Alamak! Budaya Sendiri Tak Paham
Mulanya adalah sebuah cerpen seorang kawan. Suatu siang, ia sodorkan kepada saya untuk meminta pendapat atasnya. Saya jalari kalimat demi kalimat dalam tulisan itu. Renyah dan tampak ia makin piawai saja. Saya merasakan tulisan kali ini lebih “menukik” ketimbang tulisan-tulisannya sebelum ini. Hanya beberapa dialog yang coba saya koreksi.
Cerpen itu bersetting Madura. Berkisah tentang seorang lelaki yang pisah dengan isterinya karena si perempuan memilih pergi ke luar negeri untuk mencari nafkah, padahal suaminya tidak rela. Lelaki itu kemudian menikah lagi dengan perempuan lain. Dan si lelaki merahasiakan kepergian isteri sebelumnya kepada isteri yang baru. Kepadanya ia bilang meninggal.
Kebohongan tersebut membawa tekanan psikologis tersendiri kepada lelaki itu, ketika suatu kali rumah tersebut kedatangan sepasang suami isteri. Mereka bertandang untuk membujuk isterinya pergi ke luar negeri. Keduanya menjanjikan pekerjaan di negeri jiran. Tawaran itu tentu saja meluluhkan hati si isteri. Apalagi melihat pekerjaan suaminya yang hanya sebagai penadah nira, sementara mereka berdua harus membiayai anak lelaki yang mulai beranjak dewasa. Namun, ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa suaminya menolak keras.
Alasan sang suami atas penolakan itu sudah pasti tidak kuat karena sebenarnya alasan paling jitu justru yang seharusnya ia tutup-tutupi, yaitu kepergian isteri pertamanya. Akibatnya, si isteri tetap ngotot untuk pergi.
Cerpen itu ber-ending terbuka. Pembaca diberi keleluasaan menebak-nebak akhir cerita karena teman saya membiarkan tokoh utama dalam keadaan pikiran kacau. Sesekali sang tokoh mengamati celurit yang tergantung di depan kalender di dinding rumahnya. Dialog batin yang tak menemukan jawaban hingga akhir cerita.
Bagi saya, ide tulisan itu tidaklah terlalu eksklusif. Ia berjalan di atas klise. Namun, yang mencuri perhatian saya adalah cara dia menggambarkan setting dan suasana psikologis tokoh-tokohnya. Dan yang lebih mengagumkan lagi, ia menulis tentang orang Madura, padahal ia orang Jawa! Nah, inilah yang akhir-akhir ini terus menghantui saya.
Terus terang, kenyataan itu membuat saya merasa malu dan aneh sendiri. Saya yang lahir dan besar di Madura ternyata tak mampu membuat cerita seperti apa yang dikerjakannya. Justru beberapa tulisan yang saya hasilkan malah tak memiliki pijakan lokalitas yang sebenarnya amat menarik. Tulisan-tulisan saya kehilangan ranah tempat ia berdiri. Mau berdiri di ranah kota tak bisa, mau berdiri di ranah lokal malah runyam.
Ini memang bukan persoalan salah dan benar, karena tak ada hukum fiqih atasnya. Namun, bila mau melihat ke dalam, justru karya yang saya hasilkan akan hadir sebagai sebuah fiksi yang kehilangan identitas. Saya selalu meyakini, bahwa suatu karya membutuhkan ruang pijakan karena sastra lahir dari semangat ruang dan waktu. Ia mewakili keadaan saat karya itu di tulis.
Saya adalah pembaca yang buruk. Kebiasaan buruk itu berdampak pada ingatan saya yang ruwet. Di antara daftar buku yang saya baca, malah sedikit sekali yang membahas tema tentang Madura. Yang saya baca sampai tuntas hanya karangan Muthmainnah berjudul “Jembatan Suramadu, Respon Ulama Terhadap Industrialisasi”. Buku tersebut malah bukan bicara tetang budaya Madura, tapi fenomena awal digagasnya jembatan Suaramadu. Ia lebih banyak mengulas tentang dinamika proyek tersebut, semisal ganti rugi yang tak sesuai, penolakan Ulama BASSRA, upaya dialog RB Mohammad Noer dengan warga, dll. Masalah budaya hanya dibahas sedikit sekali di bagian awal.
Membaca buku tersebut saya disadarkan akan banyak hal yang tak saya ketahui tentang Madura. Misalnya, tentang awal mula nama Madura dan orang pertama kali yang menghuni Madura. Ternyata, meski saya orang Madura, ada banyak hal yang tak saya ketahui darinya.
Buku-buku yang membahas tentang Madura bukan tak ada. Bahkan beberapa peneliti luar negeri pernah meneliti tentang pulau garam ini. Mereka antara lain adalah Helena Bouvier dan Huub De Jonge. Sementara untuk peneliti dalam negeri sendiri bisa disebut nama Latief Wiyata, Abdur Rozaki, Mien A. Rifai’e, dll. Jadi, sebenarnya bukan karena tak ada bahan untuk dibaca, tapi karena malas. Itu saja alasannya.
Guluk-Guluk, 2 Oktober 2011
waaahhh... orang madura ni..
ReplyDeletesalam kenal ya..
@Ikbal: Hehehe... Iya.
ReplyDeleteSalam kenal balik, Mas.
Ajarin bahasa madura dong mas...
ReplyDeleteWaa asik mudaan saya daripada sampeyan, wkwkwk :p :p
@Sitti: Privat ya? Tarifnya berapa nih....?? Hahahaha..
ReplyDeleteUmur sih lebih tua saya, tapi wajah keliatan mudaan saya. Hahahaha....
wah mantab mas topiknya, salam kenal
ReplyDelete@adsloko Terima kasih. Salam kenal balik, Mas.
ReplyDelete