Saatnya Perempuan Melamar
Selesai menyebar undangan acara Seminar dan Halaqah Kebangsaan, saya dan seorang kawan duduk santai sambil bicara ngalor-ngidul. Pembicaraan santai memang selalu mengingkari logika pembicaraan formal. Setara dengan hasilnya yang kadang tidak jelas, tapi lain kali malah mencengangkan.
Banyak pembicaraan serius lahir dari perbincangan yang santai-santai. Dari gelak tawa dan ejekan, dari olok-olok hingga saling kecam. Seorang sastrawan dari Sumenep pernah mengatakan, pada saat tubuh dalam keadaan rileks, saat itulah sebenarnya ide-ide baru muncul. Meminjam bahasanya, dari yang main-main menjadi serius. Alasannya, karena tubuh saat itu tidak terbebani apapun.
Pembicaraan yang tidak mengenal topik itu akhirnya jatuh ke masalah perempuan. Seorang kawan tersebut selalu berbinar-binar jika mendengar tentang perempuan. Kontan saja, ia langsung nyambung. Enggak tahu mengapa ia begitu bersemangat.
Dalam perbincangan tentang perempuan tersebut saya katakan, sekarang paradigma melamar harus dirubah. Kalau dulu laki-laki yang melamar, sekarang harus perempuan. Kok bisa begitu? Ya, kita lihat kembali beberapa literatur agama Islam (maaf, saya masih termasuk orang yang percaya terhadap agama). Dulu, waktu masih sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah (setara SD), saya pernah diberitahukan oleh seorang guru, bahwa jumlah laki-laki dan perempuan di dunia ini tidak sama. Perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Menurut guru saya itu, selisih antara jumlah laki-laki dan perempuan berbanding satu per lima.
Melihat kenyataan bahwa jumlah perempuan lebih banyak, maka kompetisi yang layak sebenarnya berada di tangan mereka. Saya melihat salah satu usnsur pernikahan adalah kompetisi. Meski dalam agama hal ini bukan sesuatu yang dinomorsatukan. Bukti yang paling nyata adalah ketika seorang perempuan telah dilamar oleh seorang lelaki, maka ia tidak boleh diganggu oleh lelaki yang lain. Itu artinya, lelaki tunangan sang perempuan adalah kompetitor yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Ia menjadi juara dalam memiliki perempuan tadi. Ia memenangi kompetisi.
Nah, jika kita lihat kembali pernyataan sepele saya pada awal tulisan ini, amat tidak wajar jika mereka yang sedikit jumlahnya harus melakukan kompetisi. Bagaimana mungkin yang dipilih lebih banyak daripada yang memilih? Tentu ini adalah guyonan yang tidak perlu dipusingkan. Dan boleh saja mereka berkompetisi sekehendak udelnya. Namun, biar kompetisi lebih seru, saatnyalah perempuan yang menentukan. Mereka harus berlomba-lomba untuk mendapatkan laki-laki pilihannya. Bukan lagi menunggu sebagaimana yang terjadi pada masa-masa yang telah lalu. Maka, saatnya perempuan harus melamar dan menentukan pilihannya masing-masing. Mereka harus datang ke rumah sang lelaki dengan keberanian mengucapkan cinta dan lamarannya.
Kita menyadari, akhir-akhir ini sudah banyak perempuan yang tidak memiliki suami. Ditambah lagi dengan menjamurnya wanita-wanita penjaja seks yang kebanyakan tidak bersuami pula. Itu artinya, jumlah perempuan memang lebih banyak dari pada lelaki.
Ini masalah yang harus dihadapi sekarang. Mungkin saja ia adalah dampak yang ditimbulkan oleh paradigma terdahulu yang mensyaratkan perempuan harus menunggu dilamar. Perempuan harus pasif agar tidak menimbulkan cela dalam dirinya. Persoalannya, jika yang ditunggu-tunggu belum juga datang, haruskah kita menunggu sampai kiamat datang? Itu tidak boleh terjadi! Saatnya kita membagi inferioritas kepada lelaki, agar ia tidak semena-mena dalam proses nikah.
Banyak pembicaraan serius lahir dari perbincangan yang santai-santai. Dari gelak tawa dan ejekan, dari olok-olok hingga saling kecam. Seorang sastrawan dari Sumenep pernah mengatakan, pada saat tubuh dalam keadaan rileks, saat itulah sebenarnya ide-ide baru muncul. Meminjam bahasanya, dari yang main-main menjadi serius. Alasannya, karena tubuh saat itu tidak terbebani apapun.
Pembicaraan yang tidak mengenal topik itu akhirnya jatuh ke masalah perempuan. Seorang kawan tersebut selalu berbinar-binar jika mendengar tentang perempuan. Kontan saja, ia langsung nyambung. Enggak tahu mengapa ia begitu bersemangat.
Dalam perbincangan tentang perempuan tersebut saya katakan, sekarang paradigma melamar harus dirubah. Kalau dulu laki-laki yang melamar, sekarang harus perempuan. Kok bisa begitu? Ya, kita lihat kembali beberapa literatur agama Islam (maaf, saya masih termasuk orang yang percaya terhadap agama). Dulu, waktu masih sekolah dasar di Madrasah Ibtidaiyah (setara SD), saya pernah diberitahukan oleh seorang guru, bahwa jumlah laki-laki dan perempuan di dunia ini tidak sama. Perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Menurut guru saya itu, selisih antara jumlah laki-laki dan perempuan berbanding satu per lima.
Melihat kenyataan bahwa jumlah perempuan lebih banyak, maka kompetisi yang layak sebenarnya berada di tangan mereka. Saya melihat salah satu usnsur pernikahan adalah kompetisi. Meski dalam agama hal ini bukan sesuatu yang dinomorsatukan. Bukti yang paling nyata adalah ketika seorang perempuan telah dilamar oleh seorang lelaki, maka ia tidak boleh diganggu oleh lelaki yang lain. Itu artinya, lelaki tunangan sang perempuan adalah kompetitor yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Ia menjadi juara dalam memiliki perempuan tadi. Ia memenangi kompetisi.
Nah, jika kita lihat kembali pernyataan sepele saya pada awal tulisan ini, amat tidak wajar jika mereka yang sedikit jumlahnya harus melakukan kompetisi. Bagaimana mungkin yang dipilih lebih banyak daripada yang memilih? Tentu ini adalah guyonan yang tidak perlu dipusingkan. Dan boleh saja mereka berkompetisi sekehendak udelnya. Namun, biar kompetisi lebih seru, saatnyalah perempuan yang menentukan. Mereka harus berlomba-lomba untuk mendapatkan laki-laki pilihannya. Bukan lagi menunggu sebagaimana yang terjadi pada masa-masa yang telah lalu. Maka, saatnya perempuan harus melamar dan menentukan pilihannya masing-masing. Mereka harus datang ke rumah sang lelaki dengan keberanian mengucapkan cinta dan lamarannya.
Kita menyadari, akhir-akhir ini sudah banyak perempuan yang tidak memiliki suami. Ditambah lagi dengan menjamurnya wanita-wanita penjaja seks yang kebanyakan tidak bersuami pula. Itu artinya, jumlah perempuan memang lebih banyak dari pada lelaki.
Ini masalah yang harus dihadapi sekarang. Mungkin saja ia adalah dampak yang ditimbulkan oleh paradigma terdahulu yang mensyaratkan perempuan harus menunggu dilamar. Perempuan harus pasif agar tidak menimbulkan cela dalam dirinya. Persoalannya, jika yang ditunggu-tunggu belum juga datang, haruskah kita menunggu sampai kiamat datang? Itu tidak boleh terjadi! Saatnya kita membagi inferioritas kepada lelaki, agar ia tidak semena-mena dalam proses nikah.
Kalau pun wanita melamar itu lazim, saya gak tahu mau ngelamar siapa hahaha
ReplyDelete@Siiti: Carilah lelaki yang kau hero seperti superman :-D
ReplyDelete