-->

Hal Kecil dan Imajinasi

Saya suka hal-hal kecil. Bahkan, kadang yang remeh temeh. Entahlah, saya hanya merasa enjoi dengannya. Saya tak punya pikiran yang muluk-muluk prihal apa yang saya pikirkan. Prinsip saya, segala sesuatu berangkat dari hal-hal yang sangat kecil.
Lukisan pada sebuah kanvas adalah serangkum titik-titik kecil yang menyatu. Demikian pun pada teknologi komputer. Salah satu guru saya mengatakan, aneka warna objek yang tampil di layar komputer adalah serangkaian kode-kode yang menghasilkan titik-titik warna. Titik-titik itu kemudian menyatu untuk akhirnya menjadi sebentuk karya nyata. Dari hanya sekedar titik kecil, akhirnya kita bisa menyaksikan gambaran utuh tentang, misalnya, foto wajah kita. Analogi sederhana yang nampak saya buat-buat.
Namun demikian, hal-hal kecil itu berusaha saya desain tak hanya menjadi dirinya saja. Artinya, saya selalu merasa harus mengaitkannya dengan hal lain, walau itu bila dipikir sepintas takkan pernah menemukan korelasinya.
Misalnya tentang pagar. Di tempat saya, PP. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, saat ini banyak bermunculan pagar-pagar di sekolah-sekolah. Kata pihak sekolah hal itu untuk menanamkan kedisiplinan yang tinggi kepada anak didik. Saya lalu bertanya, apakah pagar satu-satunya alasan untuk menciptakan kedisiplinan?
Saya lalu mencoba menjauh dari soal pagar. Saya mulai masuk ke dalam kelas. Saya perhatikan, lalu coba menarik satu benang merah. Tentang kedisiplinan, ternyata memang tak harus hanya meminta bantuan dari pagar. Jauh di dalam sana, sosok guru yang menjadi teladan adalah sumber utama dalam membentuk siswa menjadi disiplin.
Kreatifitas guru dalam memberikan pelajaran, tentu menjadi dambaan para siswa. Dengannya, mereka bisa betah berlama-lama di dalam kelas tanpa harus dipaksa oleh algojo bernama pagar. Justru, kehadiran pagar menjadi sesuatu yang tekesan menekan, memaksa dan membatasi.
Selain itu, pada tataran psikologis kita akan melihat bagaimana siswa kian menjauh dari alam sekitar. Kedekatan dengan alam dibatasi oleh benda yang tebalnya tak sampai satu meter. Padahal, bencana yang akhir-akhir ini terjadi adalah juga karena manusia mulai membuat jarak dengan alam di sekitarnya.
*****
Selain hal-hal remeh temeh, saya juga suka berimajinasi. Walau untuk satu hal ini saya selalu merasa kalah kepada seorang kawan baik saya. Saya akui, sahabat saya itu adalah termasuk pengimajinasi yang handal. Sayang sekali dia tak suka menulis fiksi. Non fiksi pun hanya beberapa. Hasil imajinasinya itu hanya berhenti pada bahasa oral yang sekali ucap, tidak banyak yang membekas. Padahal, jika ditulis, imajinasinya yang kebanyakan sinting dan penuh rasa humor itu malah akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dibaca.
Bisa ditandai, kapan kawan saya ini mau memunculkan imajinasi lawakannya. Dasar imajinasi, ia tak memandang tempat dan waktu. Pernah suatu kali dia tersenyum-senyum sendiri saat makan bersama kawan-kawannya dalam satu nampan. Dia terkekeh-kekeh sendiri, sedang kawan-kawannya yang lain hanya memandangnya aneh. Mereka tak melihat hal-hal aneh di sekitar. Lalu, setelah membuat penasaran kawan-kawan yang lain akhirnya dia bersuara, “Bagaimana seandainya mulut kita ada di kaki?” katanya sambil memperaktekkan bagaimana cara makan dari kaki. Sontak kawan-kawannya ngakak demi melihat cara dia makan dari kaki.
Suatu kali dia juga pernah mengimajinasikan bagaimana jika dirinya bisa melihat sesuatu secara tembus pandang. Yang saya tak habis pikir, dia mengatakan, dengan kemampuan itu dirinya akan bisa melihat dosen-dosennya ketika kuliah dengan wajah serius dan khusyuk memaparkan materi, padahal sebenarnya sang dosen sedang telanjang bulat. Dia menyebutkan beberapa dosen-dosen yang jika ditulis di sini bisa sangat lancang dan menyinggung perasaan.
Humor adalah kumpulan dari tragedi, begitu kata seorang penulis kalau saya tak salah ingat. Kadang kawan saya itu terkesan lancang, tapi dari sikap lancang itu akan timbul rasa humor. Begitulah kodrat humor, menyakitkan pada satu sisi dan menyenangkan pada sisi yang lain.
Kembali ke soal imajinasi. Saya menyenangi laku ini karena bisa “memindahkan” diri saya. Kadang kalau saya dalam keadaan larut dalam suatu masalah, saya bisa mengembara menciptakan kemungkinan-kemungkinan lain dari masalah tersebut. Dalam pengembaraan imajinasi itu saya menemukan rangkaian masalah hingga terlihat dengan jelas alurnya.
Seringkali saya menjadi tidak sadar, sedang berada di manakah saya saat itu. Jika sudah terlalu jauh masuk dalam alam imajinasi, saya sering mengabaikan teman yang berusaha mengajak saya bicara. Saya hanya menyahut beberapa patah kata lalu pergi dari hadapan mereka. Setelah itu, melanjutkan kembali pengembaraan imajinasi yang takkan pernah bertepi itu.
Dalam beberapa kali perjumpaan di forum diskusi dan pelatihan, saya selalu berusaha memunculkan unsur pembelajaran tentang imajinasi. Meski yang saya jelaskan sebenarnya bukan ranah fiksi, namun menciptakan ruang imajinasi bagi pendengar akan lebih mudah menyerap materi. Selain itu, saya juga mengharapkan tak ada pemasungan imajinasi. Apa yang kita alami selama ini perlu dilihat kembali dengan pengimajinasian yang inten.
Kita banyak melihat kejadian menguras air mata, tapi dilihat orang sebagai seuatu yang lumrah. Itu salah satu masalah jika imajinasi mulai tertutup. Hidup seperti robot, tak punya perasaan dan hanya menciptakan kerusakan-kerusakan!


Balai, 07 Juni 2010

0 Response to "Hal Kecil dan Imajinasi"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel