. Pemerintah bungkam dan tak berusaha mengetahui keberadaannya. Apa ia masih hidup atau sudah mati dibunuh? Tak ada kabar berita. Hanya janji pemerintah yang terus mengalir untuk pencarian orang-orang hilang.
Terlepas dari pemihakan Pram terhadap PKI dan serangannya kepada para sastrawan beda ideologi, ia adalah sastrawan terkemuka kebanggaan Indonesia. Penjara adalah tempat yang tepat dalam melahirkan karya-karya fenomenal yang hampir membawanya ke gerbang penghargaan Nobel. Satu statemen mengatakan bahwa salah satu yang juga menyebabkan Pram tidak kunjung memperoleh hadiah Nobel adalah karena sikap apatis pemerintah. Di negara lain yang salah satu warganya masuk nominasi hadiah Nobel pemerintah menyiapkan diri untuk mempromosikannya. Tapi Pram tak pernah dipromosikan untuk mendapat hadiah Nobel.
Taufik Ismail mengatakan, Pram mungkin tak akan seproduktif itu bila hidupnya tak pernah mengenyam pengapnya sel. Dia akan banyak melahirkan karya dalam keadaan hidup tertekan, terbukti waktu ia berada di Buru karya-karyanya deras mengalir. Dan dari situ pula orang banyak mengenalnya sebagai penulis novel berlatar sejarah yang sangat apik.
****
Bagi sebagian orang, menulis mungkin memang membutuhkan kesakitan-kesakitan. Dalam kesakitan-kesakitan itu muncul ragam persoalan dan kita berusaha mencari solusi untuknya. Masalah-masalah itulah kelak yang bisa membantu kita menulis. Saya yakin bahwa orang bisa menulis karena berangkat dari otak yang memiliki persoalan. Tak mungkin otak yang kosong bisa menghasilkan tulisan.
Apa yang dikatakan oleh guru menulis saya di atas mungkin hanya segelintir dari kesakitan-kesakitan yang bisa mendorong kita untuk menulis. Helvy Tiana Rosa mengaku belajar menulis setelah dia mengalami patah hati. Dia curhat dengan cara menuliskannya ke buku harian. Dari buku harian itulah ia mulai keranjingan menulis. Hingga akhirnya menjadi seorang sastrawan terkenal, bahkan membawa warna baru dalam peta sastra tanah air yang orang menyebutnya sebagai sastra islami. Aliran ini terus mengembangkan sayapnya lewat komunitas yang konon sudah memiliki banyak perwakilan di daerah dan luar negeri. Namanya, Forum Lingkar Pena (FLP).
Masih ingin bisa menulis? Segera putuslah pacarmu!
0 Response to "Ingin Bisa Menulis? Putuslah Pacarmu!"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.