-->

Iblis Tidak Pernah Mati; Catatan Ringan


Jika ditanya, siapakah prosais kini yang amat jadug memilin-milin bahasa dan mengolah konflik? Joni Ariadinata coba menjawabnya, dialah Seno Gumira Ajidarma! Siapakah dia? Bila orang seperti saya, yang berfikiran “lurus”, melihat penampilan dan riwayat kehidupannya, secara kasat mata mungkin tidak akan gampang menerima bahwa dialah yang menulis cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku, Patung, Cinta dan Ninja, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta, dll. Apa sebabnya?

Ia seorang yang kurang percaya terhadap mode. Penampilannya terlalu liar untuk ukuran kanak pada masanya. Rambutnya selalu gondrong. Konon, semenjak di sekolah dasar ia selalu menjadi biang keladi tiap ada keributan. Tidak hanya sendirian, Seno kecil sering mengajak teman-temannya. Dari bikin keributan hingga mengajak bolos sekolah. Sampai-sampai ia pernah diskors gara-gara itu dari sekolah menengahnya.

Iblis Tidak Pernah Mati
Data Buku
Judul : Iblis Tidak Pernah Mati
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Cetakan III : September 2004
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Kerap membaca novel-novel petualangan ia pun terobsesi tokoh rekaan pengarang Jerman Karl May, Old Shatterhand, yang melanglang buana di rimba suku Apache. Seno mencoba menarik Old ke dalam dirinya. Selama tiga bulan ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat tugas dari RT Bulaksumur, Jogjakarta. Belakangan ia terdampar di Medan menjadi buruh pabrik kerupuk. Meski sudah mendapat pekerjaan, saat itu ia kekurangan uang sampai minta kiriman kepada orang tuanya, namun sang Ibu memberinya tiket pulang. Seno pun pulang dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di rumahnya. Ia mencari sekolah yang tidak mewajibkan siswanya memakai seragam dan tentu saja boleh berambut gondrong!

Selain itu, masa remaja Seno dihabiskan dengan sesuatu yang selalu berkait kelindan dengan suasana liar. Mulai tempat mangkal sampai teman-teman bermainnya. Ia sudah terbiasa mangkal di Malioboro bergabung dengan komunitas anak jalanan yang suka ngebut dan seringkali tauran. Bukan teman-teman di lingkungan elit perumahan dosen di Bulaksumur (UGM). Seno mengaku menyukai itu karena liar, bebas, tidak ada aturan. Alasan yang nyaris sama ketika ia ditanya kenapa tidak suka belajar ilmu eksakta seperti Bapaknya yang guru besar Fakultas MIPA UGM, ia menyebut itu ilmu-ilmu pasti dan yang sudah pasti tidak akan menyenangkan. Tidak ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa dieksplor dari tema-tema yang ada di dalamnya.
***
Memasuki rimba kata-kata dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya SGA) secara linguistik kita mungkin menganggap amat kontras dengan perjalanan kehidupannya yang liar dan serba bebas. Sesuatu yang liar biasanya kita korelasikan dengan sesuatu yang kasar, keras, dan rigid. Tapi, bagi SGA itu tidak terjadi. Ia ternyata bisa membuat bahasa yang menyayat-nyayat nurani (ah, terlalu feminis kale). Bahasa yang lemah gemulai itu membikin karakter tulisannya menjadi lebih menyentuh dan sampai di benak pembaca secara utuh. Perhatikan petikan cerpennya berikut ini:
Alina tercinta.
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja–dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?
Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

….
(dari cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku)

Cerpen di atas hanya salah satu dari sekian cerpen yang ditulisnya dengan menggunakan karakter bahasa yang lembut. Masih banyak cerpen-cepen lain yang nyaris memiliki karakter sama dengan cerpen tersebut.

Namun, tak seluruhnya cerpen-cerpen SGA bernuansa demikian, kita bisa menemukan suasana lain dalam cerpen Taksi Blues, misalnya. Dalam cerpen ini kita menjumpai karakter bahasa yang sesuai dengan suasana yang dibangunnya. Di mana dalam cerpen itu suasana yang dibangun adalah suasana keras dan kasar. Tentang pembunuhan seseorang oleh tiga orang tak dikenal. Barangkali saya boleh menyebut bahwa SGA selalu bisa menyesuaikan antara karakter bahasa dengan latar dan konstruksi suansana dalam cerpen-cerpennya. Ia selalu bisa berbahasa kasar, lembut, biasa-biasa saja, marah, dongkol, terhibur, dan seterusnya, dll., sesuai dengan suasana yang dibangunnya.

Lalu apakah dengan demikian SGA tidak memiliki Style dalam hal penulisan cerpen? Tidak juga! Ia tetap menjaga energi bahasa agar karakteristik bahasa juga menjadi milik dia. Elaborasi bahasa itu tidak membuatnya menjadi orang lain. Dan yang terpenting dimiliki oleh SGA adalah kelihaian membangun suspense (ketegangan). Dan kalau boleh saya katakan, bahwa di sinilah sebenarnya daya Stylis-nya lebih dominan ketimbang gaya bahasanya. Apalagi gaya-gaya liris belakangan sudah banyak digunakan oleh penulis muda yang juga memiliki kans menjadi penulis besar kelak, melihat dari karya-karya mereka yang prospektif.
***
Nah, sekarang saatnya kita masuki cerpen-cerpen dalam buku kumpulan cerpen SGA yang diberi judul “Iblis Tidak Pernah Mati”

Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini kebanyakan telah diterbitkan media-media terkemuka Indonesia. Berkisar antara tahun 1994 sampai 1999. Dan cerpen-cerpen itu sendiri ditulis pada kisaran waktu yang sama. Cerpen yang paling banyak saya temui di bagian bawah tertera tahun 1998 dan 1999.

Pertamakali yang bisa membantu petualangan saya menziarahi cerpen-cerpen SGA dalam kumpulan ini adalah ulasan Kris Budiman dan Agus Noor di bagian akhir buku tersebut. Pembahsan agak mendalam yang dilakukan Kris terbukti membuka katup misteri dari cerpen-cerpen itu. Maklumlah, saya tidak terlalu paham dalam hal interpretasi sastra, dan model pembacaan sastra yang pernah diutarakan oleh K. Miming (pengasuh Bengkel Puisi Annuqayah) beberapa waktu lalu tidak cukup kuat melekat dalam memori otak saya. Saya juga terkesan abai kalau soal cara membaca (interpretasi) sastra. Yang saya tahu hanya, “bacalah kalau pun tak kau mengerti!” Hmm…

Kris menyebut, nyaris dari keseluruhan cerpen dalam kumpulan ini adalah cerpen eksoforik. Maksudnya, cerpen-cerpen tersebut memiliki fungsi referensi secara tekstual maupun kontekstual di luar teks cerpen itu sendiri. Kondisi seperti ini memaksa pembaca menggunakan model pembacaan secara mimetis, yang memperlakukan teks secara harfiah representasional, mengingat begitu kentalnya fungsi referensi itu dalam cerpen-cerpen SGA.

Dalam hal ini misalnya kita bisa menyebut beberapa contoh:
“Paman Gober”

Dalam cerpen ini, SGA berkisah tentang tokoh dalam film kartun buatan Walt Disney, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Ia membuat sebuah parodi masam yang melawan konvensi. Bagi penyuka kartun tentu kenal baik dengan tokoh Paman Gober, bahkan mungkin mencintainya. Tetapi, di tangan SGA kesan itu dipermak menjadi kebencian yang meruyak hingga ke akar-akarnya.

Paman Gober menjadi pribadi yang pelit, curang, rakus, gila harta, suka memeras, dll. Dia adalah pemimpin bebek yang menjabat demikian lama hingga generasi baru unggas itu tidak tahu kalau pemimpin mereka bisa berubah. Paman Gober punya pabrik apapun. Dari pabrik sandal, sepatu, tahu-tempe, sampai pabrik kapal. Dia juga pemimpin unggas-unggas kaya.

Kalau kita coba mencari referensi peristiwa yang mungkin menjadi spirit bagi SGA dari ide cerpen di atas adalah kejadian yang takkan pernah terlupakan oleh bangsa kita. Adalah Soeharto yang dengan kediktatorannya menciptakan kebijakan-kebijakan yang nyaris sama dengan Paman Gober dalam cerpen tersebut. Ini mungkin sebentuk kritikan yang coba dilayangkan oleh sebuah cerpen terutama ketika masa-masa gelap itu terjadi.

“Jakarta Suatu Ketika”

Di dalam cerpen ini posisi narator seperti seorang kamerwan yang merekam sebuah peristiwa besar. Dengan menggunakan istilah-istilah teknis kamera, SGA membuat alur cerita mengalir. Alur filmis ini memang agak berbeda dengan alur-alur lainnya. Pembaca seperti disuguhkan adegan-adegan film dokumenter.

Coba perhatikan ini:
Long Shot. Asap bergulung-gulung, hitam, tebal, dan menakutkan. Langit sungguh muram. Angin berbau sangit. Orang-orang mulai melempar dinding kaca. Para satpam yang biasanya petentengan lari lintang pukang. Batu-batu beterbangan diiringi suara pecah berantakan.
Close Up. Dinding kaca pecah
Close Up. Dinding kaca pecah
Long Shot. Gedung terbakar


(dari cerpen Jakarta Suatu Ketika)

Mencari rujukan peristiwa yang sesuai dengan peristiwa dalam cerpen tersebut kita bisa membuka ingatan kembali beberapa waktu silam, tepatnya Mei 1998. Masa itu menjadi kurun yang takkan terlupakan oleh terutama orang-orang Jakarta. Jakarta membara akibat kerusuhan massal dalam rangka melengserkan kepemimpinan Soeharto. Terjadi pembakaran, perampokan, penjarahan, dan pemerkosaan di mana-mana.

Senada dengan itu, cerpen Clara juga merujuk peristiwa yang sama. Cerpen ini berkisah tentang pembasmian etnis China yang juga menjadi dekorasi dari peristiwa-peristiwa lain yang berkait dengan pelengseran Soeharto. Dalam cerpen ini digambarkan bagaimana etnis China itu dibantai, dirampok, dibunuh dengan kejam. Perempuan-perempuannya diperkosa dengan membabi-buta, termasuk tokoh cerita, Clara. SGA selalu memiliki tips bagaimana cerita selalu menyimpan keunikannya sendiri. Dalam cerpen Clara, narator (digambarkan sebagai seorang keamanan) adalah juga seorang yang “mencicipi” tubuh tokoh Clara tersebut. Dengan kelihaiannya, SGA dari awal menyembunyikan kepribadian tokoh Aku (narator), tetapi pada bagian akhir ia membuka rahasianya bahwa tokoh Aku juga termasuk dari yang ingin menghabiskan keturunan China, terbukti dengan pemerkosaannya terhadap Clara.

Selain beberapa contoh di atas, dalam buku ini masih banyak contoh cerpen-cerpen lain yang memiliki fungsi referensi. Diantaranya, “Dongeng Sebelum Tidur”, bisa kita kaitkan dengan kejadian penggusuran di Bendungan Hilir, Jakarta dan Pembredelan beberapa media cetak pada masa yang sama. “Taksi Blues” memiliki emosi selaras dengan kejadian penculikan aktivis-aktivis pro demokrasi. “Kisah Seorang Penyadap Telepon” mengacu skandal telepon Habibie dengan Ghalib. “Anak-anak Langit” merujuk peristiwa membludaknya anak-anak jalanan di kota besar sebagai ekses krisis ekonomi. “Partai Pengemis” merujuk ramenya perhelatan Pemilu 1999 oleh partai-partai baru yang muncul bagai kecambah.

Barangkali fungsi referensi dalam cerpen-cerpen SGA memang betul-betul disengaja. Terbukti dengan penempatan urutan cerpen yang disesuaikan dengan kurun yang berlangsung. Keseluruhan cerpen-cerpen tersebut dibagi dalam beberapa subbab yang menuntun pembaca untuk mengetahui referensi peristiwa di balik cerpen itu. Ada Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya. Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam subbab Sebelum memuat peristiwa yang terjadi pada masa sebelum Soeharto dilengserkan dari kursi kekuasaannya. Dan begitu seterusnya di dalam Ketika, Sesudah, dan Selamanya.
***
Mayoritas dari kumpulan cerpen “Iblis Tidak Pernah Mati” memang memiliki acuan referensi peristiwa. Tetapi ada beberapa cerpen yang minggat dari lajur pakem cerpen-cerpen lainnya, artinya tidak memiliki fungsi referensi. Atau memang karena keterbatasan pengalaman saya, hingga gegabah mengambil kesimpulan. Tapi, kalau toh ada barangkali itu peristiwa yang tidak terlalu gempar seperti halnya peristiwa-peristiwa yang telah disebutkan di atas.

Cerpen-cerpen tersebut bagi saya cukup menarik, selain karena tidak menodong pembaca untuk mengait-kaitkan dengan peristiwa di luar teks, unsur tematik yang dibangun juga cukup unik. Cerpen-cerpen itu dianataranya berjudul “Pada Suatu Hari Minggu”, “Tujuan: Negeri Senja”, “Karnaval”, “Patung” serta “Cinta dan Ninja”

Dalam cerpen “Patung”, SGA mengisahkan tentang seseorang yang menunggu kekasihnya pada suatu senja hingga menjadi patung. Sang kekasih pergi ingin membunuh Iblis yang ternyata Iblis tidak pernah mati. Orang-orang yang menyaksikan patung itu menganggap aneh dan gila. Bagaimana mungkin seorang kekasih yang sudah pergi bertahun-tahun masih ditunggu sampai sekarang. Sampai ia menjadi patung sehingga menjadi tontonan dan tempat rekreasi orang-orang kota. Mereka biasa berfoto dengan latar belakang patung tersebut. Mereka juga mendapatkan cerita dari buku yang dijual di sekitar tempat itu tentang asal-mula patung yang katanya adalah seorang manusia.

Sampai di sini mungkin kita terkecoh, seperti halnya pengakuan Kris Budiman yang terkecoh dengan status kelamin dari masing-masing tokoh. SGA memang lihai membalik pakem. Yang sering kita dengar dan rasakan, orang-orang yang selalu pergi berangkat perang adalah para lelaki. Tetapi dalam cerpen tersebut SGA coba membaliknya, tokoh yang pergi berperang adalah sesosok perempuan, sedangkan tokoh yang menunggu dan menjadi patung adalah seorang lelaki. Nah, permainan seperti ini menjadi kekayaan tersendiri yang dimiliki banyak cerpen-cerpen SGA dan tidak dimiliki oleh pengarang-pengarang lain.

Dalam cerpen “Tujuan: Negeri Senja”, SGA mencoba mengelaborasi antara fakta dengan fiksi. Latar tempat yang diajukan jelas bahwa ia mengacu kepada Stasiun Tugu, Jogjakarta. Namun di tangannya, Stasiun Tugu lain ceritanya. Ia menjadikan Stasiun tersebut sebagai medium menyampaikan pesan kematian yang amat dekat dengan kita. Nyaris seringan kepergian kita ke luar kota. Setidaknya, begitulah kesimpulan Harris Efendi Thahar dalam salah satu esainya.

Diceritakan dalam cerpen tersebut tentang stasiun yang memiliki sebuah kereta dengan tujuan Negeri Senja. Kereta itu akan berangkat pada sore hari, saat senja keemasan memendar-mendar di arah barat. Kereta itu datang dari balik bukit pada waktu-waktu tertentu. Cukup mudah kalau ingin menumpang kereta ini. Syaratnya hanya satu, tanda tangan. Tanda tangan tersebut juga sebagai legitimasi bahwa dirinya tidak akan kembali lagi ke tempat asalnya. Memang, semua yang pergi ke Negeri Senja tidak pernah kembali. Mereka seperti menghilang begitu saja. Orang-orang juga tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya keadaan di Negeri Senja. Karena tidak ada yang datang dari sana, yang ada hanya pergi. Bahkan petugas loket yang menyediakan blanko tanda tangan juga tidak tahu keadaan sebenarnya di Negeri Senja. Tapi selalu ada yang ingin pergi ke Negeri Senja, meski mereka tak akan pernah kembali! Hmm…

Bangunan cerpen yang juga berbeda dari cerpen-cerpen lainnya ada pada cerpen berjudul “Cinta dan Ninja”. Sisi menariknya dari cerpen ini terletak pada metode dramatik yang tidak berusaha dihindari oleh SGA. Memang cerpen ini merupakan penggalan dari naskah pertunjukan. Dan model alurnya juga masih berbentuk naskah pertunjukan, yaitu model percakapan dengan sedikit narasi maupun deskripsi. Karena sebuah penggalan, maka sepertinya keutuhan cerpen agak kurang. Tapi, kekurangan itu bagi saya adalah kelebihan yang dimilikinya. SGA barangkali sengaja memenggalnya untuk memberi ruang tafsir kepada pembaca. Letak kekurangan itu menjadi samar kemudian karena SGA telah menjelaskan inti dari keseluruhan cerita. Jadi yang kurang barangkali hanya penunjang suasana saja.

Cerpen ini berkisah tentang keganasan perang. Di tengah perang berkecamuk ada seorang prajurit yang membelot karena ia mencintai seorang pelacur yang kebetulan berasal dari pihak musuh. Pergulatan menjadi menarik karena yang dipersoalkan adalah masalah lahir dan batin, antara cinta dan perang. Para Ninja mulai merasa harus menghabiskan si lelaki. Tetapi mereka bingung, karena yang harus mereka musnahkan bukan si lelaki itu melaikan cinta lelaki tersebut. Sebab, kalau hanya lelaki itu yang dimusnahkan, tentu cinta si perempuan akan tetap utuh. Maka, kesimpulan para Ninja yang mengadakan rapat, musuh yang sebenarnya adalah cinta.

Sampai di sini SGA menghentikan alur cerpennya. Ia menyerahkan keputusan akhir dari alur cerita menjadi milik pembaca. Apakah si lelaki akan mati? Atau negeri itu menjadi damai karena mereka saling mencintai? Tidak ada yang tahu!

Cerpen-cerpen tanpa fungsi referensi seperti beberapa yang saya sebut di atas memang memiliki kelebihan ketimbang cerpen yang memiliki fungsi referensi. Di antaranya, kemungkinan menyelam lebih dalam terhadap pesan teks cerpen tersebut, tanpa terbebani hal-hal lain di luar teks. Namun, saya sadar bahwa nilai sebuah cerpen tidak dilihat dari ada dan tidak adanya fungsi referensi tersebut.
***
Kala membaca cerpen-cerpen SGA yang memiliki fungsi referensi mungkin kita bertanya-tanya, apakah dengan demikian SGA telah menulis sebuah fakta yang kemudian terikat oleh waktu dan peristiwa? Lalu, seberapa jauh karya tersebut bertahan dihadapan pembaca, dalam posisinya sebagai sebuah fakta? Menjawab ini, kita perlu melihat lebih mendalam. Karya-karya SGA meski memiliki fungsi referensi, ia tidak mematok realitas untuh ke dalam cerpen-cerpennya. Artinya, ia hanya mengambil spirit dari kejadian-kejadian itu. Ia mengatakan bahwa cerpen-cerpennya sebenarnya adalah perkawainan antara fiksi dan fakta. Antara realitas dan imajinasi. Perkawianan ini tidak menjadikan cerpen-cerpen itu jatuh ke dalam realitas-fakta yang menuntut teks tidak boleh tidak harus sesuai dengan kenyataan. Unsur imajinasi itu sebenarnya yang lebih dominan dan yang menjadikannya tetap aktual walaupun fungsi referensinya telah berlalu dari hadapan kita. Dalam bahasa Agus Noor, cerpen SGA menjadi sebuah kemungkinan-kemungkinan estetik. Kejutan-kejutan baru bagaimana sebuah peristiwa yang seakan biasa-biasa saja menjadi lebih (meminjam bahasa Andrea Hirata) “nendang”. Kerusuhan, pembakaran, pembantaian, perkosaan, dll., yang menjadi menu informasi keseharian kita kadang, karena seringnya diekspos oleh media dengan pendekatan reportase jurnalistik, menjadi sesuatu yang kehilangan esensi. Ia tak lebih “heboh” dari berita-berita tentang Pilkada, Pilgub, Pilpres, dan pil-pil yang lainnya (mungkin juga pil KB, pil sakit kepala, pil Viagra…hehehe!). Tetapi, di hadapan SGA ia menjadi sesuatu yang tidak sederhana. Ia adalah kesakitan-kesakitan, Iblis-Iblis baru yang akan memjerumuskan siapa saja. Maka, melalui bantuan imajinasi, peristiwa-peristiwa yang awalnya seakan-akan sepele (karena seringnya diberitakan) menjadi lebih menyentuh. Ia tidak saja berkisah tetapi berbagi kesakitan-kesakitan itu ke hadapan pembaca.

Catatan penting yang juga perlu saya sertakan adalah keseragaman tema besar mayoritas cerpen-cerpen SGA. Ia memang menyebut tiga kerangka besar tentang cerpen-cerpennya, yaitu Seks, Crime, and Violance. Cerpen-cerpen SGA memang menceritakan tentang kerusuhan, pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, dll.

Dengan tiga resep itu cerpen-cerpen SGA hadir kehadapan pembaca untuk mengaktualisasikan eksistensi kemanusiaan yang kini terus tergerus. Melalui peristiwa-peristiwa yang terkadang amat sederhana SGA coba menyelipkan pesan-pesan untuk memuliakan kemanuisaan. Tentu yang sederhana itu menjadi lain di tangan SGA. Ia bergulat dengan bahasa, karena bahasa merupakan sarana komunikasi atau kontak awal dengan pembaca. Dengan begitu, pertaruhan yang menyulitkan antara idealisme kepengarangan dan kehadiran pembaca betul-betul harus diperjuangkan.
***
Yang menarik juga mengenai analisa SGA tentang bagaimana proses lahirnya judul Iblis Tidak Pernah Mati. Baginya, Iblis itu tidak ada. Dan kalau pun ada ia hanyalah konsep yang berusaha divisualisasikan oleh manusia. Secara tidak langsung manusia ikut andil membikin Iblis. Karena manusia yang membuat, maka mereka berhak mengkonstruk Iblis itu akan dibentuk bagaimanapun. Yang sering kita dengar dan lihat bahwa, Iblis itu biasanya bertanduk dan bersenjatakan trisula. Lalu pertanyaanya, apakah memang demikian bentuk dan karakter Iblis sesungguhnya.

Sepanjang sejarah kehidupan, Iblis tidak pernah muncul secara nyata di hadapan manusia. Dari Tuyul sampai Nyi Rara Kidul, mereka semua adalah takhayul yang berusaha mereka besar-besarkan dengan membuat keajaiban-keajaiban. Tapi, meski mereka dibuat dengan karakter-karakter seram dan menakutkan, manusia tidak pernah takut kepada Iblis. Wajar saja, kata SGA, karena mereka adalah ciptaan manusia. Masak manusia takut pada ciptaannya sendiri?

Sebenarnya pernyataan SGA itu merupakan sebentuk ikhtiar dan kritik terhadap apa yang ada di hadapannya. Ia meyakini bahwa, sebenarnya Iblis itu ada pada diri manusia. Meski Tuhan tidak menciptakan Iblis, manusia akan selalu menghidupkannya. SGA melihat itu dari realitas kehidupan manusia. Di dunia manusia, orang meyobek kandungan ibu yang sedang hamil untuk mengambil bayi dan membunuhnya itu biasa. Tapi dalam cerita tentang Iblis, itu tidak pernah ada. Apakah manusia lebih kejam dari Iblis? Entahlah! Atau barangkali Tuhan memang tak pernah menciptakan Iblis di dunia lain. Dia menciptakan Iblis itu di dalam diri manusia sendiri!

Di bagian akhir buku ini, Agus Noor, cerpenis dari Jogja, membuat tulisan yang merepresentasikan kekagumannya terhadap kreatifitas SGA. Dengan format tulisan gaya surat cinta, ia memosisikan dirinya sebagai penerima surat. Sang pengirim sendiri adalah tokoh rekaan dalam cerpen SGA yang lain, yaitu Alina (tokoh dalam Sepotong Cinta Untuk Pacarku). Agus mencoba menelisik bagaimana posisi karya SGA kaitannya dengan tema-tema kekarasan dan fungsi referensi dalam karya-karya tersebut.

Demikanlah, cerpen-cerpen SGA selalu membuat kubangan-kubangan dalam otak kita. Konsep-konsepnya tentang perjuangan kemanusiaan melalui kebudayaan sungguh sangat luar biasa. Penghargaannya terhadap kemanusiaan harus kita hargai dan apresiasi. Salam!
Wallahu a’lam.

tanalempong | Medio Februari 2009

0 Response to "Iblis Tidak Pernah Mati; Catatan Ringan"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel