Ingin Menulis Buku
Saya tak tahu apa motifnya tiba-tiba saya ingin menulis buku. Keinginan itu cukup mengganggu pikiran saya karena dalam beberapa tahun terakhir saya malah amat sulit menghasilkan sebuah tulisan. Saya tak lagi produktif seperti masa lalu. padahal, jika melihat keadaan, mestinya saya lebih banyak menghasilkan karya.
Keadaan mungkin yang mendorong saya untuk melakukan sesuatu. Akhir-akhir ini saya mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah saya tidak mungkin menulis buku? Itu pertanyaan negatif yang coba saya munculkan dalam upaya melawan hal negatif pula dalam diri saya. Hal negatif itu berupa rasa malas yang sangat akut.
Soal buku, saya sungguh berharap bisa menyelesaikannya tidak sampai berlarut-larut. Mungkin memang sulit menerbitkan sebuah buku, tapi itu bukan alasan saya harus berhenti berusaha. Dan, saya kira, menerbitkan sebuah buku bukan hal yang mustahil.
Saya memiliki kepercayaan diri, walau sedikit, setelah berkali-kali menulis notes di situs jejaring sosial facebook. Tanggapan terhadap tulisan saya banyak yang menilai positif. Memang saya tahu itu tidak menjadi jaminan semua orang akan suka terhadap tulisan saya. Dan itu mustahil bagi siapa pun. Tapi, minimal tulisan saya sudah punya pembaca meski tak banyak. Saya membangun kepercayaan diri itu secara perlahan-lahan karena memang diri saya selalu merasa down terhadap tantangan yang datang silih berganti.
Keinginan menulis buku bukan tanpa tantangan. Meski punya pembaca di situs jejaring sosial, tapi model-model tulisan saya secara kemasan masih bisa dibilang bukan selera buku. Saya menginginkan buku saya kelak terbit dalam bentuk kumpulan cerpen. Sementara yang sering saya tulis saat ini hanya kumpulan kisah masa kecil. Itu berdasar fakta-fakta yang coba saya kais dari kenangan masa lalu, tentu dengan sedikit fiksi yang saya coba munculkan untuk menambah kesan dramatis atau untuk menghadirkan sebuah visualisasi yang jernih.
Saya senang menulis tentang masa kecil. Mungkin karena hijrah ke masa itu secara fisik sudah tak bisa, hanya dalam tulisan kita bisa melakukannya. Itu juga salah satu cara mencari tekstase lain dari keruwetan hidup di masa dewasa. Batin bisa berhijrah dan mengandaikan masa lalu itu kembali, walau bagaimana pun itu adalah sebuah mimpi. Masa kecil tetaplah milik masa lalu. Ia akan tetap berdiri di sana, entah dengan rasa senang atau jengkel kepada teman-teman sebaya waktu dulu.
Sampai saat ini, menulis cerita masa lalu masih lebih mudah ketimbang menulis cerpen. Anehnya, dalam beberapa tahun belakangan, saya malah menulis cerpen hanya satu butir. Itu gejala jelek jika terus terulang, mengingat keinginan saya menulis buku begitu kuat. Kalau tidak ada cerpen yang bisa saya hasilkan, lalu dari mana saya bisa membikin sebuah buku? Itu hal konyol yang bisa meruntuhkan obesesi saya tersebut.
Menulis cerita masa lalu memang lebih mudah dari menulis cerpen karena secara teknik ia tidak terikat oleh beragam unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menulis cerpen. Intinya, saya bisa menulis sekehendak saya. Itu persoalan lain dari kemalasan saya menulis cerpen, bahwa saya emoh didikte oleh sebuah konsep. Entah, ini sebenarnya merupakan momok tersendiri yang harus cepat-cepat saya enyahkan. Jika terus-terusan dipelihara, saya tak akan pernah bisa melahirkan sebuah cerpen. Dan itu sebuah bunuh diri yang buruk.
Dalam menulis kisah masa lalu saya bebas melakukan apa saja. Maksud saya, pikiran saya bisa memunculkan banyak tokoh dari siapa saja, teman-teman sebaya, misalnya. Pun saya juga bisa menghidupkan tokoh fiktif di dalamnya. Selain itu, fakta-fakta yang sudah terangkum dalam memori otak saya juga ikut andil melancarkan gagasan-gagasan yang akan saya torehkan. Tentang tempat, misalnya, saya bisa memindahkannya dari ingatan ke dalam tulisan dengan mudah tanpa harus banyak mereka-reka perihal tempat yang ingin saya gambarkan. Di dalam cerpen, saya harus lebih giat menghadirkan setting yang butuh banyak rekaan, tentu itu juga disesuaikan dengan tema yang ingin saya tulis. Mereka-reka sebuah tempat bukan barang mudah karena semua unsur di dalam penggambaran itu harus sesuai. Ini memerlukan sense of art yang tinggi, mengingat pembangunan latar yang harus mempertimbangkan banyak hal, salah satunya kesesuaian dengan karakter tokoh dan konflik. Tentu itu bukan barang yang mudah dilakukan.
Tapi, walau demikian, saya tetap akan berusaha untuk terus menulis cerpen. Saya coba mencari-cari model yang tepat bagaimana saya bisa menghasilkannya. Beberapa metode dari sejumlah pengarang coba saya praktekkan, meski semua masih menghasilkan kemandekan. Beberapa cerpen saya malah hanya menghasilkan sekian paragraf untuk kemudian tak jelas juntrungannya. Saya jadi malas melanjutkan karena itu akan membuat saya harus berpikir dua kali mengingat-ingat alur yang harus saya munculkan.
Saya tetap memburu koran di hari Minggu untuk membaca cerpen-cerpen di dalamnya. Itu saya lakukan, selain tentu saja karena hobi, saya juga ingin memunculkan gairah yang kadang mulai mengendor. Saya yakinkan diri bahwa menulis cerpen tidak akan sesulit yang saya kira. Keyakinan itu kadang memang tersaruk ketika saya tak benar-benar mampu menghasilkan sebuah karya. Tapi, kebangkitan kembali dari rasa terpuruk akan menjadi obor bagaimana saya menghasilkan karya yang lebih baik.
Selain itu, motivasi soal menulis juga saya kais dari komentar kawan-kawan di jejaring sosial. Pujian dan kritik-kritik mereka malah makin membuat saya ingin menjadi penulis. Hal itu merupakan salah satu hiburan bagaimana saya tak henti menulis. Walau kadang karena terlena pujian mereka saya serasa sudah menjadi penulis, padahal belum. Keterlenaan itu harus saya runtuhkan karena ia bisa membunuh eksistensi diri saya. Itu saya rasakan bertahun-tahun lalu ketika seorang guru saya pernah memuji tulisan-tulisan saya. Itu bukan motivasi yang tepat bagi saya pribadi. Saya lebih tertantang untuk menulis yang lebih baik jika bertemu dengan komentar pedas dan betul tahu kesalahan saya.
Di jejaring sosial, komentar bisa dilakukan oleh banyak orang dari berbagai latar belakang. Ini memungkinkan karya kita bisa dilihat dari banyak perspektif. Mereka bisa mengomentarinya dari apa yang paling mereka kuasai dan itu berkaitan dengan tulisan tersebut. Namun, bukan tak mungkin juga ini merupakan dilema, mengingat mereka bukan penulis semua. Tapi, dilema ini bisa ditekan rendah karena saya akan membagi notes-notes hanya kepada mereka yang saya pandang memiliki kemampuan menulis.
Kamis, 21 Juli 2011
waaaahh.. semoga bisa cepat menulis buku ya bang.. :D
ReplyDeletesalam kenal
@Ikbal: Amin. Terima kasih doanya. Salam kenal pula. :-)
ReplyDeletespiriiit :)
ReplyDelete@Chilfia: Makasih... :-)
ReplyDeleteSipp, semangat menulis dan berkaryaaa. Kami pun menerima kiriman naskah. silakan kunjungi http://www.rasibook.com (^_^)
ReplyDelete