Andrea Hirata dan Riset
Beberapa hari lalu, Kompas Kita, salah satu rubrik di Harian Kompas, menampilkan sosok penulis handal yang saat ini sedang menikmati masa-masa jayanya, Andrea Hirata. Dalam rubrik tersebut ditampilkan sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh para penggemar penulis asli Belitong ini. Seperti biasa, tokoh yang ditampilkan dalam rubrik tersebut mendapat kesempatan untuk menjawab seluruh pertanyaan yang masuk melalui email.
Ada banyak tema pertanyaan yang disampaikan oleh pembaca. Sebagian bertanya tentang siapakah yang paling menginspirasi dalam hidupnya, apa alasan yang membuat ia terjun di dunia tulis menulis, adakah secara nyata tokoh-tokoh dalam novel-novelnya tersebut, bagaimana motivasi agar bisa menulis, apa syarat-syarat menjadi penulis. Dan sebagian juga bertanya tentang apakah ia akan juga menggeluti seni musik karena salah satu lagu dalam soundtrack film Sang Pemimpi yang berjudul Cinta Gila ternyata laris di pasaran. Ada lagi yang bertanya tentang apakah novel-novel selain dua yang telah difilmkan akan juga mengikuti jejak dua novel tersebut, artinya difilmkan juga.
Semua pertanyaan itu dijawab oleh Andrea Hirata. Seperti pada banyak kesempatan, dia selalu merendah ketika ada komentar pengagumnya yang menyanjung-nyanjung. Itulah karakter yang melekat pada salah satu staf karyawan PT. Telkom, Bandung, ini. Bahkan dia mengatakan, kehadirannya dijagad kepenulisan sastra tak lebih hanya sebagai penulis kemarin sore. Kerendahhatian itu membuat tokoh yang banyak mendapat penghargaan ini kian memperkokoh kehadirannya dalam benak pengagumnya.
Ada satu jawaban yang melekat dalam diri saya. Dia menekankan, untuk memperoleh ide dalam merangkai cerita yang bagus maka harus memahami masalah yang akan ditulis. Bagaimana cara memahami persoalan? Salah satunya adalah dengan riset. Riset, kata Andrea adalah modal utama untuk mengetahui sedetail mungkin apa yang akan kita tulis. Tanpa riset tulisan akan menjadi hambar. Ia mengaku, dalam menulis novel kebanyakan waktunya tersedot hanya untuk meriset. Dan sebagian kecil adalah untuk menulis. “Dan ini mungkin kebiasaan buruk saya yang tidak boleh ditiru, saya biasa menyelesaikan tulisan hanya dalam hitungan minggu. Kebanyakan waktu saya hanya untuk riset,” begitu kalimat terakhir dalam tulisannya.
Kita menjadi mafhum akhirnya, karya-karya Andrea Hirata adalah karya tidak asal jadi. Bolehlah, dalam penulisan novel tersebut ia hanya menghabiskan beberapa minggu. Tapi, kemampuannya dalam menampilkan diksi baru dan kalimat yang lugas, membuktikan bahwa ia memang sangat piawai dalam menulis novel. Apalagi, detail waktu dan tempat, karakter, kondisi sosial masyarakat Belitong, dsb. bisa ia dedahkan dengan sempurna.
Kita bisa menelisik lebih jauh tentang kesungguhannya dalam meriset. Dalam novel keempatnya Maryamah Karpov, Andrea melukiskan tentang realitas keseharian masyarakat Belitong. Kondisi sosial orang-orang Chines yang menyatu dalam struktur kehidupan masyarakat Melayu asli Belitong. Kita bisa tahu bagaimana cara mereka mem-banyol-kan seseorang. Tentang orang-orang Melayu yang memiliki rasa humor tinggi dan relijius. Novel ini terbukti mampu menyuguhkan dengan jernih tentang tradisi orang-orang Belitong yang mungkin sebelumnya tak pernah kita temui.
Dalam banyak kesempatan, kita sering mendengar kalau dunia pendidikan kita sangat kurang dalam hal riset. Bahkan diakui oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagian besar buku-buku ilmu pengetahuan, termasuk riset di dalamnya, yang diterbitkan oleh beberapa penerbit ditulis oleh orang-orang luar. Nyaris semua yang diterbitkan adalah hasil terjemahan. Ini satu bukti bahwa riset belum dijadikan kebutuhan oleh kita, terutama di dunia pendidikan yang menjadi basis ilmu pengetahuan.
****
Membaca kalimat terakhir dalam tulisan Andrea Hirata tersebut, saya tergerak untuk berfikir tentang riset. Selama ini, saya belum pernah menyentuh dunia yang satu ini. Nampaknya menantang, tapi apakah saya bisa? Pasti bisa! Hanya saja saya tidak pernah berusaha. Saya yakin riset itu sangat membantu terhadap kehidupan kita. Terutama dunia yang saya cita-citakan mulai dulu, menulis!
Dari dulu, saya belum pernah menulis berdasarkan riset. Paling banter saya hanya membuka-buka buku untuk mengetahui lebih jauh tentang tema yang saya garap. Pun tulisan-tulisan yang muncul lebih banyak bersifat reflektif. Saya suka menulis kolom yang cenderung keakuan, dalam arti tulisan tersebut tak jauh-jauh dari hidup saya. Artinya pula, untuk sekedar menulis, saya tidak butuh banyak data karena data-data itu ada pada diri saya.
Saya coba membaca kembali tulisan-tulisan saya terdahulu. Ternyata benar kata Andrea, tulisan-tulisan itu amat dangkal, terutama dalam masalah data. Saya banyak menemukan ide-ide yang hambar bahkan membingungkan dalam tulisan tersebut. Walau, seperti yang saya katakan di atas, ia lebih bersifat keakuan, tanpa data yang menunjang tulisan akan sangat dangkal.
Saya coba bandingkan dengan tulisan-tulisan dalam novel Andrea, sangat jauh antara langit dan bumi. Satu paragraf dalam karyanya, bisa empat sampai lima paragraf dalam tulisan saya. Apa artinya itu? Tulisan Andrea sangat padat, sementara tulisan saya berbelit-belit karena sedikit data. Cenderung dipaksakan menjadi tulisan panjang, padahal banyak pembahasan yang diulang-ulang. Kata salah seorang guru saya, kelebihan Andrea dalam menulis adalah kalimatnya yang efisien, ditata dengan rapi, dan tentu saja penggunaan diksi yang baru. Itu menjadi tren penulisan novel saat ini.
****
Saya sangat mengagumi karya-karya Andrea Hirata dalam bidang novel. Sementara untuk cerpen belum ada cerpenis baru yang bisa membelokkan kekaguman saya kepada Seno Gumira Ajidarma (SGA). Mereka berdua adalah sumber inspirasi. Kekaguman saya kepada novel-novel Andrea karena detailnya yang kuat, diksi, humor, efisiensi kata, dst. Kepada SGA saya mengaguminya karena teknik yang unik dalam membuat alur tiap cerpennya. Ia terbukti mampu mengecohkan pembaca prihal jalan cerita dan tokoh-tokohnya. Selain itu, adalah bahasa tuturnya yang lembut, meski kebanyakan tema-tema yang diangkat tentang kekerasan, sesuai resepnya Sex, Crime, and Violance.
Keduanya sama-sama pengembara. Andrea Hirata pernah menjelajahi benua Eropa dan Afrika. Sedang SGA pernah menyusuri belantara hutan di Sumatera dan pernah meliput kerusuhan di Timor Timur sebelum daerah itu memisahkan diri dari Republik Indonesia. Hasil dari liputan di Timur Leste ini dibukukan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata.
Nah, apakah kau siap mengembara? Jangan tanya kenapa!
guluk-guluk, 15 februari 2010
Ada banyak tema pertanyaan yang disampaikan oleh pembaca. Sebagian bertanya tentang siapakah yang paling menginspirasi dalam hidupnya, apa alasan yang membuat ia terjun di dunia tulis menulis, adakah secara nyata tokoh-tokoh dalam novel-novelnya tersebut, bagaimana motivasi agar bisa menulis, apa syarat-syarat menjadi penulis. Dan sebagian juga bertanya tentang apakah ia akan juga menggeluti seni musik karena salah satu lagu dalam soundtrack film Sang Pemimpi yang berjudul Cinta Gila ternyata laris di pasaran. Ada lagi yang bertanya tentang apakah novel-novel selain dua yang telah difilmkan akan juga mengikuti jejak dua novel tersebut, artinya difilmkan juga.
Semua pertanyaan itu dijawab oleh Andrea Hirata. Seperti pada banyak kesempatan, dia selalu merendah ketika ada komentar pengagumnya yang menyanjung-nyanjung. Itulah karakter yang melekat pada salah satu staf karyawan PT. Telkom, Bandung, ini. Bahkan dia mengatakan, kehadirannya dijagad kepenulisan sastra tak lebih hanya sebagai penulis kemarin sore. Kerendahhatian itu membuat tokoh yang banyak mendapat penghargaan ini kian memperkokoh kehadirannya dalam benak pengagumnya.
Ada satu jawaban yang melekat dalam diri saya. Dia menekankan, untuk memperoleh ide dalam merangkai cerita yang bagus maka harus memahami masalah yang akan ditulis. Bagaimana cara memahami persoalan? Salah satunya adalah dengan riset. Riset, kata Andrea adalah modal utama untuk mengetahui sedetail mungkin apa yang akan kita tulis. Tanpa riset tulisan akan menjadi hambar. Ia mengaku, dalam menulis novel kebanyakan waktunya tersedot hanya untuk meriset. Dan sebagian kecil adalah untuk menulis. “Dan ini mungkin kebiasaan buruk saya yang tidak boleh ditiru, saya biasa menyelesaikan tulisan hanya dalam hitungan minggu. Kebanyakan waktu saya hanya untuk riset,” begitu kalimat terakhir dalam tulisannya.
Kita menjadi mafhum akhirnya, karya-karya Andrea Hirata adalah karya tidak asal jadi. Bolehlah, dalam penulisan novel tersebut ia hanya menghabiskan beberapa minggu. Tapi, kemampuannya dalam menampilkan diksi baru dan kalimat yang lugas, membuktikan bahwa ia memang sangat piawai dalam menulis novel. Apalagi, detail waktu dan tempat, karakter, kondisi sosial masyarakat Belitong, dsb. bisa ia dedahkan dengan sempurna.
Kita bisa menelisik lebih jauh tentang kesungguhannya dalam meriset. Dalam novel keempatnya Maryamah Karpov, Andrea melukiskan tentang realitas keseharian masyarakat Belitong. Kondisi sosial orang-orang Chines yang menyatu dalam struktur kehidupan masyarakat Melayu asli Belitong. Kita bisa tahu bagaimana cara mereka mem-banyol-kan seseorang. Tentang orang-orang Melayu yang memiliki rasa humor tinggi dan relijius. Novel ini terbukti mampu menyuguhkan dengan jernih tentang tradisi orang-orang Belitong yang mungkin sebelumnya tak pernah kita temui.
Dalam banyak kesempatan, kita sering mendengar kalau dunia pendidikan kita sangat kurang dalam hal riset. Bahkan diakui oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagian besar buku-buku ilmu pengetahuan, termasuk riset di dalamnya, yang diterbitkan oleh beberapa penerbit ditulis oleh orang-orang luar. Nyaris semua yang diterbitkan adalah hasil terjemahan. Ini satu bukti bahwa riset belum dijadikan kebutuhan oleh kita, terutama di dunia pendidikan yang menjadi basis ilmu pengetahuan.
****
Membaca kalimat terakhir dalam tulisan Andrea Hirata tersebut, saya tergerak untuk berfikir tentang riset. Selama ini, saya belum pernah menyentuh dunia yang satu ini. Nampaknya menantang, tapi apakah saya bisa? Pasti bisa! Hanya saja saya tidak pernah berusaha. Saya yakin riset itu sangat membantu terhadap kehidupan kita. Terutama dunia yang saya cita-citakan mulai dulu, menulis!
Dari dulu, saya belum pernah menulis berdasarkan riset. Paling banter saya hanya membuka-buka buku untuk mengetahui lebih jauh tentang tema yang saya garap. Pun tulisan-tulisan yang muncul lebih banyak bersifat reflektif. Saya suka menulis kolom yang cenderung keakuan, dalam arti tulisan tersebut tak jauh-jauh dari hidup saya. Artinya pula, untuk sekedar menulis, saya tidak butuh banyak data karena data-data itu ada pada diri saya.
Saya coba membaca kembali tulisan-tulisan saya terdahulu. Ternyata benar kata Andrea, tulisan-tulisan itu amat dangkal, terutama dalam masalah data. Saya banyak menemukan ide-ide yang hambar bahkan membingungkan dalam tulisan tersebut. Walau, seperti yang saya katakan di atas, ia lebih bersifat keakuan, tanpa data yang menunjang tulisan akan sangat dangkal.
Saya coba bandingkan dengan tulisan-tulisan dalam novel Andrea, sangat jauh antara langit dan bumi. Satu paragraf dalam karyanya, bisa empat sampai lima paragraf dalam tulisan saya. Apa artinya itu? Tulisan Andrea sangat padat, sementara tulisan saya berbelit-belit karena sedikit data. Cenderung dipaksakan menjadi tulisan panjang, padahal banyak pembahasan yang diulang-ulang. Kata salah seorang guru saya, kelebihan Andrea dalam menulis adalah kalimatnya yang efisien, ditata dengan rapi, dan tentu saja penggunaan diksi yang baru. Itu menjadi tren penulisan novel saat ini.
****
Saya sangat mengagumi karya-karya Andrea Hirata dalam bidang novel. Sementara untuk cerpen belum ada cerpenis baru yang bisa membelokkan kekaguman saya kepada Seno Gumira Ajidarma (SGA). Mereka berdua adalah sumber inspirasi. Kekaguman saya kepada novel-novel Andrea karena detailnya yang kuat, diksi, humor, efisiensi kata, dst. Kepada SGA saya mengaguminya karena teknik yang unik dalam membuat alur tiap cerpennya. Ia terbukti mampu mengecohkan pembaca prihal jalan cerita dan tokoh-tokohnya. Selain itu, adalah bahasa tuturnya yang lembut, meski kebanyakan tema-tema yang diangkat tentang kekerasan, sesuai resepnya Sex, Crime, and Violance.
Keduanya sama-sama pengembara. Andrea Hirata pernah menjelajahi benua Eropa dan Afrika. Sedang SGA pernah menyusuri belantara hutan di Sumatera dan pernah meliput kerusuhan di Timor Timur sebelum daerah itu memisahkan diri dari Republik Indonesia. Hasil dari liputan di Timur Leste ini dibukukan dalam kumpulan cerpen Saksi Mata.
Nah, apakah kau siap mengembara? Jangan tanya kenapa!
guluk-guluk, 15 februari 2010
0 Response to "Andrea Hirata dan Riset"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.